Diobok-obok Donald Trump, IHSG Jatuh 0,82%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 August 2019 12:00
Diobok-obok Donald Trump, IHSG Jatuh 0,82%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan dengan koreksi sebesar 0,63% ke level 6.341,12, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum pernah merasakan manisnya zona hijau pada hari ini. Per akhir sesi satu, koreksi IHSG sudah bertambah dalam menjadi 0,82% ke level 6.329,35.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-1,59%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,4%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,61%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-1,82%), dan PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-2,86%).

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga berdarah-darah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei anjlok 2,6%, indeks Shanghai ambruk 1,68%, indeks Hang Seng jatuh 2,37%, indeks Straits Times turun 0,73%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,87%.

Cuitan Presiden AS Donald Trump sukses memantik aksi jual dengan intensitas yang besar di Bursa Saham Benua Kuning. Kemarin (1/8/2019), Trump mengumumkan bahwa AS akan mengenakan bea masuk baru senilai 10% bagi produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang hingga kini belum terdampak perang dagang. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada tanggal 1 September. Kacaunya lagi, Trump menyebut bahwa bea masuk baru tersebut bisa dinaikkan hingga menjadi di atas 25%.

"AS akan mulai, pada tanggal 1 September, mengenakan bea masuk tambahan dengan besaran yang kecil yakni 10% terhadap sisa produk impor asal China senilai US$ 300 miliar yang masuk ke negara kita," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.



Melansir CNBC International, belum jelas apa yang membuat Trump mengakhiri periode gencatan senjata yang disepakati dengan Presiden China Xi Jinping pada akhir bulan Juni, kala keduanya bertemu di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang.

Satu hal yang pasti, pengumuman dari Trump ini datang pasca dirinya melakukan rapat dengan Menteri keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer terkait dengan hasil negosiasi di Shanghai pada pekan ini.

Sebelumnya, hawa negatif memang menyelimuti gelaran negosiasi dagang AS-China di Shanghai. Pada hari kedua (Rabu, 31/7/2019), negosiasi diakhiri lebih cepat dari jadwal, seperti dilansir dari Reuters.

Walau kedua belah pihak mendeskripsikan bahwa negosiasi dagang selama dua hari tersebut berlangsung konstruktif, keduanya sama-sama tak mengumumkan langkah konkret apapun yang akan diambil guna mempercepat penandatanganan kesepakatan dagang.

Malahan, terdapat perbedaan yang signifikan dari pernyataan kedua negara terkait dengan langkah konkret tersebut. Pihak AS menyebut bahwa China kembali menyatakan komitmennya untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang lebih besar, sementara pihak China hanya menyebut bahwa delegasi kedua negara mendiskusikan hal tersebut tanpa menyebut adanya komitmen apapun.

Langkah keras yang diambil Trump besar kemungkinan akan segera dibalas oleh pihak China.

BERLANJUT KE HALAMAN DUA
Investor asing ikut berkontribusi dalam mendorong IHSG ke zona merah. Per akhir sesi satu, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 233,3 miliar di pasar reguler.

Saham-saham yang banyak dilego investor asing di antaranya: PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 81,4 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 61,8 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 32,6 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 23,8 miliar), dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (Rp 8,5 miliar).

Ada ketakutan bahwa memanasnya tensi antara AS dengan China di bidang perdagangan akan membatasi ruang Bank Indonesia (BI) untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.

Sekedar mengingatkan, pasca menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) selama dua hari pada tanggal 17 dan 18 Juli, BI mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 6% ke level 5,75%.

Kedepannya, BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. BI juga berpendapat bahwa tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.

"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo kala itu.

Namun dengan serangan yang diluncurkan Trump kepada China, peta permainan tentu bisa berubah. Dikhawatirkan, ruang bagi BI untuk mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut menjadi menyempit.

Lebih lanjut jika berbicara mengenai pemangkasan tingkat suku bunga acuan, tantangan juga datang dari angka inflasi yang relatif tinggi. Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi inflasi sebesar 0,31% secara bulanan, di atas konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 0,25%. Sementara itu, inflasi secara tahunan berada di level 3,32%.

Kombinasi antara memanasnya hubungan AS-China di bidang perdagangan dan inflasi yang relatif tinggi mungkin harus membuat BI menginjak rem terlebih dulu dalam upayanya untuk terus menurunkan tingkat suku bunga acuan.

Padahal, saat ini perekonomian Indonesia sedang lesu dan membutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Lesunya kondisi perekonomian saat ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4%. Namun, realisasinya hanyalah 5,17%.

Pada kuartal I-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh di level 5,07% secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19%.

Untuk diketahui, sekuritas-sekuritas besar berbendera asing kini memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5% pada tahun 2019. Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Prospek perekonomian Indonesia yang saat ini relatif redup (karena memanasnya perang dagang AS-China dan menyempitnya ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan) membuat investor asing memilih untuk melego kepemilikannya atas saham-saham di tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular