
Setelah Ada Sinyal Resesi, Benarkah Wall Street akan Reli?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 August 2019 13:48

Jakarta, CNBC Indonesia- Aksi jual dengan intensitas yang sangat besar (sell-off) melanda pasar saham AS alias Wall Street pada perdagangan hari Rabu (14/8/2019). Indeks Dow Jones ambruk 3,05% ke level 25479.42, menandai koreksi terdalam secara persentase yang dibukukan indeks tersebut pada tahun 2019.
Kejatuhan tersebut sekaligus menandai koreksi terdalam secara poin yang keempat sepanjang sejarah. Sementara itu, indeks S&P 500 jatuh 2,93% ke level 2.840,6 dan indeks Nasdaq Composite anjlok 3,02% ke level 7.773,94.
Penyebab dari sell-off tersebut adalah pergerakan di pasar obligasi AS. Pada perdagangan hari Rabu, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.
Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Namun menariknya, ternyata Wall Street biasanya menunjukkan kinerja yang oke menjelang resesi. Ya, bukannya ambruk, Wall Street malah biasanya bergerak naik.
Data dari Credit Suisse menunjukkan bahwa Wall Street biasanya membukukan kenaikan hingga 18 bulan pasca terjadi inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun. Secara rata-rata, Wall Street membukukan kenaikan hingga lebih dari 15% dalam periode 18 bulan tersebut, tepatnya 15,7%.
Selepas itu, barulah pasar saham AS bergerak turun. Hingga 24 bulan pasca terjadi inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, bursa saham AS memang masih mencetak imbal hasil positif, namun imbal hasilnya berkurang jika dibandingkan dengan posisi 18 bulan pasca terjadi inversi, menjadi 14%. Ini artinya, dalam periode bulan ke 18 hingga 24, ada koreksi di sana.
Jika ditarik lebih jauh menjadi periode 30 bulan, imbal hasilnya kembali menyempit menjadi 9,5%, Ini artinya, ada koreksi dalam periode bulan ke 24 hingga 30.
Lebih lanjut, jika ditarik hingga 36 bulan pasca inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun terjadi, imbal hasil Wall Street tinggal tersisa 2%, mengimplikasikan koreksi pada periode bulan ke 30 hingga 36.
Analisis dari institusi lain menguatkan pandangan bahwa Wall Street akan menguat pasca inversi terjadi. Bank of America Merrill Lynch dalam risetnya bahkan menyebut bahwa indeks S&P 500 bisa mencapai titik tertingginya dalam dua hingga tiga bulan pasca inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun terjadi.
"Terkadang indeks S&P 500 mencapai titik tertingginya dalam dua hingga tiga bulan pasca inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, namun bisa juga diperlukan waktu hingga satu sampai dua tahun," tulis BofA Technical Strategist Stephen Suttmeier dalam risetnya, dilansir dari CNBC International.
Stephen juga menemukan bahwa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun telah mendahului tujuh resesi terakhir yang terjadi di AS, memperkuat pandangan bahwa AS memang akan jatuh ke jurang resesi.
Berlanjut ke Halaman 2 -> Tergantung The Fed
Kejatuhan tersebut sekaligus menandai koreksi terdalam secara poin yang keempat sepanjang sejarah. Sementara itu, indeks S&P 500 jatuh 2,93% ke level 2.840,6 dan indeks Nasdaq Composite anjlok 3,02% ke level 7.773,94.
Penyebab dari sell-off tersebut adalah pergerakan di pasar obligasi AS. Pada perdagangan hari Rabu, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi.
Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harga. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi. Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Namun menariknya, ternyata Wall Street biasanya menunjukkan kinerja yang oke menjelang resesi. Ya, bukannya ambruk, Wall Street malah biasanya bergerak naik.
Data dari Credit Suisse menunjukkan bahwa Wall Street biasanya membukukan kenaikan hingga 18 bulan pasca terjadi inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun. Secara rata-rata, Wall Street membukukan kenaikan hingga lebih dari 15% dalam periode 18 bulan tersebut, tepatnya 15,7%.
Selepas itu, barulah pasar saham AS bergerak turun. Hingga 24 bulan pasca terjadi inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, bursa saham AS memang masih mencetak imbal hasil positif, namun imbal hasilnya berkurang jika dibandingkan dengan posisi 18 bulan pasca terjadi inversi, menjadi 14%. Ini artinya, dalam periode bulan ke 18 hingga 24, ada koreksi di sana.
Jika ditarik lebih jauh menjadi periode 30 bulan, imbal hasilnya kembali menyempit menjadi 9,5%, Ini artinya, ada koreksi dalam periode bulan ke 24 hingga 30.
Lebih lanjut, jika ditarik hingga 36 bulan pasca inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun terjadi, imbal hasil Wall Street tinggal tersisa 2%, mengimplikasikan koreksi pada periode bulan ke 30 hingga 36.
Analisis dari institusi lain menguatkan pandangan bahwa Wall Street akan menguat pasca inversi terjadi. Bank of America Merrill Lynch dalam risetnya bahkan menyebut bahwa indeks S&P 500 bisa mencapai titik tertingginya dalam dua hingga tiga bulan pasca inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun terjadi.
"Terkadang indeks S&P 500 mencapai titik tertingginya dalam dua hingga tiga bulan pasca inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun, namun bisa juga diperlukan waktu hingga satu sampai dua tahun," tulis BofA Technical Strategist Stephen Suttmeier dalam risetnya, dilansir dari CNBC International.
Stephen juga menemukan bahwa inversi antara obligasi tenor 2 dan 10 tahun telah mendahului tujuh resesi terakhir yang terjadi di AS, memperkuat pandangan bahwa AS memang akan jatuh ke jurang resesi.
Berlanjut ke Halaman 2 -> Tergantung The Fed
Next Page
Tergantung The Fed
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular