
Damai Dagang Bawa IHSG Melesat
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 August 2019 17:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan penguatan sebesar 0,72% ke level 6.255,51, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan dengan memperlebar penguatannya menjadi 0,91%, ke level 6.267,34.
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga melaju di zona hijau: indeks Nikkei menguat 0,98%, indeks Shanghai naik 0,42%, indeks Hang Seng bertambah 0,08%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,65%.
Hasrat pelaku pasar untuk memburu instrumen berisiko seperti saham membuncah pasca mendengar kabar bahwa perang dagang AS-China agak mendingin. Kemarin pagi waktu setempat (13/8/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS mengumumkan bahwa pihaknya akan menghapus beberapa produk dari daftar produk impor asal China yang akan dikenakan bea masuk baru pada awal bulan depan.
Kantor Perwakilan Dagang AS dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa keputusan ini dilandasi oleh alasan "kesehatan, keselamatan, keamanan nasional, dan faktor-faktor lainnya", dilansir dari CNBC International.
Lebih lanjut, pengenaan bea masuk baru senilai 10% untuk berbagai produk lainnya yang sejatinya akan mulai berlaku efektif pada awal September diputuskan ditunda hingga 15 Desember. Produk-produk yang akan ditunda pengenaan bea masuknya mencakup ponsel selular, laptop, konsol video game, dan monitor komputer.
Seperti yang diketahui, pada awal bulan ini Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini sejatinya akan mulai berlaku pada tanggal 1 September, sebelum kemudian AS merubah keputusannya. Trump kala itu juga menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump pada awal bulan ini.
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai.
China pun kemudian geram bukan kepalang. China mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS tersebut dengan mengonfirmasi pemberitaan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.
Bahkan, bank sentral China kemudian ditengarai sengaja melemahkan nilai tukar mata uang Negeri Panda, yuan. Dalam beberapa hari terakhir (kecuali hari ini) People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China mematok nilai tengah yuan di level yang lebih rendah.
Sebagai informasi, PBOC memang punya wewenang untuk menentukan nilai tengah dari yuan setiap harinya. Nilai tukar yuan di pasar onshore kemudian hanya diperbolehkan bergerak dalam rentang 2% (baik itu menguat maupun melemah) dari nilai tengah tersebut, sehingga pergerakannya tak murni dikontrol oleh mekanisme pasar. Implikasinya, ketika nilai tengah ditetapkan di level yang lebih lemah, yuan akan cenderung melemah di pasar onshore.
Ditengarai, langkah PBOC yang terus saja melemahkan nilai tukar yuan dimaksudkan sebagai bentuk lain serangan balasan China terhadap bea masuk baru yang akan dieksekusi AS pada awal bulan depan. Ketika yuan melemah, produk ekspor China akan menjadi lebih murah sehingga permintaannya bisa meningkat.
Kini, diharapkan etikat baik dari AS akan dibalas juga dengan etikat baik dari pihak China. Kesepakatan dagang yang sebelumnya tampak kian mustahil untuk diteken kini kembali menjadi sebuah skenario yang bisa menjadi kenyataan.
Sebagai informasi, AS berencana untuk menggelar negosiasi dagang dengan China di Washington pada awal bulan September.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 Dari dalam negeri, kinerja keuangan yang mengkilap menjadi modal besar bagi IHSG untuk melesat. Pada hari ini, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengumumkan kinerja keuangan untuk periode semester I-2019.
Pada kuartal II-2019, perusahaan tercatat membukukan pendapatan bunga bersih/net interest income (NII) senilai Rp 20,51 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv senilai Rp 19,18 triliun. Sementara itu, laba bersih perusahaan pada tiga bulan kedua tahun ini tercatat mencapai Rp 8 triliun, juga mengalahkan konsensus yang senilai Rp 7,74 triliun.
Untuk periode semester I-2019, NII perusahaan tercatat mencapai Rp 39,92 trliun, naik 4,38% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, laba bersih adalah senilai Rp 16,16 triliun, melejit 8,56%.
Per akhir semester I-2019, perusahaan tercatat memiliki total aset senilai Rp 1.288,2 trliun.
Pada perdagangan hari ini, harga saham bank dengan aset terbesar di tanah air tersebut ditutup menguat 1,17% ke level Rp 4.330/unit, menjadikannya saham dengan kontribusi positif terbesar kedua bagi IHSG. Sepanjang tahun 2019, harga saham bank pimpinan Suprajarto tersebut sudah melejit hingga 18,31%.
Untuk diketahui, di sepanjang tahun ini harga saham perusahaan tak henti-hentinya mencetak rekor. Pada penutupan perdagangan tanggal 16 Juli 2019, harga saham perusahaan ditutup di level Rp 4.550/unit, menandai level penutupan tertinggi sepanjang sejarah.
Investor asing berperan besar dalam mendongkrak kinerja saham BBRI. Pada perdagangan hari ini, BBRI dikoleksi oleh investor asing di pasar reguler dengan nilai bersih Rp 62,1 triliun, melansir data RTI. Sepanjang tahun 2019, investor asing telah memborong saham BBRI senilai Rp 2,65 triliun. Kuatnya optimisme yang dihasilkan dari perkembangan perang dagang AS-China yang kondusif dan kinerja keuangan Bank BRI yang kinclong berhasil membuat IHSG menguat kala investor asing meninggalkan pasar saham tanah air. Per akhir sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 410 miliar di pasar reguler.
Sejatinya, kinerja rupiah mendukung bagi investor asing untuk melakukan aksi beli di bursa saham tanah air. Hingga sore hari, rupiah menguat 0,52% di pasar spot ke level Rp 14.240/dolar AS. Bara perang dagang AS-China yang mendingin membuat dolar AS selaku safe haven kehilangan pijakannya.
Namun, investor asing tampak khawatir bahwa rupiah akan terdepresiasi kedepannya. Pasalnya besok (15/8/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Juli 2019.
Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memproyeksikan bahwa ekspor jatuh 11,59% secara tahunan, sementara impor diramal ambruk hingga 19,38%. Lantas, neraca dagang diproyeksikan membukukan defisit senilai US$ 384,5 juta.
Rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi transaksi berjalan pada kuartal III-2019. Pada Juli 2018, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,01 miliar, sementara CAD pada kuartal III-2019 tercatat sebesar 3,3% dari PDB.
Jika ternyata neraca dagang Indonesia membukukan defisit yang lebih dalam dari ekspektasi pada periode Juli 2019, maka akan ada kekhawatiran bahwa transaksi berjalan akan kembali membengkak pada kuartal III-2019. Akibatnya, rupiah pun bisa semakin loyo. Mengantisipasi hal tersebut, investor asing melakukan aksi jual di pasar saham tanah air.
Untuk diketahui, pada kuartal II-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) menembus level 3% dari PDB, tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6% dari PDB. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga melaju di zona hijau: indeks Nikkei menguat 0,98%, indeks Shanghai naik 0,42%, indeks Hang Seng bertambah 0,08%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,65%.
Hasrat pelaku pasar untuk memburu instrumen berisiko seperti saham membuncah pasca mendengar kabar bahwa perang dagang AS-China agak mendingin. Kemarin pagi waktu setempat (13/8/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS mengumumkan bahwa pihaknya akan menghapus beberapa produk dari daftar produk impor asal China yang akan dikenakan bea masuk baru pada awal bulan depan.
Lebih lanjut, pengenaan bea masuk baru senilai 10% untuk berbagai produk lainnya yang sejatinya akan mulai berlaku efektif pada awal September diputuskan ditunda hingga 15 Desember. Produk-produk yang akan ditunda pengenaan bea masuknya mencakup ponsel selular, laptop, konsol video game, dan monitor komputer.
Seperti yang diketahui, pada awal bulan ini Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini sejatinya akan mulai berlaku pada tanggal 1 September, sebelum kemudian AS merubah keputusannya. Trump kala itu juga menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump pada awal bulan ini.
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai.
China pun kemudian geram bukan kepalang. China mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS tersebut dengan mengonfirmasi pemberitaan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.
Bahkan, bank sentral China kemudian ditengarai sengaja melemahkan nilai tukar mata uang Negeri Panda, yuan. Dalam beberapa hari terakhir (kecuali hari ini) People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China mematok nilai tengah yuan di level yang lebih rendah.
Sebagai informasi, PBOC memang punya wewenang untuk menentukan nilai tengah dari yuan setiap harinya. Nilai tukar yuan di pasar onshore kemudian hanya diperbolehkan bergerak dalam rentang 2% (baik itu menguat maupun melemah) dari nilai tengah tersebut, sehingga pergerakannya tak murni dikontrol oleh mekanisme pasar. Implikasinya, ketika nilai tengah ditetapkan di level yang lebih lemah, yuan akan cenderung melemah di pasar onshore.
Ditengarai, langkah PBOC yang terus saja melemahkan nilai tukar yuan dimaksudkan sebagai bentuk lain serangan balasan China terhadap bea masuk baru yang akan dieksekusi AS pada awal bulan depan. Ketika yuan melemah, produk ekspor China akan menjadi lebih murah sehingga permintaannya bisa meningkat.
Kini, diharapkan etikat baik dari AS akan dibalas juga dengan etikat baik dari pihak China. Kesepakatan dagang yang sebelumnya tampak kian mustahil untuk diteken kini kembali menjadi sebuah skenario yang bisa menjadi kenyataan.
Sebagai informasi, AS berencana untuk menggelar negosiasi dagang dengan China di Washington pada awal bulan September.
BERLANJUT KE HALAMAN 2 Dari dalam negeri, kinerja keuangan yang mengkilap menjadi modal besar bagi IHSG untuk melesat. Pada hari ini, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengumumkan kinerja keuangan untuk periode semester I-2019.
Pada kuartal II-2019, perusahaan tercatat membukukan pendapatan bunga bersih/net interest income (NII) senilai Rp 20,51 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun oleh Refinitiv senilai Rp 19,18 triliun. Sementara itu, laba bersih perusahaan pada tiga bulan kedua tahun ini tercatat mencapai Rp 8 triliun, juga mengalahkan konsensus yang senilai Rp 7,74 triliun.
Untuk periode semester I-2019, NII perusahaan tercatat mencapai Rp 39,92 trliun, naik 4,38% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, laba bersih adalah senilai Rp 16,16 triliun, melejit 8,56%.
Per akhir semester I-2019, perusahaan tercatat memiliki total aset senilai Rp 1.288,2 trliun.
Pada perdagangan hari ini, harga saham bank dengan aset terbesar di tanah air tersebut ditutup menguat 1,17% ke level Rp 4.330/unit, menjadikannya saham dengan kontribusi positif terbesar kedua bagi IHSG. Sepanjang tahun 2019, harga saham bank pimpinan Suprajarto tersebut sudah melejit hingga 18,31%.
Untuk diketahui, di sepanjang tahun ini harga saham perusahaan tak henti-hentinya mencetak rekor. Pada penutupan perdagangan tanggal 16 Juli 2019, harga saham perusahaan ditutup di level Rp 4.550/unit, menandai level penutupan tertinggi sepanjang sejarah.
Investor asing berperan besar dalam mendongkrak kinerja saham BBRI. Pada perdagangan hari ini, BBRI dikoleksi oleh investor asing di pasar reguler dengan nilai bersih Rp 62,1 triliun, melansir data RTI. Sepanjang tahun 2019, investor asing telah memborong saham BBRI senilai Rp 2,65 triliun. Kuatnya optimisme yang dihasilkan dari perkembangan perang dagang AS-China yang kondusif dan kinerja keuangan Bank BRI yang kinclong berhasil membuat IHSG menguat kala investor asing meninggalkan pasar saham tanah air. Per akhir sesi dua, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 410 miliar di pasar reguler.
Sejatinya, kinerja rupiah mendukung bagi investor asing untuk melakukan aksi beli di bursa saham tanah air. Hingga sore hari, rupiah menguat 0,52% di pasar spot ke level Rp 14.240/dolar AS. Bara perang dagang AS-China yang mendingin membuat dolar AS selaku safe haven kehilangan pijakannya.
Namun, investor asing tampak khawatir bahwa rupiah akan terdepresiasi kedepannya. Pasalnya besok (15/8/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Juli 2019.
Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memproyeksikan bahwa ekspor jatuh 11,59% secara tahunan, sementara impor diramal ambruk hingga 19,38%. Lantas, neraca dagang diproyeksikan membukukan defisit senilai US$ 384,5 juta.
Rilis data perdagangan internasional periode Juli 2019 menjadi sangat penting lantaran akan mempengaruhi posisi transaksi berjalan pada kuartal III-2019. Pada Juli 2018, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,01 miliar, sementara CAD pada kuartal III-2019 tercatat sebesar 3,3% dari PDB.
Jika ternyata neraca dagang Indonesia membukukan defisit yang lebih dalam dari ekspektasi pada periode Juli 2019, maka akan ada kekhawatiran bahwa transaksi berjalan akan kembali membengkak pada kuartal III-2019. Akibatnya, rupiah pun bisa semakin loyo. Mengantisipasi hal tersebut, investor asing melakukan aksi jual di pasar saham tanah air.
Untuk diketahui, pada kuartal II-2019 Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) menembus level 3% dari PDB, tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6% dari PDB. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular