
Kacau! AS-China Makin Panas, IHSG Ambruk Nyaris 2%!
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 August 2019 09:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini terbukti menjadi pekan yang sulit bagi pasar saham Tanah Air. Pascaanjlok 2,59% pada perdagangan Senin kemarin (5/8/2019), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah 1,14% pada perdagangan hari ini ke level 6.105,09.
Pada pukul 09:30 WIB, Selasa ini, IHSG sudah memperlebar kekalahannya menjadi 1,81% ke level 6.063,83.
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei ambruk 1,9%, indeks Shanghai anjlok 1,94%, indeks Hang Seng jatuh 2,43%, indeks Straits Times terkoreksi 1,42%, dan indeks Kospi terpangkas 1,39%.
Perang dagang AS-China yang kian memanas menjadi faktor yang melandasi aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Pada hari ini, China mengumumkan balasan terkait dengan bea masuk baru yang akan dieksekusi oleh AS pada awal September mendatang dengan mengonfirmasi pemberitaan bahwa perusahaan-perusahaan asal China akan berhenti membeli produk agrikultur asal AS.
Melansir CNBC International, seorang juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.
Selain itu, Kementerian Perdagangan China juga membuka kemungkinan untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk agrikultur asal AS yang sudah terlanjut dipesan setelah tanggal 3 Agustus.
Seperti yang diketahui, pada hari Kamis (1/8/2019) Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.
Belakangan, terungkap bahwa Trump kini sudah 'membabi-buta' jika berbicara mengenai China. Melansir CNBC International yang mengutip pemberitaan Wall Street Journal, ternyata keputusan dari Trump tersebut ditentang oleh para pejabat Gedung Putih lainnya.
Keputusan Trump yang sekaligus mengakhiri gencatan senjata yang disepakati dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir Juni pada awalnya tak disetujui oleh nyaris seluruh penasihatnya, termasuk oleh Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow.
Namun, Trump dikabarkan tetap kekeh untuk kembali meluncurkan serangan terhadap China. Para penasihatnya pun pada akhirnya ikut membantu Trump untuk menulis cuitan yang berisi pengumuman bahwa gencatan senjata antara AS dan China akan diakhiri.
Kala perang dagang AS-China tereskalasi, bisa dipastikan bahwa laju perekonomian dunia akan mendapatkan tekanan yang signifikan. Maklum, AS dan China merupakan dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan kemarin oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sepanjang kuartal II-2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.
Walaupun sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%.
Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat Indonesia, sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai informasi, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Mengingat pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun ini ternyata melambat, maka target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah untuk tahun 2019 di level 5,3% tampak akan kiat sulit untuk tercapai. Lagi-lagi, target yang dipatok pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hanya sebatas target.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Kala perekonomian loyo, penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan tertekan. Merespons hal tersebut, aksi jual dengan intensitas yang besar terus dilakukan oleh investor di pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
Pada pukul 09:30 WIB, Selasa ini, IHSG sudah memperlebar kekalahannya menjadi 1,81% ke level 6.063,83.
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei ambruk 1,9%, indeks Shanghai anjlok 1,94%, indeks Hang Seng jatuh 2,43%, indeks Straits Times terkoreksi 1,42%, dan indeks Kospi terpangkas 1,39%.
Melansir CNBC International, seorang juru bicara untuk Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda telah berhenti membeli produk agrikultur asal AS sebagai respons dari rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan bea masuk baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 300 miliar.
Selain itu, Kementerian Perdagangan China juga membuka kemungkinan untuk mengenakan bea masuk baru bagi produk agrikultur asal AS yang sudah terlanjut dipesan setelah tanggal 3 Agustus.
Seperti yang diketahui, pada hari Kamis (1/8/2019) Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.
"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.
Pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan kemarin.
Belakangan, terungkap bahwa Trump kini sudah 'membabi-buta' jika berbicara mengenai China. Melansir CNBC International yang mengutip pemberitaan Wall Street Journal, ternyata keputusan dari Trump tersebut ditentang oleh para pejabat Gedung Putih lainnya.
Keputusan Trump yang sekaligus mengakhiri gencatan senjata yang disepakati dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir Juni pada awalnya tak disetujui oleh nyaris seluruh penasihatnya, termasuk oleh Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow.
Namun, Trump dikabarkan tetap kekeh untuk kembali meluncurkan serangan terhadap China. Para penasihatnya pun pada akhirnya ikut membantu Trump untuk menulis cuitan yang berisi pengumuman bahwa gencatan senjata antara AS dan China akan diakhiri.
Kala perang dagang AS-China tereskalasi, bisa dipastikan bahwa laju perekonomian dunia akan mendapatkan tekanan yang signifikan. Maklum, AS dan China merupakan dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>
Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG datang dari rilis angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan kemarin oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sepanjang kuartal II-2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia.
Walaupun sesuai ekspektasi, pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%.
Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi masyarakat Indonesia, sekaligus mendongkrak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Sebagai informasi, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.
Mengingat pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun ini ternyata melambat, maka target pertumbuhan ekonomi yang dipatok pemerintah untuk tahun 2019 di level 5,3% tampak akan kiat sulit untuk tercapai. Lagi-lagi, target yang dipatok pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hanya sebatas target.
Sedikit mundur ke tahun 2017, perekonomian ditargetkan tumbuh sebesar 5,1% dalam APBN, sebelum kemudian dinaikkan menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Kenyataannya, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,07%.
Pada tahun 2018, perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,17%. Padahal, pemerintah mematok target sebesar 5,4%. Ada selisih yang sangat jauh antara target dan realisasi.
Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini sudah begitu skeptis dalam memandang perekonomian Indonesia. Beberapa sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019.
Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.
Kala perekonomian loyo, penjualan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan tertekan. Merespons hal tersebut, aksi jual dengan intensitas yang besar terus dilakukan oleh investor di pasar saham tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Besok AS-China Deal! IHSG Nyaman di Zona Hijau
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular