
Nestapa CPO: RI Produsen Terbesar Tapi tak Bisa Atur Harga
Monica Chua & Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
08 August 2019 06:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) tampaknya memang masih sulit keluar dari tekanan. Sentimen negatif terkait peningkatan produksi masih menjadi beban yang membuat harga sulit untuk terangkat.
Kemarin, harga CPO kontrak pengiriman Oktober stagnan di posisi MYR 2.101/ton atau sekitar US$ 500/ton. Harga CPO masih mendapat tekanan dari penurunan harga minyak kedelai di pasar Chicago Board of Trade (CBOT) sebesar 1,1% pada perdagangan Selasa (6/8/2019).
Minyak kedelai merupakan saingan CPO karena hampir seluruh fungsi dapatnya digantikan minyak kedelai. Pergerakan harga kedelai biasanya akan memberi pengaruh searah pada harga CPO.
Dalam beberapa hari terakhir, penurunan harga kedelai banyak dipengaruhi eskalasi perang dagang AS-China. Pada Selasa (6/8/2019), Juru Bicara Kementerian Perdagangan China mengatakan perusahaan-perusahaan Negeri Panda telah menghentikan pembelian produk pertanian asal AS.
Hal itu berdampak sangat buruk pada pasar kedelai global. Pasalnya, China merupakan pembeli terbesar kedelai asal AS. Artinya stok akan berlebihan karena kehilangan pembeli terbesar dan membuat keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) terganggu.
Di lain pihak, dalam jangka pendek harga CPO masih mendapat sentimen negatif dari siklus perkebunan sawit yang telah masuk masa rehat. Ada kemungkinan terjadi musim kemarau panjang di negara-negara penghasil CPO. Hal ini akan mempengaruhi produksi.
Hal itu disampaikan oleh analis sawit dan Direktur Godrej International Limited, Dorab Mistry dalam sebuah konferensi pekan lalu, dikutip dari Reuters. Dirinya juga memperkirakan harga CPO masih bisa naik ke level MYR 2.200/ton.
Namun dalam jangka panjang harga CPO tampaknya masih akan berada dalam tren turun. Penyebab utama sebanarnya adalah jumlah produksi CPO dunia yang memang berlebihan.
Mari simak data produksi Indonesia dan penambahan jumlah luas perkebunan CPO. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, setidaknya sejak tahun 2000.
Data terakhir yang dipublikasikan BPS, total luas lahan sawit Indonesia telah mencapai 12,2 juta hektare pada tahun 2017. Sementara pada tahun 2000 hanya seluas 4,1 juta hektare.
Artinya secara rata-rata, luas lahan sawit bertambah sebesar 452 ribu hektare setiap tahun pada periode dalam kurun waktu 17 tahun. Paling pesat penambahan jumlah kebun pada 2017, di mana luas lahan sawit bertambah 1,09 juta hektare.
Jika dihitung dalam kurun waktu 10 tahun, dari 2007 hingga 2017, luas lahan perkembunan sawit bertambah seluas 5,4 juta hektare. Artinya pertambahan luas lahan ini juga yang membuat produksi CPO Indonesia terus bertambah.
Sementara itu, jumlah produksi CPO Indonesia pada 2019 diprediksi mencapai 45 juta ton. Angka tersebut lebih kecil dari jumlah produksi 2018 yang mencapai angka 47 juta ton. Ini artinya, para produsen sawit sudah berupaya untuk menekan jumlah produksi karena permintaan turun.
Jumlah produksi CPO yang mencapai 47 juta ton tersebut, menempatkan Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, disusul oleh Malaysia dengan produksi 19,5 juta ton pada tahun 2018.
Nah dalam situasi seperti inilah, pelaku industri CPO nasional melihat faktor perang dagang dan penolakan Uni Eropa (UE) terhadap minyak sawit Indonesia hanya menjadi faktor pemberat penurunan harga CPO.
Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Santosa bahkan sempat menyatakan tahun ini merupakan periode terburuk dalam 10 tahun terakhir.
Santosa menyebutkan, harga komoditas sawit mentah rentan bergejolak. Hal itu memang menjadi faktor krusial yang tidak bisa dikendalikan oleh satu perusahaan saja. Perang dagang AS-China serta dampak kampanye negatif sawit di UE sebenarnya sudah berlangsung lama
"Semua di dunia sekarang perang dagang, Indonesia produk unggulan-nya kelapa sawit. Industri ini berpengaruh terhadap tenaga kerja dan ekonomi di tingkat akar rumput. Ini dijadikan senjata negara lain untuk negosiasi dagang dengan Indonesia," kata Santosa saat wawancara khusus dengan CNBC Indonesia, Selasa (6/8/2019).
Menurut Santosa, faktor utama yang menyebabkan harga CPO anjlok dan produsen mengalami tekanan sepanjang semester I-2019 karena disebabkan oleh mekanisme pasar yang menentukan terbentuknya harga berdasarkan supply and demand.
Saat ini stok minyak nabati dunia melimpah akibat produksi yang sangat tinggi. Sementara produksi CPO Indonesia terus meningkat dan saat ini sudah mencapai sekitar 45 juta ton.
Padahal harga ideal CPO pada kisaran US$ 700/ ton atau MYR 2.940. Pada level harga tersebut produsen sudah bisa menikmati keuntungan dari satu kali siklus masa tanam.
Selain itu, jumlah produksi CPO Indonesia tersebut sebagian besar impor. Konsumsi di dalam negeri hanya sekitar 13 juta ton, selebihnya ekspor.
Produsen CPO domestik semakin sulit untuk mengandalkan pasar dalam negeri karena industri hilir CPO juga tidak berkembag. Sementara kebijakan B20, B30, dan B100 atau minyak diesel masih berkutat di persoalan regulasi dan harga keekonomian.
[Gambas:Video CNBC]
(hps/miq) Next Article Eksklusif! Nasib CPO di Pusaran Over Supply & Trade War
Kemarin, harga CPO kontrak pengiriman Oktober stagnan di posisi MYR 2.101/ton atau sekitar US$ 500/ton. Harga CPO masih mendapat tekanan dari penurunan harga minyak kedelai di pasar Chicago Board of Trade (CBOT) sebesar 1,1% pada perdagangan Selasa (6/8/2019).
Minyak kedelai merupakan saingan CPO karena hampir seluruh fungsi dapatnya digantikan minyak kedelai. Pergerakan harga kedelai biasanya akan memberi pengaruh searah pada harga CPO.
Hal itu berdampak sangat buruk pada pasar kedelai global. Pasalnya, China merupakan pembeli terbesar kedelai asal AS. Artinya stok akan berlebihan karena kehilangan pembeli terbesar dan membuat keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) terganggu.
Di lain pihak, dalam jangka pendek harga CPO masih mendapat sentimen negatif dari siklus perkebunan sawit yang telah masuk masa rehat. Ada kemungkinan terjadi musim kemarau panjang di negara-negara penghasil CPO. Hal ini akan mempengaruhi produksi.
Hal itu disampaikan oleh analis sawit dan Direktur Godrej International Limited, Dorab Mistry dalam sebuah konferensi pekan lalu, dikutip dari Reuters. Dirinya juga memperkirakan harga CPO masih bisa naik ke level MYR 2.200/ton.
Namun dalam jangka panjang harga CPO tampaknya masih akan berada dalam tren turun. Penyebab utama sebanarnya adalah jumlah produksi CPO dunia yang memang berlebihan.
![]() |
Mari simak data produksi Indonesia dan penambahan jumlah luas perkebunan CPO. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan sawit di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, setidaknya sejak tahun 2000.
Data terakhir yang dipublikasikan BPS, total luas lahan sawit Indonesia telah mencapai 12,2 juta hektare pada tahun 2017. Sementara pada tahun 2000 hanya seluas 4,1 juta hektare.
Artinya secara rata-rata, luas lahan sawit bertambah sebesar 452 ribu hektare setiap tahun pada periode dalam kurun waktu 17 tahun. Paling pesat penambahan jumlah kebun pada 2017, di mana luas lahan sawit bertambah 1,09 juta hektare.
Jika dihitung dalam kurun waktu 10 tahun, dari 2007 hingga 2017, luas lahan perkembunan sawit bertambah seluas 5,4 juta hektare. Artinya pertambahan luas lahan ini juga yang membuat produksi CPO Indonesia terus bertambah.
Sementara itu, jumlah produksi CPO Indonesia pada 2019 diprediksi mencapai 45 juta ton. Angka tersebut lebih kecil dari jumlah produksi 2018 yang mencapai angka 47 juta ton. Ini artinya, para produsen sawit sudah berupaya untuk menekan jumlah produksi karena permintaan turun.
Jumlah produksi CPO yang mencapai 47 juta ton tersebut, menempatkan Indonesia menjadi negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, disusul oleh Malaysia dengan produksi 19,5 juta ton pada tahun 2018.
Nah dalam situasi seperti inilah, pelaku industri CPO nasional melihat faktor perang dagang dan penolakan Uni Eropa (UE) terhadap minyak sawit Indonesia hanya menjadi faktor pemberat penurunan harga CPO.
![]() |
Presiden Direktur PT Astra Agro Lestari Santosa bahkan sempat menyatakan tahun ini merupakan periode terburuk dalam 10 tahun terakhir.
Santosa menyebutkan, harga komoditas sawit mentah rentan bergejolak. Hal itu memang menjadi faktor krusial yang tidak bisa dikendalikan oleh satu perusahaan saja. Perang dagang AS-China serta dampak kampanye negatif sawit di UE sebenarnya sudah berlangsung lama
"Semua di dunia sekarang perang dagang, Indonesia produk unggulan-nya kelapa sawit. Industri ini berpengaruh terhadap tenaga kerja dan ekonomi di tingkat akar rumput. Ini dijadikan senjata negara lain untuk negosiasi dagang dengan Indonesia," kata Santosa saat wawancara khusus dengan CNBC Indonesia, Selasa (6/8/2019).
Menurut Santosa, faktor utama yang menyebabkan harga CPO anjlok dan produsen mengalami tekanan sepanjang semester I-2019 karena disebabkan oleh mekanisme pasar yang menentukan terbentuknya harga berdasarkan supply and demand.
Saat ini stok minyak nabati dunia melimpah akibat produksi yang sangat tinggi. Sementara produksi CPO Indonesia terus meningkat dan saat ini sudah mencapai sekitar 45 juta ton.
Padahal harga ideal CPO pada kisaran US$ 700/ ton atau MYR 2.940. Pada level harga tersebut produsen sudah bisa menikmati keuntungan dari satu kali siklus masa tanam.
Selain itu, jumlah produksi CPO Indonesia tersebut sebagian besar impor. Konsumsi di dalam negeri hanya sekitar 13 juta ton, selebihnya ekspor.
Produsen CPO domestik semakin sulit untuk mengandalkan pasar dalam negeri karena industri hilir CPO juga tidak berkembag. Sementara kebijakan B20, B30, dan B100 atau minyak diesel masih berkutat di persoalan regulasi dan harga keekonomian.
[Gambas:Video CNBC]
(hps/miq) Next Article Eksklusif! Nasib CPO di Pusaran Over Supply & Trade War
Most Popular