
Penanaman Modal Asing Akhirnya Tumbuh, IHSG Naik 0,68%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 July 2019 12:39

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 0,29% pada perdagangan hari ini ke level 6.317,57, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus memperlebar penguatannya seiring dengan berjalannya waktu.
Per akhir sesi satu, IHSG menguat 0,68% ke level 6.342,13. Jika penguatan IHSG bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan memutus rantai koreksi yang sudah terjadi dalam dua hari perdagangan sebelumnya.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong kenaikan IHSG di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,67%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,48%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+3,47%), PT Bank Mega Tbk/MEGA (+7,46%), dan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk/DSSA (+19,65%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak ditransaksikan di zona hijau. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei naik 0,33%, indeks Shanghai menguat 0,65%, indeks Hang Seng terapresiasi 0,34%, indeks Straits Times terkerek 0,17%, dan indeks Kospi bertambah 0,62%.
Kick off negosiasi dagang AS-China sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Pada hari ini hingga besok (31/7/2019), kedua negara akan menggelar negosiasi dagang di Shanghai.
Memang, ada aura negatif yang menyelimuti jalannya negosiasi dagang ini. Menteri keuangan AS Steven Mnuchin belum lama ini mengakui bahwa pada saat ini ada banyak masalah yang belum bisa dipecahkan oleh kedua belah pihak.
"Saya akan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan (yang belum bisa dipecahkan)," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.
Kemudian pada hari Jumat (26/7/2019), Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa ada kemungkinan China tidak ingin meneken kesepakatan dagang hingga setelah pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2020. Hal ini dikarenakan China akan bisa menegosiasikan kesepakatan yang lebih menguntungkan pihaknya dengan presiden AS yang baru (dengan asumsi Trump kalah pada Pilpres 2020).
Sebelumnya, pejabat Gedung Putih memberi sinyal bahwa kesepakatan dagang kedua negara membutuhkan waktu yang lama untuk bisa diteken atau sekitar enam bulan. Ada kemungkinan yang besar bahwa perang dagang AS-China akan berlanjut hingga ke tahun 2020.
Namun, pelaku pasar tampak tetap optimistis bahwa negosiasi dagang kedua negara akan membuka jalan menuju kesepakatan dagang. Apalagi, Mnuchin juga optimistis bahwa kedua belah pihak akan menciptakan kemajuan dengan melakukan perundingan.
"Ekspektasi saya adalah ini (negosiasi dagang di China) akan dilanjutkan dengan negosiasi di Washington dan mudah-mudahan, kami akan terus menghasilkan kemajuan," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.
Diharapkan dengan adanya negosiasi dagang di Shanghai (yang kemudian bisa berlanjut ke Washington), setidaknya kedua negara bisa terus mempertahankan gencatan senjata di bidang perdagangan yang saat ini tengah berlaku. Gencatan senjata yang dimaksud adalah AS dan China tak akan lanjut mengenakan bea masuk baru bagi produk impor dari masing-masing negara.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar. Dari dalam negeri, sentimen positif bagi pasar saham tanah air datang dari rilis angka realisasi investasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebagai informasi, realisasi investasi yang dimaksud di sini bukanlah investasi di pasar modal, melainkan investasi riil.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) terctatat tumbuh sebesar 9,61% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai pertumbuhan pertama dalam lima kuartal. Dalam empat kuartal sebelumnya, realisasi PMA selalu jatuh secara tahunan.
Bagi Indonesia, yang terpenting itu memang PMA dan bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Jika mundur lebih jauh, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.
Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%. Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Lantas, bangkitnya realisasi PMA pada kuartal II-2019 jelas menjadi kabar baik bagi Indonesia.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, realisasi PMDN tercatat senilai Rp 95,6 triliun, naik 18,61% YoY. Sementara itu, realisasi PMA tercatat senilai Rp 104,9 triliun atau naik 9,61% YoY, seperti yang sudah disebutkan di atas.
Jika ditotal, realisasi investasi (PMDN dan PMA) pada kuartal II-2019 adalah senilai Rp 200,5 triliun atau tumbuh 13,7% jika dibandingkan capaian pada kuartal II-2018 yang senilai Rp 176,3 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Reli Mode On, Pergerakan IHSG Pekan Ini Nyaris Naik 4%
Per akhir sesi satu, IHSG menguat 0,68% ke level 6.342,13. Jika penguatan IHSG bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan memutus rantai koreksi yang sudah terjadi dalam dua hari perdagangan sebelumnya.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong kenaikan IHSG di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+1,67%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,48%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+3,47%), PT Bank Mega Tbk/MEGA (+7,46%), dan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk/DSSA (+19,65%).
Kick off negosiasi dagang AS-China sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning. Pada hari ini hingga besok (31/7/2019), kedua negara akan menggelar negosiasi dagang di Shanghai.
Memang, ada aura negatif yang menyelimuti jalannya negosiasi dagang ini. Menteri keuangan AS Steven Mnuchin belum lama ini mengakui bahwa pada saat ini ada banyak masalah yang belum bisa dipecahkan oleh kedua belah pihak.
"Saya akan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan (yang belum bisa dipecahkan)," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.
Kemudian pada hari Jumat (26/7/2019), Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa ada kemungkinan China tidak ingin meneken kesepakatan dagang hingga setelah pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2020. Hal ini dikarenakan China akan bisa menegosiasikan kesepakatan yang lebih menguntungkan pihaknya dengan presiden AS yang baru (dengan asumsi Trump kalah pada Pilpres 2020).
Sebelumnya, pejabat Gedung Putih memberi sinyal bahwa kesepakatan dagang kedua negara membutuhkan waktu yang lama untuk bisa diteken atau sekitar enam bulan. Ada kemungkinan yang besar bahwa perang dagang AS-China akan berlanjut hingga ke tahun 2020.
Namun, pelaku pasar tampak tetap optimistis bahwa negosiasi dagang kedua negara akan membuka jalan menuju kesepakatan dagang. Apalagi, Mnuchin juga optimistis bahwa kedua belah pihak akan menciptakan kemajuan dengan melakukan perundingan.
"Ekspektasi saya adalah ini (negosiasi dagang di China) akan dilanjutkan dengan negosiasi di Washington dan mudah-mudahan, kami akan terus menghasilkan kemajuan," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.
Diharapkan dengan adanya negosiasi dagang di Shanghai (yang kemudian bisa berlanjut ke Washington), setidaknya kedua negara bisa terus mempertahankan gencatan senjata di bidang perdagangan yang saat ini tengah berlaku. Gencatan senjata yang dimaksud adalah AS dan China tak akan lanjut mengenakan bea masuk baru bagi produk impor dari masing-masing negara.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar. Dari dalam negeri, sentimen positif bagi pasar saham tanah air datang dari rilis angka realisasi investasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sebagai informasi, realisasi investasi yang dimaksud di sini bukanlah investasi di pasar modal, melainkan investasi riil.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, realisasi penanaman modal asing (PMA) atau foreign direct investment (FDI) terctatat tumbuh sebesar 9,61% secara tahunan (year-on-year/YoY), menandai pertumbuhan pertama dalam lima kuartal. Dalam empat kuartal sebelumnya, realisasi PMA selalu jatuh secara tahunan.
Bagi Indonesia, yang terpenting itu memang PMA dan bukan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau domestic direct investment (DDI). Pasalnya, dari total penanaman modal di tanah air, lebih dari 50% disumbang oleh PMA. Karena nilainya lebih besar, tentu pertumbuhan PMA yang signifikan akan lebih terasa bagi perekonomian ketimbang pertumbuhan PMDN.
Jika mundur lebih jauh, pertumbuhan PMA di era Jokowi sangatlah mengecewakan. Pada tahun 2014, PMA tercatat tumbuh 13,54% jika dibandingkan dengan realisasi tahun 2013. Pada tahun 2015, pertumbuhannya sempat naik menjadi 19,22%.
Dalam dua tahun berikutnya (2016-2017), PMA hanya tumbuh di kisaran satu digit. Pada tahun 2018, PMA bahkan tercatat ambruk hingga 8,8%. Untuk periode kuartal I-2019, PMA kembali jatuh yakni sebesar 0,92% secara tahunan, jauh memburuk dibandingkan capaian periode kuartal I-2018 yakni pertumbuhan sebesar 12,27%.
Lantas, bangkitnya realisasi PMA pada kuartal II-2019 jelas menjadi kabar baik bagi Indonesia.
Pada tiga bulan kedua tahun ini, realisasi PMDN tercatat senilai Rp 95,6 triliun, naik 18,61% YoY. Sementara itu, realisasi PMA tercatat senilai Rp 104,9 triliun atau naik 9,61% YoY, seperti yang sudah disebutkan di atas.
Jika ditotal, realisasi investasi (PMDN dan PMA) pada kuartal II-2019 adalah senilai Rp 200,5 triliun atau tumbuh 13,7% jika dibandingkan capaian pada kuartal II-2018 yang senilai Rp 176,3 triliun.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Reli Mode On, Pergerakan IHSG Pekan Ini Nyaris Naik 4%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular