
Asing Obral Saham 6 Hari Berturut-turut, IHSG Jatuh 0,41%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 July 2019 16:31

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 0,18% ke level 6.336,85, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) langsung berbalik arah ke zona merah. Selepas itu, IHSG tak pernah lagi merasakan manisnya zona hijau. Per akhir sesi dua, IHSG melemah 0,41% ke level 6.299,04.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-3,57%), PT United Tractors Tbk/UNTR (-3,58%), PT Smartfren Telecom Tbk/FREN (-17,09%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (-3,64%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-0,89%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak ditransaksikan melemah: indeks Nikkei turun 0,19%, indeks Shanghai melemah 0,12%, indeks Hang Seng jatuh 1,03%, indeks Straits Times terkoreksi 0,65%, dan indeks Kospi berkurang 1,78%.
Pelaku pasar dibuat grogi dalam menantikan jalannya negosiasi dagang antara AS dengan China. Dalam wawancara dengan CNBC International pada hari Rabu (24/7/2019), Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa dirinya dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer akan bertandang ke China pada hari Senin (29/7/2019) untuk kemudian menggelar negosiasi dagang selama dua hari yang dimulai sehari setelahnya (Selasa, 30/7/2019).
Walaupun etikat baik kedua negara untuk kembali ke meja perundingan merupakan sesuatu yang sangat positif, namun jalannya negosiasi memang patut untuk dikawal ketat oleh pelaku pasar. Pasalnya, Mnuchin sendiri mengakui bahwa pada saat ini ada banyak masalah yang belum bisa dipecahkan oleh kedua belah pihak.
"Saya akan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan (yang belum bisa dipecahkan)," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.
Kemudian pada hari Jumat (26/7/2019), Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa ada kemungkinan China tidak ingin meneken kesepakatan dagang hingga setelah pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2020. Hal ini dikarenakan China akan bisa menegosiasikan kesepakatan yang lebih menguntungkan pihaknya dengan presiden AS yang baru (dengan asumsi Trump kalah pada Pilpres 2020).
Sebelumnya, pejabat Gedung Putih memberi sinyal bahwa kesepakatan dagang kedua negara membutuhkan waktu yang lama untuk bisa diteken atau sekitar enam bulan. Ada kemungkinan yang besar bahwa perang dagang AS-China akan berlanjut hingga ke tahun 2020.
Kalau negosiasi dagang antar kedua negara tak berjalan dengan mulus, tentu potensi eskalasi perang dagang menjadi tak bisa dikesampingkan. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Selain itu, pelaku pasar juga grogi dalam menantikan hasil dari pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS yang akan digelar pada tanggal 30 dan 31 Juli waktu setempat.
Selepas pertemuan selama dua hari usai, bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut akan mengumumkan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Pelaku pasar akan memantau terkait apakah The Fed benar-benar akan memangkas tingkat suku bunga acuan untuk kali pertama dalam lebih dari satu dekade.
Sekedar mengingatkan, probabilitas The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada pekan ini sempat meroket ke atas 50%. Belum lama ini, John Williams selaku New York Federal Reserve President mengatakan bahwa The Fed perlu untuk "bertindak cepat" di tengah pelemahan ekonomi yang saat ini tengah terjadi, dilansir dari CNBC International.
"Lebih baik untuk mengambil langkah pencegahan ketimbang menunggu datangnya bencana," kata Williams.
Kini, ekspektasi yang ada justru adalah The Fed hanya akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 29 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan pekan ini adalah sebesar 78,1%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas hingga 50 bps berada di level 21,9%.
Sebelumnya, Tim Riset CNBC Indonesia juga memproyeksikan bahwa tingkat suku bunga acuan hanya akan dipangkas sebesar 25 bps oleh The Fed dalam pertemuan pekan ini.
Salah satu alasannya adalah pasar tenaga kerja AS yang sedang bergairah. Untuk diketahui, dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuan, The Fed memperhatikan dua indikator utama yakni inflasi dan pasar tenaga kerja.
Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi ada di level 2%. Untuk data teranyar yakni periode Mei 2019, Core PCE price index tercatat hanya tumbuh sebesar 1,6% YoY, sangat jauh di bawah target The Fed.
Sementara itu, berbicara mengenai pasar tenaga kerja, pada bulan Juni data resmi dari pemerintah AS mencatat bahwa tercipta sebanyak 224.000 lapangan pekerjaan (sektor non-pertanian), jauh mengalahkan konsensus yang sebanyak 162.000 saja, seperti dilansir dari Forex Factory. Penciptaan lapangan kerja pada bulan Juni juga jauh mengalahkan capaian pada bulan Mei yang sebanyak 72.000 saja.
Kemudian, tingkat pengangguran per akhir Juni diumumkan di level 3,7%, di mana level tersebut berada di dekat kisaran terendah dalam 49 tahun terakhir.
Jadi, kalau dari dua indikator utama yang diperhatikan The Fed dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuannya, terbilang sulit untuk mengharapkan The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif. Walaupun inflasi masih berada jauh di bawah target Powell dan koleganya, pasar tenaga kerja AS saat ini sedang bergairah.
Dengan absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan secara signifikan, dikhawatirkan perekonomian AS akan mengalami yang namanya hard landing. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam. Selain itu, depresiasi rupiah ikut membuat IHSG harus pasrah terjebak di zona merah. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,11% di pasar spot ke level 14.015/dolar AS. Rupiah melemah seiring dengan ekspektasi bahwa The Fed tak akan begitu agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuannya dalam pertemuan pekan ini.
Kala The Fed tak kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, imbal hasil dari instrumen berpendapatan tetap di AS akan berada di level yang relatif tinggi. Akibatnya, aliran modal asing berlarian meninggalkan rupiah dan menyemut di dolar AS.
Merespons pelemahan rupiah, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 540,5 miliar di pasar reguler, menandai jual bersih selama enam hari beruntun. Ketika rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga aksi jual di pasar saham tanah air menjadi opsi yang sangat mungkin untuk diambil.
Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada hari ini di antaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 172,8 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 93,1 miliar), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (Rp 68,4 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 63,1 miliar), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 38,9 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-3,57%), PT United Tractors Tbk/UNTR (-3,58%), PT Smartfren Telecom Tbk/FREN (-17,09%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (-3,64%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-0,89%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak ditransaksikan melemah: indeks Nikkei turun 0,19%, indeks Shanghai melemah 0,12%, indeks Hang Seng jatuh 1,03%, indeks Straits Times terkoreksi 0,65%, dan indeks Kospi berkurang 1,78%.
Walaupun etikat baik kedua negara untuk kembali ke meja perundingan merupakan sesuatu yang sangat positif, namun jalannya negosiasi memang patut untuk dikawal ketat oleh pelaku pasar. Pasalnya, Mnuchin sendiri mengakui bahwa pada saat ini ada banyak masalah yang belum bisa dipecahkan oleh kedua belah pihak.
"Saya akan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan (yang belum bisa dipecahkan)," kata Mnuchin, dilansir dari CNBC International.
Kemudian pada hari Jumat (26/7/2019), Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa ada kemungkinan China tidak ingin meneken kesepakatan dagang hingga setelah pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2020. Hal ini dikarenakan China akan bisa menegosiasikan kesepakatan yang lebih menguntungkan pihaknya dengan presiden AS yang baru (dengan asumsi Trump kalah pada Pilpres 2020).
Sebelumnya, pejabat Gedung Putih memberi sinyal bahwa kesepakatan dagang kedua negara membutuhkan waktu yang lama untuk bisa diteken atau sekitar enam bulan. Ada kemungkinan yang besar bahwa perang dagang AS-China akan berlanjut hingga ke tahun 2020.
Kalau negosiasi dagang antar kedua negara tak berjalan dengan mulus, tentu potensi eskalasi perang dagang menjadi tak bisa dikesampingkan. Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.
Selain itu, pelaku pasar juga grogi dalam menantikan hasil dari pertemuan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS yang akan digelar pada tanggal 30 dan 31 Juli waktu setempat.
Selepas pertemuan selama dua hari usai, bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut akan mengumumkan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Pelaku pasar akan memantau terkait apakah The Fed benar-benar akan memangkas tingkat suku bunga acuan untuk kali pertama dalam lebih dari satu dekade.
Sekedar mengingatkan, probabilitas The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada pekan ini sempat meroket ke atas 50%. Belum lama ini, John Williams selaku New York Federal Reserve President mengatakan bahwa The Fed perlu untuk "bertindak cepat" di tengah pelemahan ekonomi yang saat ini tengah terjadi, dilansir dari CNBC International.
"Lebih baik untuk mengambil langkah pencegahan ketimbang menunggu datangnya bencana," kata Williams.
Kini, ekspektasi yang ada justru adalah The Fed hanya akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 29 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada pertemuan pekan ini adalah sebesar 78,1%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas hingga 50 bps berada di level 21,9%.
Sebelumnya, Tim Riset CNBC Indonesia juga memproyeksikan bahwa tingkat suku bunga acuan hanya akan dipangkas sebesar 25 bps oleh The Fed dalam pertemuan pekan ini.
Salah satu alasannya adalah pasar tenaga kerja AS yang sedang bergairah. Untuk diketahui, dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuan, The Fed memperhatikan dua indikator utama yakni inflasi dan pasar tenaga kerja.
Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi ada di level 2%. Untuk data teranyar yakni periode Mei 2019, Core PCE price index tercatat hanya tumbuh sebesar 1,6% YoY, sangat jauh di bawah target The Fed.
Sementara itu, berbicara mengenai pasar tenaga kerja, pada bulan Juni data resmi dari pemerintah AS mencatat bahwa tercipta sebanyak 224.000 lapangan pekerjaan (sektor non-pertanian), jauh mengalahkan konsensus yang sebanyak 162.000 saja, seperti dilansir dari Forex Factory. Penciptaan lapangan kerja pada bulan Juni juga jauh mengalahkan capaian pada bulan Mei yang sebanyak 72.000 saja.
Kemudian, tingkat pengangguran per akhir Juni diumumkan di level 3,7%, di mana level tersebut berada di dekat kisaran terendah dalam 49 tahun terakhir.
Jadi, kalau dari dua indikator utama yang diperhatikan The Fed dalam merumuskan kebijakan suku bunga acuannya, terbilang sulit untuk mengharapkan The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif. Walaupun inflasi masih berada jauh di bawah target Powell dan koleganya, pasar tenaga kerja AS saat ini sedang bergairah.
Dengan absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan secara signifikan, dikhawatirkan perekonomian AS akan mengalami yang namanya hard landing. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam. Selain itu, depresiasi rupiah ikut membuat IHSG harus pasrah terjebak di zona merah. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,11% di pasar spot ke level 14.015/dolar AS. Rupiah melemah seiring dengan ekspektasi bahwa The Fed tak akan begitu agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuannya dalam pertemuan pekan ini.
Kala The Fed tak kelewat agresif dalam memangkas tingkat suku bunga acuan, imbal hasil dari instrumen berpendapatan tetap di AS akan berada di level yang relatif tinggi. Akibatnya, aliran modal asing berlarian meninggalkan rupiah dan menyemut di dolar AS.
Merespons pelemahan rupiah, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 540,5 miliar di pasar reguler, menandai jual bersih selama enam hari beruntun. Ketika rupiah melemah, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga aksi jual di pasar saham tanah air menjadi opsi yang sangat mungkin untuk diambil.
Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada hari ini di antaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 172,8 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 93,1 miliar), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (Rp 68,4 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 63,1 miliar), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 38,9 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular