
AS-China Geger Lagi, IHSG Babak Belur Lagi
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
31 July 2019 09:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka melemah 0,23% pada perdagangan hari ini ke level 6.362,11. Pada pukul 09:30 WIB, koreksi IHSG sudah bertambah dalam menjadi 0,32% ke level 6.356,52.
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei tercatat turun 1,02%, indeks Shanghai melemah 0,73%, indeks Hang Seng jatuh 1,25%, indeks Straits Times terkoreksi 0,26%, dan indeks Kospi ambruk 1,26%.
Kekhawatiran bahwa perang dagang AS-China akan memanas melandasi aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Untuk diketahui, kemarin (30/7/2019) kedua negara menggelar negosiasi dagang di Shanghai. Negosiasi tersebut rencanannya akan berakhir pada hari ini.
Namun di tengah-tengah jalannya negosiasi, Presiden AS Donald Trump menyerang China dengan mengatakan bahwa China belum membeli produk-produk agrikultur asal AS. Sebagai informasi, pasca berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan lalu, Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup. Kala itu, Trump menyebut bahwa China setuju untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang besar.
"Performa perekonomian China sangatlah buruk, terburuk dalam 27 tahun. Seharusnya, China sudah mulai membeli produk agrikultur dari AS - belum ada tanda-tanda bahwa mereka melakukannya. Itulah masalah dengan China, mereka tidak menepati janjinya," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump, Selasa (30/7/2019).
Dikhawatirkan, serangan dari Trump terhadap China ini akan membuat perang dagang kedua negara justru tereskalasi. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Selain itu, sentimen negatif bagi bursa saham Asia datang dari rilis data Manufacturing PMI. Untuk periode Juli 2019, Manufacturing PMI versi resmi pemerintah China diumumkan di level 49,7. Sebagai informasi, angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi aktivitas manufaktur jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Kontraksi aktivitas manufaktur pada bulan Juli lantas menandai yang ketiga secara beruntun. Perang dagang dengan AS terlihat sudah sangat membebani perekonomian China.
Mengingat China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tekanan terhadap perekonomian China dipastikan akan memberi dampak negatif yang signifikan bagi laju perekonomian global. Dari dalam negeri, ‘Thomas Lembong effect’ sudah tak mampu mengerek kinerja bursa saham tanah air. Kemarin, ‘Thomas Lembong effect’ membuat IHSG melejit hingga 1,24%.
Kemarin, Thomas Lembong selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) beserta dengan koleganya mengumumkan angka realisasi investasi. Realisasi investasi yang dimaksud di sini bukanlah investasi di pasar modal, melainkan investasi riil.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, BKPM mencatat bahwa realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) terctatat tumbuh sebesar 9,61% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai pertumbuhan pertama dalam lima kuartal. Dalam empat kuartal sebelumnya, realisasi PMA selalu jatuh secara tahunan.
Bagi Indonesia, memang yang terpenting itu adalah PMA dan bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Jika mundur lebih jauh, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.
Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%. Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Lantas, bangkitnya realisasi PMA pada kuartal II-2019 jelas menjadi kabar baik bagi Indonesia.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, realisasi PMDN tercatat senilai Rp 95,6 triliun, naik 18,61% YoY. Sementara itu, realisasi PMA tercatat senilai Rp 104,9 triliun atau naik 9,61% YoY, seperti yang sudah disebutkan di atas.
Jika ditotal, realisasi investasi (PMDN dan PMA) pada kuartal II-2019 adalah senilai Rp 200,5 triliun atau tumbuh 13,7% jika dibandingkan capaian pada kuartal II-2018 yang senilai Rp 176,3 triliun.
Sayang, pada hari ini kekhawatiran terkait eskalasi perang dagang AS-China begitu mendominasi sehingga ‘Thomas Lembong effect’ tak lagi terasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Menguat Tipis, IHSG Patahkan Rentetan Koreksi 3 Hari Beruntun
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei tercatat turun 1,02%, indeks Shanghai melemah 0,73%, indeks Hang Seng jatuh 1,25%, indeks Straits Times terkoreksi 0,26%, dan indeks Kospi ambruk 1,26%.
Kekhawatiran bahwa perang dagang AS-China akan memanas melandasi aksi jual di bursa saham Benua Kuning. Untuk diketahui, kemarin (30/7/2019) kedua negara menggelar negosiasi dagang di Shanghai. Negosiasi tersebut rencanannya akan berakhir pada hari ini.
"Performa perekonomian China sangatlah buruk, terburuk dalam 27 tahun. Seharusnya, China sudah mulai membeli produk agrikultur dari AS - belum ada tanda-tanda bahwa mereka melakukannya. Itulah masalah dengan China, mereka tidak menepati janjinya," cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump, Selasa (30/7/2019).
Dikhawatirkan, serangan dari Trump terhadap China ini akan membuat perang dagang kedua negara justru tereskalasi. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Selain itu, sentimen negatif bagi bursa saham Asia datang dari rilis data Manufacturing PMI. Untuk periode Juli 2019, Manufacturing PMI versi resmi pemerintah China diumumkan di level 49,7. Sebagai informasi, angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi aktivitas manufaktur jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Kontraksi aktivitas manufaktur pada bulan Juli lantas menandai yang ketiga secara beruntun. Perang dagang dengan AS terlihat sudah sangat membebani perekonomian China.
Mengingat China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, tekanan terhadap perekonomian China dipastikan akan memberi dampak negatif yang signifikan bagi laju perekonomian global. Dari dalam negeri, ‘Thomas Lembong effect’ sudah tak mampu mengerek kinerja bursa saham tanah air. Kemarin, ‘Thomas Lembong effect’ membuat IHSG melejit hingga 1,24%.
Kemarin, Thomas Lembong selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) beserta dengan koleganya mengumumkan angka realisasi investasi. Realisasi investasi yang dimaksud di sini bukanlah investasi di pasar modal, melainkan investasi riil.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, BKPM mencatat bahwa realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) terctatat tumbuh sebesar 9,61% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai pertumbuhan pertama dalam lima kuartal. Dalam empat kuartal sebelumnya, realisasi PMA selalu jatuh secara tahunan.
Bagi Indonesia, memang yang terpenting itu adalah PMA dan bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Jika mundur lebih jauh, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.
Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%. Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Lantas, bangkitnya realisasi PMA pada kuartal II-2019 jelas menjadi kabar baik bagi Indonesia.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, realisasi PMDN tercatat senilai Rp 95,6 triliun, naik 18,61% YoY. Sementara itu, realisasi PMA tercatat senilai Rp 104,9 triliun atau naik 9,61% YoY, seperti yang sudah disebutkan di atas.
Jika ditotal, realisasi investasi (PMDN dan PMA) pada kuartal II-2019 adalah senilai Rp 200,5 triliun atau tumbuh 13,7% jika dibandingkan capaian pada kuartal II-2018 yang senilai Rp 176,3 triliun.
Sayang, pada hari ini kekhawatiran terkait eskalasi perang dagang AS-China begitu mendominasi sehingga ‘Thomas Lembong effect’ tak lagi terasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Menguat Tipis, IHSG Patahkan Rentetan Koreksi 3 Hari Beruntun
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular