
Dear AS dan China, Baikan Dong Please...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 August 2019 09:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Pagi ini, pasar keuangan Asia menjadi lautan merah. Pasar valas dan bursa saham Benua Kuning masih terjebak dalam koreksi.
Di pasar valas, rupiah masih melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada Selasa (6/8/2019) pukul 09:03 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.340. Rupiah melemah 0,63% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia juga tidak berdaya menghadapi dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 09:04 WIB:
Sementara di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) amblas 2,2% pada pukul 09:05 WIB. Seperti di pasar valas, bursa saham utama Asia pun berguguran dengan koreksi 1-2% menjadi pemandangan yang wajar.
Sejak akhir pekan lalu, pelaku pasar dibuat cemas oleh perkembangan hubungan AS-China. Drama dimulai dengan cuitan Presiden AS Donald Trump di Twitter. Eks taipan properti itu mengancam bakal menerapkan bea masuk baru sebesar 10% untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 300 miliar.
China tidak terima. Beijing menegaskan bahwa mereka siap untuk menjalani perang dagang jika memang tidak terhindarkan.
Bahkan sepertinya aksi balas dendam China lebih kejam. Sejak kemarin, China seakan membiarkan nilai tukar yuan melemah. Baru kali pertama sejak 2008 di mana US$ 1 berada di kisaran CNY 7.
Yuan memang tidak sepenuhnya bergerak berdasarkan mekanisme pasar. Bank Sentral China (PBoC) setiap hari menetapkan nilai tengah yuan. Mata uang ini diperkenankan untuk melemah atau menguat maksimal 2% dari titik tengah itu.
Hari ini, titik tengah yuan berada di CNY 6,9683/US$. Namun di pasar spot, yuan masih setia di kisaran CNY 7.
Oleh karena itu, muncul pandangan bahwa China sengaja membiarkan yuan melemah. Pelemahan yuan akan membuat ekspor China tetap kompetitif karena produk-produk Negeri Tirai Bambu lebih murah di pasar global.
Kini gantian AS yang tidak terima dan berencana mengadukan China ke Dana Moneter Internasional (IMF). "Sebagai konsekuensi dari tindakan ini, Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan meminta Dana IMF untuk menindak kompetisi tidak adil yang dilakukan oleh China," demikian bunyi pernyataan resmi Kementerian Keuangan AS.
Perang dagang sepertinya sudah naik kelas, bertransformasi menjadi perang mata uang. Jika praktik yang dilakukan China ditiru oleh negara lain demi menggenjot ekspor, maka akan terjadi devaluasi mata uang secara kompetitif.
Berbagai negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya dengan mengabaikan mekanisme pasar. Ini tentu sangat berbahaya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kunci untuk menyelesaikan masalah ini adalah AS dan China harus kembali ke meja perundingan. Sejatinya kedua negara baru pekan lalu melaksanakan dialog dagang di Shanghai, dan rencananya berlanjut di Washington pada bulan depan.
Namun entah mengapa Trump kok kumat dan membuat suasana kembali keruh. Damai dagang kian jauh panggang dari api. Justru yang terjadi adalah perang dagang semakin panas dan mengarah ke perang mata uang.
Friksi AS China pasti akan mempengaruhi perekonomian global. Sebab, keduanya adalah kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi. Kala mereka saling hambat, rantai pasok global ikut tersendat.
Berbagai lembaga sudah sejak tahun lalu menyatakan bahwa perang dagang AS-China adalah salah satu risiko besar yang menyebabkan perlambatan ekonomi dunia. Namun entah mengapa sampai sekarang isu tersebut belum juga terselesaikan.
"Pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang, akan tersendat. Risiko-risiko yang akan dihadapi antara lain hambatan perdagangan, ketidakstabilan pasar keuangan, dan perlambatan ekonomi di sejumlah negara maju," demikian tulis Bank Dunia dalam Global Economic Priospect terbitan Juni 2019.
"Pertumbuhan ekonomi global tetap lemah. AS dan China masih saling balas mengenakan bea masuk. Risiko pertumbuhan ekonomi global cenderung bias ke bawah (downside) akibat tensi dagang, perselisihan teknologi, perlambatan investasi, kerentanan di sektor keuangan, dan sebagainya," papar IMF dalam World Economic Outlook edisi Juli 2019.
"Ketegangan hubungan dagang yang berlanjut terus menekan volume perdagangan dunia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Perekonomian AS diprakirakan tumbuh melambat akibat ekspor yang menurun sebagai dampak ketegangan hubungan dagang, stimulus fiskal yang terbatas, serta keyakinan pelaku ekonomi yang belum kuat. Pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa juga melambat dipengaruhi penurunan kinerja ekspor dan permasalahan struktural terkait ageing population, yang kemudian berpengaruh pada permintaan domestik. Kinerja ekspor yang menurun serta permintaan domestik yang melambat juga terjadi di Tiongkok dan India," sebut keterangan tertulis hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) Juli 2019.
Oleh karena itu, dunia sangat berharap AS dan China kembali mesra. Jika damai dagang AS-China terwujud, maka satu risiko besar bisa dihapus dari daftar sehingga dunia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Jadi, AS-China harus kembali ke meja perundingan. Semoga dialog dagang di Washington pada September masih bisa terjadi, dan jalan menuju damai dagang bisa dibangun kembali.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Di pasar valas, rupiah masih melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Pada Selasa (6/8/2019) pukul 09:03 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.340. Rupiah melemah 0,63% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia juga tidak berdaya menghadapi dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 09:04 WIB:
Sementara di pasar saham, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) amblas 2,2% pada pukul 09:05 WIB. Seperti di pasar valas, bursa saham utama Asia pun berguguran dengan koreksi 1-2% menjadi pemandangan yang wajar.
Sejak akhir pekan lalu, pelaku pasar dibuat cemas oleh perkembangan hubungan AS-China. Drama dimulai dengan cuitan Presiden AS Donald Trump di Twitter. Eks taipan properti itu mengancam bakal menerapkan bea masuk baru sebesar 10% untuk importasi produk-produk made in China senilai US$ 300 miliar.
China tidak terima. Beijing menegaskan bahwa mereka siap untuk menjalani perang dagang jika memang tidak terhindarkan.
Bahkan sepertinya aksi balas dendam China lebih kejam. Sejak kemarin, China seakan membiarkan nilai tukar yuan melemah. Baru kali pertama sejak 2008 di mana US$ 1 berada di kisaran CNY 7.
Yuan memang tidak sepenuhnya bergerak berdasarkan mekanisme pasar. Bank Sentral China (PBoC) setiap hari menetapkan nilai tengah yuan. Mata uang ini diperkenankan untuk melemah atau menguat maksimal 2% dari titik tengah itu.
Hari ini, titik tengah yuan berada di CNY 6,9683/US$. Namun di pasar spot, yuan masih setia di kisaran CNY 7.
Oleh karena itu, muncul pandangan bahwa China sengaja membiarkan yuan melemah. Pelemahan yuan akan membuat ekspor China tetap kompetitif karena produk-produk Negeri Tirai Bambu lebih murah di pasar global.
Kini gantian AS yang tidak terima dan berencana mengadukan China ke Dana Moneter Internasional (IMF). "Sebagai konsekuensi dari tindakan ini, Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan meminta Dana IMF untuk menindak kompetisi tidak adil yang dilakukan oleh China," demikian bunyi pernyataan resmi Kementerian Keuangan AS.
Perang dagang sepertinya sudah naik kelas, bertransformasi menjadi perang mata uang. Jika praktik yang dilakukan China ditiru oleh negara lain demi menggenjot ekspor, maka akan terjadi devaluasi mata uang secara kompetitif.
Berbagai negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya dengan mengabaikan mekanisme pasar. Ini tentu sangat berbahaya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kunci untuk menyelesaikan masalah ini adalah AS dan China harus kembali ke meja perundingan. Sejatinya kedua negara baru pekan lalu melaksanakan dialog dagang di Shanghai, dan rencananya berlanjut di Washington pada bulan depan.
Namun entah mengapa Trump kok kumat dan membuat suasana kembali keruh. Damai dagang kian jauh panggang dari api. Justru yang terjadi adalah perang dagang semakin panas dan mengarah ke perang mata uang.
Friksi AS China pasti akan mempengaruhi perekonomian global. Sebab, keduanya adalah kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi. Kala mereka saling hambat, rantai pasok global ikut tersendat.
Berbagai lembaga sudah sejak tahun lalu menyatakan bahwa perang dagang AS-China adalah salah satu risiko besar yang menyebabkan perlambatan ekonomi dunia. Namun entah mengapa sampai sekarang isu tersebut belum juga terselesaikan.
"Pertumbuhan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang, akan tersendat. Risiko-risiko yang akan dihadapi antara lain hambatan perdagangan, ketidakstabilan pasar keuangan, dan perlambatan ekonomi di sejumlah negara maju," demikian tulis Bank Dunia dalam Global Economic Priospect terbitan Juni 2019.
"Pertumbuhan ekonomi global tetap lemah. AS dan China masih saling balas mengenakan bea masuk. Risiko pertumbuhan ekonomi global cenderung bias ke bawah (downside) akibat tensi dagang, perselisihan teknologi, perlambatan investasi, kerentanan di sektor keuangan, dan sebagainya," papar IMF dalam World Economic Outlook edisi Juli 2019.
"Ketegangan hubungan dagang yang berlanjut terus menekan volume perdagangan dunia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global. Perekonomian AS diprakirakan tumbuh melambat akibat ekspor yang menurun sebagai dampak ketegangan hubungan dagang, stimulus fiskal yang terbatas, serta keyakinan pelaku ekonomi yang belum kuat. Pertumbuhan ekonomi kawasan Eropa juga melambat dipengaruhi penurunan kinerja ekspor dan permasalahan struktural terkait ageing population, yang kemudian berpengaruh pada permintaan domestik. Kinerja ekspor yang menurun serta permintaan domestik yang melambat juga terjadi di Tiongkok dan India," sebut keterangan tertulis hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) Juli 2019.
Oleh karena itu, dunia sangat berharap AS dan China kembali mesra. Jika damai dagang AS-China terwujud, maka satu risiko besar bisa dihapus dari daftar sehingga dunia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Jadi, AS-China harus kembali ke meja perundingan. Semoga dialog dagang di Washington pada September masih bisa terjadi, dan jalan menuju damai dagang bisa dibangun kembali.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular