Ekonomi Indonesia Melambat, Luka Rupiah Kian Menganga

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 August 2019 11:46
Ekonomi Indonesia Melambat, Luka Rupiah Kian Menganga
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rilis data pertumbuhan ekonomi nasional semakin membebani gerak rupiah hari ini. Meski angkanya sesuai ekspektasi, tetapi menegaskan perlambatan ekonomi sudah menjangkiti Indonesia. 

Pada Senin (5/8/2019) pukul 11:27 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.265 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,63% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu dan menyentuh titik terlemah sejak 19 Juni. 

 

Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statisttik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,05% year-on-year (YoY). Angka ini sama persis dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dan Reuters.  

Walau pertumbuhan ekonomi sesuai ekspektasi, mengapa rupiah masih melemah? Angka 5,05% menunjukkan ekonomi Indonesia melambat. Sebab pada kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi tercatat 5,07%. 


Sudah jelas, perlambatan ekonomi global mulai dirasakan oleh Indonesia. Terlihat dari ekspor yang terkontraksi alias minus 1,81% YoY. Ekspor terkontraksi selama dua kuartal beruntun. 

Investasi juga tumbuh melambat dari 5,03% pada kuartal I-2019 menjadi 5,01% pada kuartal II-2019. Wajar, karena impor (yang didominasi oleh bahan baku dan barang modal untuk keperluan investasi) terkontraksi 6,3%. 

Meski konsumsi rumah tangga tumbuh lumayan oke di 5,17% YoY, tetapi ternyata tidak cukup untuk menutup lubang di sisi ekspor dan investasi. Alhasil, ekonomi Indonesia melambat. 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Data pertumbuhan ekonomi menambah beban rupiah yang sudah terpukul oleh sentimen eksternal. Hari ini, pelaku pasar khawatir perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China sudah naik level menjadi perang mata uang.  

Ada tendensi China melemahkan mata uang yuan untuk mendongkrak kinerja ekspor di tengah friksi dagang dengan Negeri Paman Sam. Pada pukul 11:37 WIB, US$ 1 setara dengan CNY 7,0268. Yuan melemah tajam 1,27% dan menyentuh titik terlemah sejak Maret 2008. 


Sejak akhir pekan lalu, relasi Washington-Beijing memanas. Selepas perundingan dagang di Shanghai (yang katanya cukup produktif), Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bakal menerapkan bea masuk baru sebesar 10% bagi impor produk-produk made in China senilai US$ 300 miliar. 

China tidak terima. Negeri Tirai Bambu menegaskan siap untuk berperang. 

"Posisi China sangat jelas. Kalau AS ingin berdialog, mari kita berdialog. Namun kalau AS ingin perang, mari kita berperang," tegas Zhang Jun, Duta Besar China untuk PBB, dikutip dari Reuters. 

Sepertinya cara China mengancam AS tidak seperti Trump yang berkoar-koar di media sosial. Beijing cukup menggertak dengan melemahkan mata uang.  

Ketika yuan melemah, maka produk China menjadi murah di pasar global sehingga ekspor lebih kompetitif. Walau sulit masuk pasar AS, tetapi produk China tetap bisa merajalela di negara lain karena faktor harga yang murah. 

Oleh karena itu, wajar jika pelaku pasar cemas. Jika tendensi perang mata uang terbukti, maka praktik serupa bisa saja dilakukan oleh negara-negara lain. Saling melemahkan mata uang untuk menggenjot ekspor. Inilah yang disebut perang mata uang, mekanisme pasar sudah tidak berlaku lagi. 

Dihantui kecemasan perang mata uang, pelaku pasar pun berbondong-bondong melakukan SMS (Selamatkan Masing-masing). Aset-aset aman alias safe haven dijadikan tempat berlindung, seperti yen Jepang, franc Swiss, dan emas.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular