
Gawat! Sejak Awal Agustus, IHSG Sudah Ambruk 5% Lebih!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 August 2019 10:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Bulan Agustus terbukti menjadi bulan yang penuh rintangan bagi pelaku pasar saham Tanah Air. Bagaimana tidak, terhitung sejak awal Agustus hingga Selasa pagi ini (6/8/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah ambruk sebesar 5,01%.
Pada perdagangan hari ini, indeks saham acuan di Indonesia tersebut tercatat anjlok 1,71% ke level 6.070,17 pada sesi I pukul 10.00 WIB.
Faktor eksternal dan domestik sukses memantik aksi jual dengan intensitas yang besar di bursa saham tanah air. Berbicara mengenai faktor eksternal, ada hasil pertemuan Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS yang begitu mengecewakan.
Pada akhir bulan Juli, The Fed mengumumkan bahwa tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps menjadi 2%-2,25%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2008 silam. Keputusan The Fed kali ini sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar.
Melansir CNBC International, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan dengan dasar adanya dampak negatif dari perkembangan ekonomi dunia bagi prospek perekonomian, serta rendahnya tekanan inflasi.
Dalam rilis resminya, The Fed membuka pintu pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut dengan mengatakan bahwa pihaknya akan "bertindak sebagaimana mestinya untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi".
Namun, yang menjadi masalah adalah kala Jerome Powell selaku Gubernur The Fed menggelar konferensi pers. Dalam konferensi pers, Powell menyebut bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada dini hari tadi hanyalah sebuah "penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment".
Powell menjelaskan bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.
"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."
Padahal, sebelumnya pelaku pasar berharap bahwa The Fed akan mengeluarkan pernyataan yang begitu dovish. Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang signifikan oleh The Fed akan membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Masih berbicara mengenai faktor eksternal, ada juga perang dagang AS-China yang kian panas. Pada pekan lalu, AS dan China sejatinya menggelar negosiasi dagang selama dua hari di Shanghai.
Namun, kedua pihak sama-sama tak mengumumkan langkah konkret apapun yang akan diambil guna mempercepat penandatanganan kesepakatan dagang. Malahan, terdapat perbedaan yang signifikan dari pernyataan kedua negara terkait dengan langkah konkret tersebut.
Pihak AS menyebut bahwa China kembali menyatakan komitmennya untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang lebih besar, sementara pihak China hanya menyebut bahwa delegasi kedua negara mendikusikan hal tersebut tanpa menyebut adanya komitmen apapun.
Hal yang dikhawatirkan pelaku pasar pun akhirnya terjadi. Pada hari Kamis (1/8/2019) Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
[Gambas:Twitter]
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.
China pun kemudian geram bukan kepalang. Pada hari ini, China mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS pada awal September mendatang dengan mengonfirmasi pemberitaan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.
Melansir CNBC International, seorang juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.
Selain itu, Kementerian Perdagangan China juga membuka kemungkinan untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk agrikultur asal AS yang sudah terlanjut dipesan setelah tanggal 3 Agustus.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi pasar saham Tanah Air datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan kemarin (5/8/2019) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sepanjang kuartal II-2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.
Walaupun sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%.
Padahal, pada 3 bulan kedua tahun ini ada gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat Indonesia, sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai informasi, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Mengingat pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun ini ternyata melambat, maka target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah untuk tahun 2019 di level 5,3% tampak akan kiat sulit untuk tercapai. Lagi-lagi, target yang dipatok pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hanya sebatas target.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Kala perekonomian loyo, penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan tertekan. Merespons hal tersebut, aksi jual dengan intensitas yang besar terus dilakukan oleh investor di pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Tepis Pelemahan Bursa Regional, IHSG ke Zona Hijau
Pada perdagangan hari ini, indeks saham acuan di Indonesia tersebut tercatat anjlok 1,71% ke level 6.070,17 pada sesi I pukul 10.00 WIB.
Faktor eksternal dan domestik sukses memantik aksi jual dengan intensitas yang besar di bursa saham tanah air. Berbicara mengenai faktor eksternal, ada hasil pertemuan Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS yang begitu mengecewakan.
Melansir CNBC International, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan dengan dasar adanya dampak negatif dari perkembangan ekonomi dunia bagi prospek perekonomian, serta rendahnya tekanan inflasi.
Dalam rilis resminya, The Fed membuka pintu pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut dengan mengatakan bahwa pihaknya akan "bertindak sebagaimana mestinya untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi".
Namun, yang menjadi masalah adalah kala Jerome Powell selaku Gubernur The Fed menggelar konferensi pers. Dalam konferensi pers, Powell menyebut bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada dini hari tadi hanyalah sebuah "penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment".
Powell menjelaskan bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.
"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."
Padahal, sebelumnya pelaku pasar berharap bahwa The Fed akan mengeluarkan pernyataan yang begitu dovish. Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang signifikan oleh The Fed akan membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Masih berbicara mengenai faktor eksternal, ada juga perang dagang AS-China yang kian panas. Pada pekan lalu, AS dan China sejatinya menggelar negosiasi dagang selama dua hari di Shanghai.
Namun, kedua pihak sama-sama tak mengumumkan langkah konkret apapun yang akan diambil guna mempercepat penandatanganan kesepakatan dagang. Malahan, terdapat perbedaan yang signifikan dari pernyataan kedua negara terkait dengan langkah konkret tersebut.
Pihak AS menyebut bahwa China kembali menyatakan komitmennya untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang lebih besar, sementara pihak China hanya menyebut bahwa delegasi kedua negara mendikusikan hal tersebut tanpa menyebut adanya komitmen apapun.
Hal yang dikhawatirkan pelaku pasar pun akhirnya terjadi. Pada hari Kamis (1/8/2019) Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
[Gambas:Twitter]
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.
China pun kemudian geram bukan kepalang. Pada hari ini, China mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS pada awal September mendatang dengan mengonfirmasi pemberitaan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.
![]() |
Melansir CNBC International, seorang juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.
Selain itu, Kementerian Perdagangan China juga membuka kemungkinan untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk agrikultur asal AS yang sudah terlanjut dipesan setelah tanggal 3 Agustus.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi pasar saham Tanah Air datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan kemarin (5/8/2019) oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sepanjang kuartal II-2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.
Walaupun sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%.
Padahal, pada 3 bulan kedua tahun ini ada gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat Indonesia, sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai informasi, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Mengingat pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun ini ternyata melambat, maka target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah untuk tahun 2019 di level 5,3% tampak akan kiat sulit untuk tercapai. Lagi-lagi, target yang dipatok pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hanya sebatas target.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Kala perekonomian loyo, penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan tertekan. Merespons hal tersebut, aksi jual dengan intensitas yang besar terus dilakukan oleh investor di pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Tepis Pelemahan Bursa Regional, IHSG ke Zona Hijau
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular