BI 'Ahead The Curve' Lagi, Investor Sibuk Borong Saham!

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
19 July 2019 12:16
BI 'Ahead The Curve' Lagi, Investor Sibuk Borong Saham!
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan apresiasi sebesar 0,22% ke level 6.417,44, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus memperlebar penguatannya seiring dengan berjalannya waktu. Per akhir sesi satu, IHSG menguat 0,65% ke level 6.445,13.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong apresiasi IHSG di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,73%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+4,29%), PT Bank Danamon Indonesia Tbk/BDMN (+7,44%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (+2,27%), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+0,47%).

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei melonjak 1,94%, indeks Shanghai melesat 1,01%, indeks Hang Seng melejit 1,09%, indeks Straits Times naik 0,42%, dan indeks Kospi bertambah 1,26%.

Aura dovish yang kian terasa dari The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS sukses memantik aksi beli di bursa saham regional. Aura dovish tersebut kian terasa pasca John Williams selaku New York Federal Reserve President mengatakan bahwa The Fed perlu untuk "bertindak cepat" di tengah pelemahan ekonomi yang saat ini tengah terjadi, dilansir dari CNBC International.

"Lebih baik untuk mengambil langkah pencegahan ketimbang menunggu datangnya bencana," kata Williams.

Komentar dari Williams tersebut lantas melengkapi pernyataan-pernyataan dovish yang sebelumnya diutarakan oleh Jerome Powell selaku Gubernur The Fed. Pada pekan lalu, Powell memberikan testimoni terkait dengan laporan kebijakan moneter semi tahunan di hadapan para anggota kongres AS.

Pesimisnya Powell dalam melihat kondisi perekonomian di masa depan dibuktikan dengan pengulangan kata 'ketidakpastian' (uncertainty) yang begitu sering. CNBC International mencatat bahwa dalam testimoninya di hadapan anggota kongres, setidaknya 26 kali kata 'ketidakpastian' diucapkan oleh suksesor dari Janet Yellen itu.

'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.


"Banyak anggota FOMC sebelumnya melihat bahwa urgensi untuk mengadopsi kebijakan moneter yang lebih akomodatif telah meningkat. Sejak saat itu, berdasarkan data yang dirilis dan berbagai perkembangan lainnya, nampak bahwa ketidakpastian terkait perang dagang dan kekhawatiran mengenai laju perekonomian dunia telah terus membebani prospek perekonomian AS," demikian satu dari sedikit pernyataan Powell yang mengandung kata ketidakpastian.

Di satu sisi, pengulangan kata 'ketidakpastian' yang begitu sering menunjukkan bahwa laju perekonomian dunia saat ini berikut dengan prospeknya benar-benar sedang lesu. Namun di sisi lain, terlihat jelas bahwa Powell memberi sinyal yang kuat terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan secara agresif.

Kini, pernyataan dari Powell dan Williams sukses membuat optimisme terkait pemangkasan tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan The Fed bulan ini membuncah. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 18 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 46,2%, jauh lebih tinggi ketimbang posisi minggu lalu yang sebesar 19,9%.

Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps berada di level 53,8%, turun jauh dari posisi minggu lalu yang sebesar 80,1%.

Pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi sangat krusial guna menghindarkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing. Ketika laju perekonomian AS bisa didorong di level yang tinggi, perekonomian dari negara-negara lain akan bisa dipacu untuk melaju di level yang tinggi juga. Maklum, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
Dari dalam negeri, pelaku pasar saham tanah air bersuka cita lantaran Bank Indonesia (BI) kini sudah ahead the curve lagi. Sebelumnya, BI bisa dikatakan behind the curve lantaran belum juga memangkas tingkat suku bunga acuan, terlepas adanya sinyal kuat dari The Fed bahwa tingkat suku bunga acuan akan segera dipangkas (yang pada akhirnya membuat bank sentral negara-negara Asia melakukan normalisasi terlebih dulu).

Pasca menggelar RDG selama dua hari yang dimulai sejak hari Rabu (17/7/2019) dan berakhir kemarin (18/7/2019), BI mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps, dari 6% ke level 5,75%.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Juli 2019 memutuskan untuk menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps (menjadi) 5,75%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (18/7/2019).

Keputusan ini sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, berikut juga proyeksi dari Tim Riset CNBC Indonesia, bahwa tingkat suku bunga acuan akan diturunkan sebesar 25 bps pada pertemuan bulan ini.

Kedepannya, BI bahkan melihat bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka seiring dengan rendahnya inflasi serta demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi, tekanan dari perekonomian global sudah mulai mereda di tahun ini karena China dan AS kembali sepakat untuk melanjutkan negosiasi dagang.

"Sudah akomodatif dari beberapa bulan terakhir dan akan tetap akomodatif ke depannya. Kita longgarkan kebijakan atau bisa juga penurunan suku bunga," tegas Perry.

Di tengah lesunya kondisi perekonomian saat ini, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan menjadi opsi terbaik yang bisa diambil oleh bank sentral. Ketika tingkat suku bunga acuan dipangkas, tingkat suku bunga kredit diharapkan bisa diturunkan sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Kala roda perekonomian berputar lebih kencang, penjualan perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) bisa terdongkrak.

Sebagai informasi, lesunya kondisi perekonomian saat ini terlihat dari angka pertumbuhan ekonomi yang mengecewakan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2018, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,4%. Namun, realisasinya hanyalah 5,17%.

Pada kuartal I-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh di level 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular