Huft...Perdagangan Begitu Menegangkan, IHSG Sukses Menguat

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 August 2019 17:04
Huft...Perdagangan Begitu Menegangkan, IHSG Sukses Menguat
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan JumatĀ ini dengan apresiasi sebesar 0,41% ke level 6.300,09, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemudian berangsur-angur memperlebar penguatanĀ dalam sejam pertama perdagangan.

Titik tertinggi IHSG pada Jumat ini (9/8/2019) berada di level 6.319,44, menguat 0,71% dibandingkan penutupan perdagangan Kamis kemarin.

Namun selepas itu, IHSG berangsur-angsur bergerak turun. Per akhir sesi satu, penguatan IHSG hanya tersisa 0,1% ke level 6.280,79. Per akhir sesi dua, IHSG belum juga bisa bangkit. Penguatan IHSG per akhir sesi dua adalah 0,12% ke level 6.282,13.

Saham-saham yang berkontribusi besar dalam mendorong IHSG finis di zona hijau di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+1%), PT Bayan Resources Tbk/BYAN (+6,09%), PT Vale Indonesia Tbk/INCO (+4,5%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+0,39%), dan PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (+1,77%).

Ada dua faktor yang membuat IHSG menjadi bulan-bulanan selepas membukukan start yang oke. Pertama, kekhawatiran bahwa perang dagang AS-China akan terus tereskalasi.

Melansir CNBC International, People's Bank of China (PBOC) selaku bank sentral China menetapkan titik tengah yuan pada hari ini di level 7,0136/dolar AS, lebih lemah dibandingkan titik tengah pada perdagangan kemarin di level 7,0039/dolar AS.

Melansir kuotasi Refinitiv, pada hari ini di pasar onshore, yuan ditransaksikan melemah 0,18% ke level 7,0564/dolar AS. Dalam beberapa hari terakhir, yuan terus melemah di pasar onshore, seiring dengan langkah PBOC yang mematok nilai tengah yuan di level yang lebih rendah.

Hufftt... Perdagangan Begitu Menegangkan, IHSG Sukses MenguatFoto: PBOC (REUTERS/Jason Lee)

PBOC terus saja melemahkan yuan kala Kementerian Keuangan AS sudah melabeli China dengan julukan "manipulator mata uang".

Ditengarai, langkah PBOC yang terus saja melemahkan nilai tukar yuan dimaksudkan sebagai bentuk lain serangan balasan China terhadap bea masuk baru yang akan dieksekusi AS pada awal bulan depan. Ketika yuan melemah, maka produk ekspor China akan menjadi lebih murah sehingga permintaannya bisa meningkat.


Dikhawatirkan, langkah dari bank sentral China ini akan membuat AS semakin panas yang pada akhirnya akan berakibat pada kian sulitnya kedua negara untuk meneken kesepakatan dagang.

Seperti yang diketahui, pada hari Kamis (1/8/2019) Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.

"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.

China kemudian mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru tersebut. Melansir CNBC International, seorang juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.

Kala perang dagang AS-China terus saja tereskalasi, dipastikan perekonomian global akan mendapatkan tekanan yang signifikan. Maklum, AS dan China merupakan dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.

LANJUT KE HALAMAN 2>>

Dari dalam negeri, tekanan bagi pasar saham datang dari rilis angka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) periode kuartal II-2019 oleh Bank Indonesia (BI).

Kalau pada kuartal I-2019 NPI membukukan surplus senilai US$ 2,42 miliar, pada kuartal II-2019 situasinya berbalik 180 derajat. NPI membukukan defisit US$ 1,98 miliar.

NPI merupakan indikator yang mengukur arus devisa (mata uang asing) yang masuk dan keluar dari Tanah Air. Jika nilainya positif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke tanah air. Sementara jika nilainya negatif, maka ada lebih banyak devisa yang mengalir ke luar Indonesia.

Yang lebih membuat geleng-geleng kepala ada pos transaksi berjalan yang merupakan komponen dari NPI itu sendiri. Untuk diketahui, posisi transaksi berjalan menjadi faktor yang sangat penting dalam mendikte pergerakan rupiah.


Pasalnya, arus devisa yang mengalir dari pos transaksi berjalan cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Pada kuartal II-2019, BI mencatat bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.

CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB. Bahkan jika dirunut ke belakang, CAD pada kuartal II-2019 merupakan CAD kuartal II terburuk dalam lima tahun atau sejak 2014.



Ternyata, lesunya ekspor barang menjadi salah satu biang keladi dari jebolnya CAD. Pada tiga bulan kedua tahun ini, ekspor barang tercatat hanya senilai US$ 40,08 miliar, menandai ekspor barang terendah sejak kuartal II-2017.




Jika dihitung secara tahunan (kuartal II-2018 ke kuartal II-2019), ekspor barang terkontraksi sebesar 8,37%. Memang, impor juga turun jika dihitung dari kuartal II-2018 ke kuartal II-2019. Namun, penurunannya lebih kecil yakni sebesar 8,21%.

Alhasil, surplus neraca barang Indonesia pun terpangkas, dari US$ 277 juta pada kuartal II-2018 menjadi US$ 187 juta pada kuartal II-2019.

Pada kuartal I-2019, surplus neraca barang mencapai US$ 1,19 miliar, di mana surplus tersebut saja sudah jauh lebih rendah dari surplus yang dibukukan pada kuartal I-2018 senilai US$ 2,32 miliar.

Kala CAD pada dua kuartal pertama tahun ini sudah lebih dalam ketimbang CAD pada dua kuartal pertama tahun lalu, besar kemungkinan bahwa CAD untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan membengkak jika dibandingkan capaian tahun 2018. Prospek rupiah pun praktis menjadi suram dan membuat pasar saham tanah air ditinggalkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(ank/tas) Next Article Yuan Terus Dilemahkan oleh China, Bursa Saham Asia Terkulai

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular