
Alamak! Anjlok 1,19%, Tak Ada Happy Weekend Buat IHSG
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 July 2019 16:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Tak ada happy weekend bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Indeks saham acuan di Indonesia tersebut menutup perdagangan hari ini dengan koreksi yang begitu dalam yakni sebesar 1,19% ke level 6.325,24. Tak sekalipun IHSG merasakan manisnya zona hijau pada hari ini.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong koreksi IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-3,08%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,88%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,19%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-3,76%), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (-3,17%).
Kinerja IHSG pada hari ini senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,45%, indeks Hang Seng melemah 0,69%, indeks Straits Times terkoreksi 0,73%, dan indeks Kospi berkurang 0,4%.
Kekhawatiran bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tak akan bertindak sangat dovish dalam pertemuannya bulan ini menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning.
Kekhawatiran ini muncul pasca European Central Bank (ECB) mengumumkan hasil pertemuannya. Kemarin (25/7/2019), ECB mengumumkan bahwa main refinancing rate, lending facility rate, dan deposit facility rate dipertahankan masing-masing di level 0%, 0,25% dan -0,4%.
Dalam konferensi pers, Gubernur ECB Mario Draghi menyatakan bahwa kemungkinan perekonomian zona euro mengalami resesi sangat kecil. Draghi yang akan digantikan oleh Christine Lagarde (mantan Direktur Pelaksana IMF) pada 1 November nanti juga melihat bahwa dalam jangka menengah, inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.
Pernyataan Draghi tersebut memberikan pesan yang kuat bahwa pelonggaran kebijakan moneter yang akan dieksekusi ECB di masa depan tidak akan terlalu agresif.
Kalau perekonomian zona euro yang sudah begitu tertekan saja tak bisa memaksa bank sentralnya untuk bersikap sangat dovish, dikhawatirkan perekonomian AS yang relatif lebih kuat akan membuat The Fed bersikap sangat konservatif dalam melakukan pelonggaran kebijakan moneter.
Salah satu bukti bahwa perekonomian zona euro sedang lesu bisa dilihat dari aktivitas sektor manufakturnya. Sepanjang tahun 2019, tercatat hanya satu kali Manufacturing PMI zona euro berada di atas 50, yakni pada awal tahun. Mulai dari Februari hingga Juli 2019, Manufacturing PMI zona euro berada di bawah 50.
Sebagai informasi, angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi aktivitas manufaktur jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan secara agresif bisa membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Kala perekonomian AS sampai mengalami yang namanya hard landing, dipastikan dampaknya terhadap perekonomian dunia juga akan signifikan, mengingat AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong koreksi IHSG di antaranya: PT Astra International Tbk/ASII (-3,08%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,88%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,19%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-3,76%), dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk/INTP (-3,17%).
Kinerja IHSG pada hari ini senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,45%, indeks Hang Seng melemah 0,69%, indeks Straits Times terkoreksi 0,73%, dan indeks Kospi berkurang 0,4%.
Kekhawatiran ini muncul pasca European Central Bank (ECB) mengumumkan hasil pertemuannya. Kemarin (25/7/2019), ECB mengumumkan bahwa main refinancing rate, lending facility rate, dan deposit facility rate dipertahankan masing-masing di level 0%, 0,25% dan -0,4%.
Dalam konferensi pers, Gubernur ECB Mario Draghi menyatakan bahwa kemungkinan perekonomian zona euro mengalami resesi sangat kecil. Draghi yang akan digantikan oleh Christine Lagarde (mantan Direktur Pelaksana IMF) pada 1 November nanti juga melihat bahwa dalam jangka menengah, inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.
Pernyataan Draghi tersebut memberikan pesan yang kuat bahwa pelonggaran kebijakan moneter yang akan dieksekusi ECB di masa depan tidak akan terlalu agresif.
Kalau perekonomian zona euro yang sudah begitu tertekan saja tak bisa memaksa bank sentralnya untuk bersikap sangat dovish, dikhawatirkan perekonomian AS yang relatif lebih kuat akan membuat The Fed bersikap sangat konservatif dalam melakukan pelonggaran kebijakan moneter.
Salah satu bukti bahwa perekonomian zona euro sedang lesu bisa dilihat dari aktivitas sektor manufakturnya. Sepanjang tahun 2019, tercatat hanya satu kali Manufacturing PMI zona euro berada di atas 50, yakni pada awal tahun. Mulai dari Februari hingga Juli 2019, Manufacturing PMI zona euro berada di bawah 50.
Sebagai informasi, angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi aktivitas manufaktur jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan secara agresif bisa membuat perekonomian AS mengalami yang namanya hard landing. Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Kala perekonomian AS sampai mengalami yang namanya hard landing, dipastikan dampaknya terhadap perekonomian dunia juga akan signifikan, mengingat AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Pages
Most Popular