
Pasar Saham AS Boleh Meroket, Tapi Jangan Goyang Dulu..
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
26 August 2019 06:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Don't go to the milk. Jangan ke susu. Ojo kesusu. Jangan buru-buru. Ya, jangan buru-buru senang kalau melihat hingga saat ini pasar saham Amerika Serikat (AS) masih hijau atau bahkan meroket.
Saat ini Wall Street yang dapat diwakili oleh indeks S&P 500 itu sudah menguat 13,57% sejak awal tahun. Dengan melihat data historis sejak 2000, dapat ditunjukkan bahwa penguatan tersebut tergolong luar biasa karena rerata pertumbuhan tahunannya sangatlah rendah.
Dengan menganggap posisi saat ini sebagai akhir tahun maka pertumbuhan majemuk tahunan (compound annual growth rate/CAGR) indeks S&P 500 4,13%, dan rerata pertumbuhan indeks tersebut hingga semalam mencapai 4,83% per tahun.
Kinerja sejak awal tahun itu juga terbilang besar dibanding dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi acuan utama di pasar saham dalam negeri, yang hanya mampu naik tidak sampai 1% atau tepatnya 0,99% padahal CAGR-nya 15,33% dan rerata pertumbuhan tahunannya 16,83%.
Pergerakan positif S&P 500 tersebut ternyata dicermati oleh pelaku pasar yang mengaitkannya dengan pasar obligasi pemerintah AS, atau yang biasa disebut US Treasury.
Pergerakan harian (intraday) pasangan US Treasury seri 2 tahun dan 10 tahun sempat mengalami inversi tingkat imbal hasil (yield) pada 12 Agustus dan 21 Agustus.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield ke bawah, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Inversi yang terjadi dapat membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor lebih meminati seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Inversi di pasar obligasi menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di masa depan. Resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dikutip Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Salah satunya bankir investasi global yaitu Credit Suisse dalam risetnya seperti dikutip CNBC.com (14/8/19) menulis bahwa secara historis sejak 1978, inversi kedua seri acuan tersebut sudah terjadi lima kali, dan berarti enam kali jika menghitung inversi Agustus kemarin.
Kelima waktu inversi tersebut yaitu pada 18 Agustus 1978, 16 Desember 1988, 12 Juni 1998, 4 Feb 2000, dan 30 Desember 2005, yang semuanya menunjuk pada koreksi pasar saham Wall Street dan akhirnya berlanjut pada negatifnya pertumbuhan ekonomi AS.
Mengambil periode terakhir yaitu pada akhir 2005, pada periode 6 bulan-12 bulan setelah inversi US Treasury 2 tahun-10 tahun, pasar saham Wall Street melambung 11,2% dan masih terus naik hingga membukukan kenaikan kumulatif 18,4% pada akhir masa 18 bulan setelah inversi. Namun pada hitungan 24 bulan (2 tahun) setelah inversi, kenaikannya hanya 17% yang artinya justru terjadi kontraksi pasar saham sebesar -1,2%.
Dengan menggabungkan periode inversi sebelumnya yang mayoritas memiliki tren serupa, maka Credit Suisse sudah berkesimpulan bahwa periode 18 bulan menjadi masa penentuan karena biasanya pasar saham AS akan mulai hingga 36 bulan (3 tahun) terkoreksi setelah inversi US Treasury 2 tahun-10 tahun.
Tidak hanya itu, data serta riset yang sama juga menunjukkan bahwa resesi ekonomi juga mengekor koreksi pasar saham yang terjadi atau 4 bulan setelahnya, yaitu akan datang pada periode 22 bulan setelah inversi.
Secara kasar, kembali lagi: jika pergerakan yield intraday US Treasury seri 2 tahun-10 tahun pada 12 Agustus dan 21 Agustus dianggap sudah inversi, maka koreksi dapat terjadi pada Februari 2021 dan resesi AS dapat terjadi pada Juni 2021.
Senada dengan Credit Suisse, bankir investasi global lain yaitu Bank of America Merrill Lynch (BofAML) menilai kondisi S&P 500 saat ini hanya meminjam waktu (borrowed time) hingga inversi terjadi pada yield seri 2 tahun-10 tahun.
"Tim ekonom AS BofAML menilai risiko resesi naik. Yield obligasi tenor 3 bulan-10 tahun sudah berinversi dan risikonya adalah inversi pada tenor 2 tahun-10 tahun," ujar technical strategist BofAML Stephen Suttmeier, kutip CNBC.com.
Kedua prediksi pasar tersebut juga diperkuat oleh prediksi The Fed New York, yang dengan modelnya memprediksi risiko resesi AS akan terjadi pada Juli 2020 sebesar 31,47%. Model tersebut dikeluarkan pada awal bulan atau tepatnya 2 Agustus, sebelum inversi terjadi pada 12 Agustus dan 21 Agustus.
Namun, riset Credit Suisse lainnya yang juga dikutip CNBC.com pada 20 Agustus dan dinamakan 'recession dashboard' menunjukkan bahwa kondisi makroekonomi AS saat ini belum separah 1978, 1988, 1998, 2000, dan 2005, di mana dulu setidaknya enam dari tujuh indikator sudah mengarah pada resesi.
Riset tersebut menunjukkan tren inflasi, penciptaan lapangan kerja, kinerja kredit, serta kualitas laba korporasi masih baik, diikuti data manufaktur (indeks pembelian manajer manufaktur/PMI) yang ditunjukkan dengan ISM Manufacturing Index serta pasar perumahan yang masih netral.
Data yang sudah memburuk dan menunjukkan tanda-tanda resesi (recessionary) hanyalah kurva yield, sedangkan dua indikator netral dan empat indikator masih baik. Sehingga, riset tersebut mengarahkan bahwa kondisi pasar dan kondisi makroekonomi sekarang tersebut masih harus menunggu empat indikator lagi untuk dapat mengarahkan pada resesi pada 2021 atau bahkan 2020.
Manapun yang benar, intinya adalah tanda-tanda resesi, sekecil apapun, sudah terlihat sehingga sampai waktunya benar-benar terjadi maka tidak ada salahnya jika investor mulai menghitung ulang portofolio serta risk-return yang harus diterima ke depannya, serta menahan goyangannya di pasar agar tidak terlalu kencang dan tidak terlalu heboh seperti sebelumnya.
Selamat bergoyang!
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv) Next Article Inverted Yield Terjadi Lagi, Ada Apa dengan Obligasi AS?
Saat ini Wall Street yang dapat diwakili oleh indeks S&P 500 itu sudah menguat 13,57% sejak awal tahun. Dengan melihat data historis sejak 2000, dapat ditunjukkan bahwa penguatan tersebut tergolong luar biasa karena rerata pertumbuhan tahunannya sangatlah rendah.
Dengan menganggap posisi saat ini sebagai akhir tahun maka pertumbuhan majemuk tahunan (compound annual growth rate/CAGR) indeks S&P 500 4,13%, dan rerata pertumbuhan indeks tersebut hingga semalam mencapai 4,83% per tahun.
Pergerakan positif S&P 500 tersebut ternyata dicermati oleh pelaku pasar yang mengaitkannya dengan pasar obligasi pemerintah AS, atau yang biasa disebut US Treasury.
Pergerakan harian (intraday) pasangan US Treasury seri 2 tahun dan 10 tahun sempat mengalami inversi tingkat imbal hasil (yield) pada 12 Agustus dan 21 Agustus.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield ke bawah, begitupun sebaliknya. Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Inversi yang terjadi dapat membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor lebih meminati seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Inversi di pasar obligasi menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di masa depan. Resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dikutip Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Salah satunya bankir investasi global yaitu Credit Suisse dalam risetnya seperti dikutip CNBC.com (14/8/19) menulis bahwa secara historis sejak 1978, inversi kedua seri acuan tersebut sudah terjadi lima kali, dan berarti enam kali jika menghitung inversi Agustus kemarin.
Kelima waktu inversi tersebut yaitu pada 18 Agustus 1978, 16 Desember 1988, 12 Juni 1998, 4 Feb 2000, dan 30 Desember 2005, yang semuanya menunjuk pada koreksi pasar saham Wall Street dan akhirnya berlanjut pada negatifnya pertumbuhan ekonomi AS.
Mengambil periode terakhir yaitu pada akhir 2005, pada periode 6 bulan-12 bulan setelah inversi US Treasury 2 tahun-10 tahun, pasar saham Wall Street melambung 11,2% dan masih terus naik hingga membukukan kenaikan kumulatif 18,4% pada akhir masa 18 bulan setelah inversi. Namun pada hitungan 24 bulan (2 tahun) setelah inversi, kenaikannya hanya 17% yang artinya justru terjadi kontraksi pasar saham sebesar -1,2%.
Dengan menggabungkan periode inversi sebelumnya yang mayoritas memiliki tren serupa, maka Credit Suisse sudah berkesimpulan bahwa periode 18 bulan menjadi masa penentuan karena biasanya pasar saham AS akan mulai hingga 36 bulan (3 tahun) terkoreksi setelah inversi US Treasury 2 tahun-10 tahun.
Tidak hanya itu, data serta riset yang sama juga menunjukkan bahwa resesi ekonomi juga mengekor koreksi pasar saham yang terjadi atau 4 bulan setelahnya, yaitu akan datang pada periode 22 bulan setelah inversi.
Secara kasar, kembali lagi: jika pergerakan yield intraday US Treasury seri 2 tahun-10 tahun pada 12 Agustus dan 21 Agustus dianggap sudah inversi, maka koreksi dapat terjadi pada Februari 2021 dan resesi AS dapat terjadi pada Juni 2021.
Senada dengan Credit Suisse, bankir investasi global lain yaitu Bank of America Merrill Lynch (BofAML) menilai kondisi S&P 500 saat ini hanya meminjam waktu (borrowed time) hingga inversi terjadi pada yield seri 2 tahun-10 tahun.
"Tim ekonom AS BofAML menilai risiko resesi naik. Yield obligasi tenor 3 bulan-10 tahun sudah berinversi dan risikonya adalah inversi pada tenor 2 tahun-10 tahun," ujar technical strategist BofAML Stephen Suttmeier, kutip CNBC.com.
![]() |
Kedua prediksi pasar tersebut juga diperkuat oleh prediksi The Fed New York, yang dengan modelnya memprediksi risiko resesi AS akan terjadi pada Juli 2020 sebesar 31,47%. Model tersebut dikeluarkan pada awal bulan atau tepatnya 2 Agustus, sebelum inversi terjadi pada 12 Agustus dan 21 Agustus.
![]() |
Namun, riset Credit Suisse lainnya yang juga dikutip CNBC.com pada 20 Agustus dan dinamakan 'recession dashboard' menunjukkan bahwa kondisi makroekonomi AS saat ini belum separah 1978, 1988, 1998, 2000, dan 2005, di mana dulu setidaknya enam dari tujuh indikator sudah mengarah pada resesi.
Riset tersebut menunjukkan tren inflasi, penciptaan lapangan kerja, kinerja kredit, serta kualitas laba korporasi masih baik, diikuti data manufaktur (indeks pembelian manajer manufaktur/PMI) yang ditunjukkan dengan ISM Manufacturing Index serta pasar perumahan yang masih netral.
Data yang sudah memburuk dan menunjukkan tanda-tanda resesi (recessionary) hanyalah kurva yield, sedangkan dua indikator netral dan empat indikator masih baik. Sehingga, riset tersebut mengarahkan bahwa kondisi pasar dan kondisi makroekonomi sekarang tersebut masih harus menunggu empat indikator lagi untuk dapat mengarahkan pada resesi pada 2021 atau bahkan 2020.
Manapun yang benar, intinya adalah tanda-tanda resesi, sekecil apapun, sudah terlihat sehingga sampai waktunya benar-benar terjadi maka tidak ada salahnya jika investor mulai menghitung ulang portofolio serta risk-return yang harus diterima ke depannya, serta menahan goyangannya di pasar agar tidak terlalu kencang dan tidak terlalu heboh seperti sebelumnya.
Selamat bergoyang!
![]() |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv) Next Article Inverted Yield Terjadi Lagi, Ada Apa dengan Obligasi AS?
Most Popular