
Sentimen Campur Aduk, Pasar Obligasi RI Galau Jelang Weekend
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 July 2019 18:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi Indonesia terlihat galau pada perdagangan terakhir di pekan ini. Pada hari ini, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia seri acuan bergerak bervariasi.
Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 tahun (FR0078), 15 tahun (FR0068), dan 20 tahun (FR0079). Pada hari ini, yield obligasi tenor 5 tahun dan 10 tahun naik masing-masing sebesar 2 dan 2,1 bps, sementara yield obligasi tenor 15 tahun dan 20 tahun turun masing-masing sebesar 1,8 dan 2,9 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Bercampur aduknya sentimen yang menyelimuti perdagangan hari ini membuat pasar obligasi Indonesia kesulitan menentukan arah. Dorongan bagi pasar obligasi Indonesia untuk melemah datang dari hasil pertemuan Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB). Kemarin (25/7/2019), ECB mengumumkan bahwa main refinancing rate, lending facility rate, dan deposit facility rate dipertahankan masing-masing di level 0%, 0,25% dan -0,4%.
Dalam konferensi pers, Gubernur ECB Mario Draghi menyatakan bahwa kemungkinan perekonomian zona euro mengalami resesi sangat kecil. Draghi yang akan digantikan oleh Christine Lagarde (mantan Direktur Pelaksana IMF) pada 1 November nanti juga melihat bahwa dalam jangka menengah, inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.
Pernyataan Draghi tersebut memberikan pesan yang kuat bahwa pelonggaran kebijakan moneter yang akan dieksekusi ECB di masa depan tidak akan terlalu agresif.
Memudarnya ekspektasi bahwa ECB akan memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif lantas mendorong yield obligasi di negara-negara Eropa naik. Pada perdagangan kemarin (25/7/2019), yield obligasi tenor 10 tahun dari Jerman dan Prancis naik masing-masing sebesar 1,8 bps dan 1,1 bps.
Selain itu, dikhawatirkan bahwa kalau perekonomian zona euro yang sudah begitu tertekan saja tak bisa memaksa bank sentralnya untuk bersikap sangat dovish, maka The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan bersikap sangat konservatif dalam melakukan pelonggaran kebijakan moneter. Pasalnya, laju perekonomian AS relatif lebih oke ketimbang zona euro.
Pada penutupan perdagangan kemarin, yield obligasi AS tenor 10 tahun naik sebesar 2,1 bps.
Di sisi lain, dorongan beli di pasar obligasi tanah air pada hari ini datang dari ekspektasi bahwa Bank Indonesia (BI) akan tetap bersikap dovish di masa depan, terlepas dari sikap ECB dan The Fed yang nampaknya tak akan dovish-dovish amat.
Pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps pada pekan lalu, BI memang sudah dengan tegas membuka ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.
BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.
"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Kalau diingat, sepanjang tahun 2018 The Fed tercatat mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak empat kali dengan total 100 bps. Sementara itu, BI mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak total 175 bps.
Besar kemungkinan, pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang minim yang kemungkinan dieksekusi ECB dan The Fed pada tahun ini akan diimbangi oleh pemangkasan yang lebih agresif dari Perry dan koleganya di MH Thamrin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article 13 Hari Terpuruk, Pasar Obligasi RI Tunggu Pemain Besar Masuk
Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 tahun (FR0078), 15 tahun (FR0068), dan 20 tahun (FR0079). Pada hari ini, yield obligasi tenor 5 tahun dan 10 tahun naik masing-masing sebesar 2 dan 2,1 bps, sementara yield obligasi tenor 15 tahun dan 20 tahun turun masing-masing sebesar 1,8 dan 2,9 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Bercampur aduknya sentimen yang menyelimuti perdagangan hari ini membuat pasar obligasi Indonesia kesulitan menentukan arah. Dorongan bagi pasar obligasi Indonesia untuk melemah datang dari hasil pertemuan Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB). Kemarin (25/7/2019), ECB mengumumkan bahwa main refinancing rate, lending facility rate, dan deposit facility rate dipertahankan masing-masing di level 0%, 0,25% dan -0,4%.
Dalam konferensi pers, Gubernur ECB Mario Draghi menyatakan bahwa kemungkinan perekonomian zona euro mengalami resesi sangat kecil. Draghi yang akan digantikan oleh Christine Lagarde (mantan Direktur Pelaksana IMF) pada 1 November nanti juga melihat bahwa dalam jangka menengah, inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.
Pernyataan Draghi tersebut memberikan pesan yang kuat bahwa pelonggaran kebijakan moneter yang akan dieksekusi ECB di masa depan tidak akan terlalu agresif.
Memudarnya ekspektasi bahwa ECB akan memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif lantas mendorong yield obligasi di negara-negara Eropa naik. Pada perdagangan kemarin (25/7/2019), yield obligasi tenor 10 tahun dari Jerman dan Prancis naik masing-masing sebesar 1,8 bps dan 1,1 bps.
Selain itu, dikhawatirkan bahwa kalau perekonomian zona euro yang sudah begitu tertekan saja tak bisa memaksa bank sentralnya untuk bersikap sangat dovish, maka The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan bersikap sangat konservatif dalam melakukan pelonggaran kebijakan moneter. Pasalnya, laju perekonomian AS relatif lebih oke ketimbang zona euro.
Pada penutupan perdagangan kemarin, yield obligasi AS tenor 10 tahun naik sebesar 2,1 bps.
Di sisi lain, dorongan beli di pasar obligasi tanah air pada hari ini datang dari ekspektasi bahwa Bank Indonesia (BI) akan tetap bersikap dovish di masa depan, terlepas dari sikap ECB dan The Fed yang nampaknya tak akan dovish-dovish amat.
Pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps pada pekan lalu, BI memang sudah dengan tegas membuka ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.
BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.
"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Kalau diingat, sepanjang tahun 2018 The Fed tercatat mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak empat kali dengan total 100 bps. Sementara itu, BI mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak total 175 bps.
Besar kemungkinan, pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang minim yang kemungkinan dieksekusi ECB dan The Fed pada tahun ini akan diimbangi oleh pemangkasan yang lebih agresif dari Perry dan koleganya di MH Thamrin.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article 13 Hari Terpuruk, Pasar Obligasi RI Tunggu Pemain Besar Masuk
Most Popular