
The Fed & Perang Dagang Kirim IHSG ke Zona Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 August 2019 16:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca membukukan penguatan dalam dua hari perdagangan terakhir, pada hari ini Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya terkoreksi. IHSG menutup perdagangan hari ini dengan pelemahan sebesar 0,14% ke level 6.381,54.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-2,51%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-2,65%), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk/AMRT (-6,25%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-2,33%), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,47%).
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai jatuh 0,81%, indeks Hang Seng melemah 0,76%, indeks Straits Times terkoreksi 0,27%, dan indeks Kospi berkurang 0,36%.
Sentimen negatif bagi bursa saham Benua Kuning datang dari hasil pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Pada dini hari tadi (31 Juli waktu AS), The Fed mengumumkan bahwa tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps menjadi 2%-2,25%, menandai pemangkasan pertama sejak tahun 2008 silam. Keputusan The Fed kali ini sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar.
Melansir CNBC International, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan dengan dasar adanya dampak negatif dari perkembangan ekonomi dunia bagi prospek perekonomian, serta rendahnya tekanan inflasi.
Dalam rilis resminya, The Fed membuka pintu pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut dengan mengatakan bahwa pihaknya akan "bertindak sebagaimana mestinya untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi".
Namun, yang menjadi masalah adalah kala Jerome Powell selaku Gubernur The Fed menggelar konferensi pers. Dalam konferesi pers, Powell menyebut bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada dini hari tadi hanyalah sebuah "penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment".
Powell menjelaskan bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.
"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."
Padahal, sebelumnya pelaku pasar berharap bahwa The Fed akan mengeluarkan pernyataan yang begitu dovish. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 30 Juli 2019 atau sebelum The Fed mengumumkan hasil rapatnya, pelaku pasar berekspektasi bahwa akan ada dua hingga tiga pemangkasan tingkat suku bunga acuan di sepanjang tahun ini. Probabilitas The Fed hanya akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak satu kali pada tahun ini hanyalah 12,9%.
Kini (berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 1 Agustus 2019), probabilitas bahwa The Fed hanya akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak satu kali pada tahun ini (sudah dieksekusi pada dini hari tadi) melonjak menjadi 42,9%.
Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang signifikan oleh The Fed akan membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Kala AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami hard landing, tentulah perekonomian negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga akan mendapatkan tekanan yang signifikan.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA Tak mulusnya negosiasi dagang AS-China juga menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Untuk diketahui, pada hari Selasa (30/7/2019) kedua negara menggelar negosiasi dagang di Shanghai. Negosiasi tersebut kemudian berakhir kemarin (31/7/2019). Namun, melansir Reuters, negosiasi yang digelar kemarin berakhir lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Sejatinya, kedua belah pihak mendeskripsikan bahwa negosiasi dagang selama dua hari tersebut berlangsung konstruktif. Namun, kedua pihak sama-sama tak mengumumkan langkah konkret apapun yang akan diambil guna mempercepat penandatanganan kesepakatan dagang.
Malahan, terdapat perbedaan yang signifikan dari pernyataan kedua negara terkait dengan langkah konkret tersebut. Pihak AS menyebut bahwa China kembali menyatakan komitmennya untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang lebih besar, sementara pihak China hanya menyebut bahwa delegasi kedua negara mendikusikan hal tersebut tanpa menyebut adanya komitmen apapun.
Terkait dengan negosiasi di hari kedua yang berakhir lebih cepat dari jadwal, patut dicurigai bahwa hal tersebut disebabkan oleh panasnya pihak China dalam merespons serangan dari Presiden AS Donald Trump.
Pada hari Selasa, Trump menyerang China dengan mengatakan bahwa China belum membeli produk-produk agrikultur asal AS. Sebagai informasi, pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan lalu, Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup. Kala itu, Trump menyebut bahwa China setuju untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang besar.
“Performa perekonomian China sangatlah buruk, terburuk dalam 27 tahun. Seharusnya, China sudah mulai membeli produk agrikultur dari AS – belum ada tanda-tanda bahwa mereka melakukannya. Itulah masalah dengan China, mereka tidak menepati janjinya,” cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump, Selasa (30/7/2019).
Kecurigaan bahwa serangan Trump menjadi faktor dibalik diakhirinya negosiasi dagang AS-China lebih cepat menjadi sangat realistis, mengingat China sudah mengeluarkan respons yang keras atas serangan Trump tersebut. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan bahwa cuitan dari Trump jelas menunjukkan bahwa AS lah yang terus bertindak “maju mundur” dalam negosiasi dagang.
“Saya meyakini bahwasanya pada saat ini, tidak masuk akal bagi AS untuk mengeksekusi rencananya menekan China sekuat tenaga. Tidaklah berguna untuk menyuruh pihak lain meminum obat ketika Anda sendiri yang sedang sakit,” tegas Hua, dilansir dari Reuters.
Dikhawatirkan, negosiasi dagang AS-China yang tak mulus justru akan membuat perang dagang tereskalasi dalam waktu dekat. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Investor Wait and See, IHSG Masih Bisa Terbang Tinggi?
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-2,51%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-2,65%), PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk/AMRT (-6,25%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-2,33%), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,47%).
Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Shanghai jatuh 0,81%, indeks Hang Seng melemah 0,76%, indeks Straits Times terkoreksi 0,27%, dan indeks Kospi berkurang 0,36%.
Melansir CNBC International, The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan dengan dasar adanya dampak negatif dari perkembangan ekonomi dunia bagi prospek perekonomian, serta rendahnya tekanan inflasi.
Dalam rilis resminya, The Fed membuka pintu pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut dengan mengatakan bahwa pihaknya akan "bertindak sebagaimana mestinya untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi".
Namun, yang menjadi masalah adalah kala Jerome Powell selaku Gubernur The Fed menggelar konferensi pers. Dalam konferesi pers, Powell menyebut bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada dini hari tadi hanyalah sebuah "penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment".
Powell menjelaskan bahwa The Fed tidaklah sedang memulai era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan.
"Biar saya perjelas: yang saya maksud adalah itu (pemangkasan tingkat suku bunga acuan) bukanlah merupakan awal dari pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif," kata Powell, dilansir dari CNBC International.
"Kami tak melihat arahnya ke sana (era panjang pemangkasan tingkat suku bunga acuan). Anda akan melakukannya jika Anda melihat pelemahan ekonomi yang signifikan dan jika Anda berpikir bahwa federal funds rate perlu dipangkas secara signifikan. Itu bukanlah skenario yang kami lihat."
Padahal, sebelumnya pelaku pasar berharap bahwa The Fed akan mengeluarkan pernyataan yang begitu dovish. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 30 Juli 2019 atau sebelum The Fed mengumumkan hasil rapatnya, pelaku pasar berekspektasi bahwa akan ada dua hingga tiga pemangkasan tingkat suku bunga acuan di sepanjang tahun ini. Probabilitas The Fed hanya akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak satu kali pada tahun ini hanyalah 12,9%.
Kini (berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 1 Agustus 2019), probabilitas bahwa The Fed hanya akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak satu kali pada tahun ini (sudah dieksekusi pada dini hari tadi) melonjak menjadi 42,9%.
Dikhawatirkan, absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang signifikan oleh The Fed akan membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Kala AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami hard landing, tentulah perekonomian negara-negara lain, termasuk Indonesia, juga akan mendapatkan tekanan yang signifikan.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA Tak mulusnya negosiasi dagang AS-China juga menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Untuk diketahui, pada hari Selasa (30/7/2019) kedua negara menggelar negosiasi dagang di Shanghai. Negosiasi tersebut kemudian berakhir kemarin (31/7/2019). Namun, melansir Reuters, negosiasi yang digelar kemarin berakhir lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Sejatinya, kedua belah pihak mendeskripsikan bahwa negosiasi dagang selama dua hari tersebut berlangsung konstruktif. Namun, kedua pihak sama-sama tak mengumumkan langkah konkret apapun yang akan diambil guna mempercepat penandatanganan kesepakatan dagang.
Malahan, terdapat perbedaan yang signifikan dari pernyataan kedua negara terkait dengan langkah konkret tersebut. Pihak AS menyebut bahwa China kembali menyatakan komitmennya untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang lebih besar, sementara pihak China hanya menyebut bahwa delegasi kedua negara mendikusikan hal tersebut tanpa menyebut adanya komitmen apapun.
Terkait dengan negosiasi di hari kedua yang berakhir lebih cepat dari jadwal, patut dicurigai bahwa hal tersebut disebabkan oleh panasnya pihak China dalam merespons serangan dari Presiden AS Donald Trump.
Pada hari Selasa, Trump menyerang China dengan mengatakan bahwa China belum membeli produk-produk agrikultur asal AS. Sebagai informasi, pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan lalu, Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup. Kala itu, Trump menyebut bahwa China setuju untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang besar.
“Performa perekonomian China sangatlah buruk, terburuk dalam 27 tahun. Seharusnya, China sudah mulai membeli produk agrikultur dari AS – belum ada tanda-tanda bahwa mereka melakukannya. Itulah masalah dengan China, mereka tidak menepati janjinya,” cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump, Selasa (30/7/2019).
Kecurigaan bahwa serangan Trump menjadi faktor dibalik diakhirinya negosiasi dagang AS-China lebih cepat menjadi sangat realistis, mengingat China sudah mengeluarkan respons yang keras atas serangan Trump tersebut. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying mengatakan bahwa cuitan dari Trump jelas menunjukkan bahwa AS lah yang terus bertindak “maju mundur” dalam negosiasi dagang.
“Saya meyakini bahwasanya pada saat ini, tidak masuk akal bagi AS untuk mengeksekusi rencananya menekan China sekuat tenaga. Tidaklah berguna untuk menyuruh pihak lain meminum obat ketika Anda sendiri yang sedang sakit,” tegas Hua, dilansir dari Reuters.
Dikhawatirkan, negosiasi dagang AS-China yang tak mulus justru akan membuat perang dagang tereskalasi dalam waktu dekat. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Investor Wait and See, IHSG Masih Bisa Terbang Tinggi?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular