
Katanya Indonesia Seksi, Tapi Kok Ditinggal Investor Asing?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 August 2019 14:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari yang dimulai hari Rabu (21/8/2019) dan berakhir Kamis (22/8/2019), Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk memangkas tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate, menandai pemangkasan selama dua bulan beruntun.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (22/8/2019).
Keputusan ini merupakan kejutan lantaran konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75%, walaupun keputusan ini sejatinya sesuai dengan proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).
Salah satu alasan utama dari BI dalam memangkas tingkat suku bunga acuan adalah imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang masih menarik. Perry menjelaskan bahwa dirinya yakin pasar keuangan Indonesia masih seksi walaupun tingkat suku bunga acuan dipangkas. Saat ini, Perry mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga di Indonesia masih relatif tinggi, baik itu real policy rate maupun nominal interest rate.
Dengan imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang masih menarik, BI tak khawatir bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan memicu aliran modal keluar (capital outflow), seiring dengan posisi Indonesia yang dianggap masih seksi.
Senada dengan pernyataan dari BI, analisis dari kami juga menunjukkan bahwa pasar keuangan Indonesia memang masih seksi.
Namun, jika melihat perilaku investor asing dalam beberapa waktu terakhir, kita akan mendapati sebuah anomali. Kala pasar keuangan Indonesia sedang seksi, investor asing justru berbondong-bondong keluar.
Melansir data dari RTI, dalam sebulan terakhir (23 Juli 2019-23 Agustus 2019), investor asing tercatat membukukan jual bersih senilai Rp 8,06 triliun di pasar reguler. Di pasar obligasi, kondisinya tak jauh berbeda. Melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini (hingga perdagangan tanggal 22 Agustus), investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 4,84 triliun.
Lantas, mengapa investor asing begitu gencar melakukan aksi jual dalam beberapa waktu terakhir?
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Perang Dagang AS-China Bikin Gemetar Sentimen domestik dan eksternal sama-sama ‘bertanggung-jawab’ dalam hal ini.
Dari sisi eksternal, perang dagang AS-China yang bikin gemetar menjadi faktor yang melandasi aksi jual di pasar keuangan Indonesia oleh investor asing. Bahkan, perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut menjadi salah satu alasan yang mendasari pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BI pada pekan ini.
Pada awal bulan ini, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang.
Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
[Gambas:Twitter]
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan sebelumnya.
China pun dibuat panas dan angkat bicara terkait dengan serangan terbaru dari Trump. Beijing menyebut bahwa pihaknya tak akan tinggal diam dalam menghadapi "pemerasan" yang dilakukan AS, serta memperingatkan akan adanya serangan balasan.
"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Terungkap bahwa Trump kini sudah ‘membabi-buta’ jika berbicara mengenai China. Melansir CNBC International yang mengutip pemberitaan Wall Street Journal, ternyata keputusan dari Trump tersebut ditentang oleh para pejabat Gedung Putih lainnya.
Keputusan Trump yang sekaligus mengakhiri gencatan senjata yang disepakati dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir Juni pada awalnya tak disetujui oleh nyaris seluruh penasihatnya, termasuk oleh Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow.
Namun, Trump dikabarkan tetap kekeh untuk kembali meluncurkan serangan terhadap China. Para penasihatnya pun pada akhirnya ikut membantu Trump untuk menulis cuitan yang berisi pengumuman bahwa gencatan senjata antara AS dan China akan diakhiri.
China kemudian benar mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS pada awal September mendatang dengan mengonfirmasi laporan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.
Memang, seiring dengan berjalannya waktu sempat ada perkembangan yang positif terkait perang dagang kedua negara. Belum lama ini, Kantor Perwakilan Dagang AS mengumumkan bahwa pihaknya akan menghapus beberapa produk dari daftar produk impor asal China yang akan dikenakan bea masuk baru pada awal bulan depan.
Kantor Perwakilan Dagang AS dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa keputusan ini dilandasi oleh alasan “kesehatan, keselamatan, keamanan nasional, dan faktor-faktor lainnya”, dilansir dari CNBC International.
Lebih lanjut, pengenaan bea masuk baru senilai 10% untuk berbagai produk lainnya yang sejatinya akan mulai berlaku efektif pada awal September diputuskan ditunda hingga 15 Desember. Produk-produk yang akan ditunda pengenaan bea masuknya mencakup ponsel selular, laptop, konsol video game, dan monitor komputer.
Namun, penundaan bea masuk tersebut dilakukan guna menjaga konsumsi masyarakat AS di musim liburan sehingga tak begitu dipandang sebagai etikat baik oleh China.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi terus saling balas mengenakan bea masuk untuk produk impor dari masing-masing negara, memang aktivitas konsumsi dan investasi akan terpengaruh yang pada akhirnya membuat aktivitas perdagangan dunia menjadi lesu.
Pada tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, dari yang sebelumnya 3,372% pada tahun 2016, sekaligus menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.
Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi global melandai menjadi 3,598%. Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan kembali melandai menjadi 3,328%. Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi terburuk sejak tahun 2009 kala perekonomian global justru terkontraksi sebesar 0,107% akibat krisis keuangan global.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kurang Ciamik Dari dalam negeri, rilis angka pertumbuhan ekonomi yang kurang ciamik membuat saham dan obligasi di tanah air dilego oleh investor asing.
Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.
Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.
Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara umum. Kenyataannya, perekonomian Indonesia tetap saja loyo.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang loyo pada enam bulan pertama tahun ini, target dari pemerintah untuk keseluruhan tahun 2019 yang sebesar 5,3% tentu menjadi kian mustahil untuk dicapai.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Ya, di bawah 5% seperti yang terjadi pada tahun 2015 silam. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat investor asing untuk sementara enggan menyentuh saham dan obligasi di tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Resesi Hantui RI, Amankan Investasi di Instrumen Ini
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Agustus 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps menjadi 5,5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (22/8/2019).
Keputusan ini merupakan kejutan lantaran konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan BI akan menahan tingkat suku bunga acuan di level 5,75%, walaupun keputusan ini sejatinya sesuai dengan proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps. Dari 13 ekonom yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).
Salah satu alasan utama dari BI dalam memangkas tingkat suku bunga acuan adalah imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang masih menarik. Perry menjelaskan bahwa dirinya yakin pasar keuangan Indonesia masih seksi walaupun tingkat suku bunga acuan dipangkas. Saat ini, Perry mengungkapkan bahwa tingkat suku bunga di Indonesia masih relatif tinggi, baik itu real policy rate maupun nominal interest rate.
Dengan imbal hasil dari aset keuangan di Indonesia yang masih menarik, BI tak khawatir bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan akan memicu aliran modal keluar (capital outflow), seiring dengan posisi Indonesia yang dianggap masih seksi.
Senada dengan pernyataan dari BI, analisis dari kami juga menunjukkan bahwa pasar keuangan Indonesia memang masih seksi.
Namun, jika melihat perilaku investor asing dalam beberapa waktu terakhir, kita akan mendapati sebuah anomali. Kala pasar keuangan Indonesia sedang seksi, investor asing justru berbondong-bondong keluar.
Melansir data dari RTI, dalam sebulan terakhir (23 Juli 2019-23 Agustus 2019), investor asing tercatat membukukan jual bersih senilai Rp 8,06 triliun di pasar reguler. Di pasar obligasi, kondisinya tak jauh berbeda. Melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, sepanjang bulan ini (hingga perdagangan tanggal 22 Agustus), investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 4,84 triliun.
Lantas, mengapa investor asing begitu gencar melakukan aksi jual dalam beberapa waktu terakhir?
BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Perang Dagang AS-China Bikin Gemetar Sentimen domestik dan eksternal sama-sama ‘bertanggung-jawab’ dalam hal ini.
Dari sisi eksternal, perang dagang AS-China yang bikin gemetar menjadi faktor yang melandasi aksi jual di pasar keuangan Indonesia oleh investor asing. Bahkan, perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut menjadi salah satu alasan yang mendasari pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BI pada pekan ini.
Pada awal bulan ini, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang.
Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
[Gambas:Twitter]
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan sebelumnya.
China pun dibuat panas dan angkat bicara terkait dengan serangan terbaru dari Trump. Beijing menyebut bahwa pihaknya tak akan tinggal diam dalam menghadapi "pemerasan" yang dilakukan AS, serta memperingatkan akan adanya serangan balasan.
"Jika AS benar mengeksekusi bea masuk tersebut maka China harus meluncurkan kebijakan balasan yang diperlukan guna melindungi kepentingan-kepentingan kami yang mendasar," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari Reuters.
Terungkap bahwa Trump kini sudah ‘membabi-buta’ jika berbicara mengenai China. Melansir CNBC International yang mengutip pemberitaan Wall Street Journal, ternyata keputusan dari Trump tersebut ditentang oleh para pejabat Gedung Putih lainnya.
Keputusan Trump yang sekaligus mengakhiri gencatan senjata yang disepakati dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir Juni pada awalnya tak disetujui oleh nyaris seluruh penasihatnya, termasuk oleh Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow.
Namun, Trump dikabarkan tetap kekeh untuk kembali meluncurkan serangan terhadap China. Para penasihatnya pun pada akhirnya ikut membantu Trump untuk menulis cuitan yang berisi pengumuman bahwa gencatan senjata antara AS dan China akan diakhiri.
China kemudian benar mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS pada awal September mendatang dengan mengonfirmasi laporan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.
Memang, seiring dengan berjalannya waktu sempat ada perkembangan yang positif terkait perang dagang kedua negara. Belum lama ini, Kantor Perwakilan Dagang AS mengumumkan bahwa pihaknya akan menghapus beberapa produk dari daftar produk impor asal China yang akan dikenakan bea masuk baru pada awal bulan depan.
Kantor Perwakilan Dagang AS dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa keputusan ini dilandasi oleh alasan “kesehatan, keselamatan, keamanan nasional, dan faktor-faktor lainnya”, dilansir dari CNBC International.
Lebih lanjut, pengenaan bea masuk baru senilai 10% untuk berbagai produk lainnya yang sejatinya akan mulai berlaku efektif pada awal September diputuskan ditunda hingga 15 Desember. Produk-produk yang akan ditunda pengenaan bea masuknya mencakup ponsel selular, laptop, konsol video game, dan monitor komputer.
Namun, penundaan bea masuk tersebut dilakukan guna menjaga konsumsi masyarakat AS di musim liburan sehingga tak begitu dipandang sebagai etikat baik oleh China.
Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi terus saling balas mengenakan bea masuk untuk produk impor dari masing-masing negara, memang aktivitas konsumsi dan investasi akan terpengaruh yang pada akhirnya membuat aktivitas perdagangan dunia menjadi lesu.
Pada tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, dari yang sebelumnya 3,372% pada tahun 2016, sekaligus menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.
Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi global melandai menjadi 3,598%. Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan kembali melandai menjadi 3,328%. Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi terburuk sejak tahun 2009 kala perekonomian global justru terkontraksi sebesar 0,107% akibat krisis keuangan global.
BERLANJUT KE HALAMAN 3 -> Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kurang Ciamik Dari dalam negeri, rilis angka pertumbuhan ekonomi yang kurang ciamik membuat saham dan obligasi di tanah air dilego oleh investor asing.
Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.
Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.
Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara umum. Kenyataannya, perekonomian Indonesia tetap saja loyo.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang loyo pada enam bulan pertama tahun ini, target dari pemerintah untuk keseluruhan tahun 2019 yang sebesar 5,3% tentu menjadi kian mustahil untuk dicapai.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Ya, di bawah 5% seperti yang terjadi pada tahun 2015 silam. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia membuat investor asing untuk sementara enggan menyentuh saham dan obligasi di tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Resesi Hantui RI, Amankan Investasi di Instrumen Ini
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular