
Kondisi tak Mendukung, Pasar Obligasi Tetap Dilirik Investor
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 July 2019 11:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi Indonesia sukses mencetak apresiasi pada hari ini. Pada perdagangan hari ini, seluruh imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia seri acuan membukukan penurunan.
Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 (FR0078), 15 (FR0068), dan 20 tahun (FR0079). Pada hari ini, yield obligasi tenor 5, 10, 15, dan 20 tahun seri acuan turun masing-masing sebesar 0,4 bps, 0,6 bps, 2,7 bps, dan 4,2 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Sejatinya, sentimen yang ada bagi pasar obligasi terbilang tak menggembirakan. Kemarin (25/7/2019), ECB mengumumkan bahwa main refinancing rate, lending facility rate, dan deposit facility rate dipertahankan masing-masing di level 0%, 0,25% dan -0,4%.
Dalam konferensi pers, Gubernur ECB Mario Draghi menyatakan bahwa kemungkinan perekonomian zona euro mengalami resesi sangat kecil. Draghi yang akan digantikan oleh Christine Lagarde (mantan Direktur Pelaksana IMF) pada 1 November nanti juga melihat bahwa dalam jangka menengah, inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.
Pernyataan Draghi tersebut memberikan pesan yang kuat bahwa pelonggaran kebijakan moneter yang akan dieksekusi ECB di masa depan tidak akan terlalu agresif.
Kalau perekonomian zona euro yang sudah begitu tertekan saja tak bisa memaksa bank sentralnya untuk bersikap sangat dovish, dikhawatirkan perekonomian AS yang relatif lebih kuat akan membuat The Fed bersikap sangat konservatif dalam melakukan pelonggaran kebijakan moneter.
Salah satu indikator lesunya perekonomian zona euro bisa dilihat dari aktivitas sektor manufakturnya. Sepanjang tahun 2019, tercatat hanya satu kali Manufacturing PMI zona euro berada di atas 50, yakni pada awal tahun. Mulai dari Februari hingga Juli 2019, Manufacturing PMI zona euro berada di bawah 50.
Sebagai informasi, angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi aktivitas manufaktur jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Memudarnya ekspektasi bahwa ECB dan The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif lantas mendorong yield obligasi di AS dan negara-negara Eropa naik. Pada perdagangan kemarin (25/7/2019), yield obligasi AS tenor 10 tahun tercatat naik 2,4 bps, sementara yield obligasi tenor 10 dari Jerman dan Prancis naik masing-masing sebesar 1,8 bps dan 1,1 bps.
Seharusnya, aksi jual yang terjadi di pasar obligasi global bisa menyeret kinerja pasar obligasi tanah air (yield naik).
Selain itu, kinerja rupiah pada hari ini juga tak menguntungkan bagi pelaku pasar untuk melakukan pembelian obligasi. Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,22% di pasar spot ke level Rp 14.006/dolar AS.
Kala rupiah melemah, investor asing akan enggan untuk masuk ke pasar obligasi lantaran mereka berpotensi menanggung kerugian kurs. Sebagai informasi, aliran dana investor asing di pasar obligasi Indonesia tidak bisa diketahui secara real time. Data terkait dengan aliran dana investor asing untuk hari ini baru akan dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan dalam beberapa hari ke depan.
[Gambas:Video CNBC]
Tampaknya, aksi beli di pasar obligasi tanah air pada hari ini dimotori oleh ekspektasi bahwa Bank Indonesia (BI) akan tetap bersikap dovish di masa depan, terlepas dari sikap ECB dan The Fed yang nampaknya tak akan dovish-dovish amat.
Pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps pada pekan lalu, BI dengan tegas membuka ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.
BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.
"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Kalau diingat, sepanjang tahun 2018 The Fed tercatat mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak empat kali dengan total 100 bps. Sementara itu, BI mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak total 175 bps.
Besar kemungkinan, pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang minim yang kemungkinan dieksekusi ECB dan The Fed pada tahun ini akan diimbangi oleh pemangkasan yang lebih agresif dari Perry dan koleganya di MH Thamrin.
Hal ini pada akhirnya sukses memantik aksi beli di pasar obligasi tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Harga SUN Boleh Koreksi, tapi Masih Digemari Asing
Di pasar obligasi, yang menjadi acuan adalah tenor 5 tahun (FR0077), 10 (FR0078), 15 (FR0068), dan 20 tahun (FR0079). Pada hari ini, yield obligasi tenor 5, 10, 15, dan 20 tahun seri acuan turun masing-masing sebesar 0,4 bps, 0,6 bps, 2,7 bps, dan 4,2 bps.
Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Sejatinya, sentimen yang ada bagi pasar obligasi terbilang tak menggembirakan. Kemarin (25/7/2019), ECB mengumumkan bahwa main refinancing rate, lending facility rate, dan deposit facility rate dipertahankan masing-masing di level 0%, 0,25% dan -0,4%.
Dalam konferensi pers, Gubernur ECB Mario Draghi menyatakan bahwa kemungkinan perekonomian zona euro mengalami resesi sangat kecil. Draghi yang akan digantikan oleh Christine Lagarde (mantan Direktur Pelaksana IMF) pada 1 November nanti juga melihat bahwa dalam jangka menengah, inflasi diperkirakan akan meningkat akibat berlanjutnya ekspansi ekonomi serta pertumbuhan upah yang cukup bagus.
Pernyataan Draghi tersebut memberikan pesan yang kuat bahwa pelonggaran kebijakan moneter yang akan dieksekusi ECB di masa depan tidak akan terlalu agresif.
Kalau perekonomian zona euro yang sudah begitu tertekan saja tak bisa memaksa bank sentralnya untuk bersikap sangat dovish, dikhawatirkan perekonomian AS yang relatif lebih kuat akan membuat The Fed bersikap sangat konservatif dalam melakukan pelonggaran kebijakan moneter.
Salah satu indikator lesunya perekonomian zona euro bisa dilihat dari aktivitas sektor manufakturnya. Sepanjang tahun 2019, tercatat hanya satu kali Manufacturing PMI zona euro berada di atas 50, yakni pada awal tahun. Mulai dari Februari hingga Juli 2019, Manufacturing PMI zona euro berada di bawah 50.
Sebagai informasi, angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi aktivitas manufaktur jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Memudarnya ekspektasi bahwa ECB dan The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan secara agresif lantas mendorong yield obligasi di AS dan negara-negara Eropa naik. Pada perdagangan kemarin (25/7/2019), yield obligasi AS tenor 10 tahun tercatat naik 2,4 bps, sementara yield obligasi tenor 10 dari Jerman dan Prancis naik masing-masing sebesar 1,8 bps dan 1,1 bps.
Seharusnya, aksi jual yang terjadi di pasar obligasi global bisa menyeret kinerja pasar obligasi tanah air (yield naik).
Selain itu, kinerja rupiah pada hari ini juga tak menguntungkan bagi pelaku pasar untuk melakukan pembelian obligasi. Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah 0,22% di pasar spot ke level Rp 14.006/dolar AS.
Kala rupiah melemah, investor asing akan enggan untuk masuk ke pasar obligasi lantaran mereka berpotensi menanggung kerugian kurs. Sebagai informasi, aliran dana investor asing di pasar obligasi Indonesia tidak bisa diketahui secara real time. Data terkait dengan aliran dana investor asing untuk hari ini baru akan dipublikasikan oleh Kementerian Keuangan dalam beberapa hari ke depan.
[Gambas:Video CNBC]
Tampaknya, aksi beli di pasar obligasi tanah air pada hari ini dimotori oleh ekspektasi bahwa Bank Indonesia (BI) akan tetap bersikap dovish di masa depan, terlepas dari sikap ECB dan The Fed yang nampaknya tak akan dovish-dovish amat.
Pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps pada pekan lalu, BI dengan tegas membuka ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut.
BI melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.
"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Kalau diingat, sepanjang tahun 2018 The Fed tercatat mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak empat kali dengan total 100 bps. Sementara itu, BI mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebanyak total 175 bps.
Besar kemungkinan, pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang minim yang kemungkinan dieksekusi ECB dan The Fed pada tahun ini akan diimbangi oleh pemangkasan yang lebih agresif dari Perry dan koleganya di MH Thamrin.
Hal ini pada akhirnya sukses memantik aksi beli di pasar obligasi tanah air.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Harga SUN Boleh Koreksi, tapi Masih Digemari Asing
Most Popular