Dari Awal Meragukan, Penutupan Sesi I IHSG Akhirnya Jebol

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 July 2019 12:53
Dari Awal Meragukan, Penutupan Sesi I IHSG Akhirnya Jebol
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan dengan koreksi sebesar 0,05% ke level 6.414,73, dengan cepat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membalikkan keadaan dengan merangsek ke zona hijau. Sayang tak lama berselang, IHSG kembali terjebak lagi di zona merah. Per akhir sesi satu, IHSG melemah 0,33% ke level 6.397,06.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Sinar Mas Multiartha Tbk/SMMA (-8,02%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,93%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,53%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,25%), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-0,82%).

IHSG melemah kala mayoritas bursa saham utama kawasan Asia justru sedang ditransaksikan di zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,07%, indeks Straits Times menguat 0,14%, dan indeks Kospi terapresiasi 0,18%.

Performa Wall Street yang menggembirakan sukses mengerek kinerja bursa saham Benua Kuning. Pada perdagangan kemarin (15/7/2019), indeks Dow Jones ditutup naik 0,1%, indeks S&P 500 menguat 0,02%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 0,17%. Walaupun tipis, ketiga indeks saham acuan di AS tersebut ditutup di level tertingginya sepanjang masa.

Ekspektasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan dalam pertemuan bulan ini menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa saham AS.

Ekspektasi tersebut masih didasari oleh pernyataan bernada dovish yang disuarakan oleh Jerome Powell, Gubernur The Fed. Pada pekan lalu, Powell memberikan testimoninya di hadapan House Financial Services Committee terkait dengan terkait laporan kebijakan moneter semi tahunan.

Kala itu, pesimisnya Powell dalam melihat kondisi perekonomian di masa depan dibuktikan dengan pengulangan kata 'ketidakpastian' (uncertainty) yang begitu sering. CNBC International mencatat bahwa dalam testimoninya di hadapan anggota kongres, setidaknya 26 kali kata 'ketidakpastian' diucapkan oleh suksesor dari Janet Yellen itu.

'Ketidakpastian' yang diucapkan Powell mengacu kepada berbagai macam hal, seperti prospek perekonomian AS, rendahnya tekanan inflasi, perang dagang AS-China, hingga konsumsi rumah tangga.

Di satu sisi, pengulangan kata 'ketidakpastian' yang begitu sering menunjukkan bahwa laju perekonomian dunia saat ini berikut dengan prospeknya benar-benar sedang lesu. Namun di sisi lain, terlihat jelas bahwa di saat yang bersamaan Powell memberi sinyal yang kuat terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

Kini, optimisme kembali membuncah bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps dalam pertemuannya pada akhir bulan ini. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 16 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini berada di level 29,7%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps berada di level 70,3%.

Di tengah perang dagang AS-China yang belum juga bisa diselesaikan, tentu pemangkasan tingkat suku bunga acuan, apalagi jika signifikan, merupakan opsi terbaik guna menyelamatkan perekonomian AS dari yang namanya hard landing.

Kala laju perekonomian AS bisa didorong di level yang relatif tinggi, maka laju perekonomian dunia diharapkan bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi juga. Maklum, AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi.
Dari dalam negeri, surplus neraca dagang yang kemarin sukses mengerek kinerja IHSG tak lagi mampu menunjukkan tajinya pada hari ini.

Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa ekspor periode Juni 2019 mengalami penurunan sebesar 8,98% secara tahunan (year-on-year/YoY), sedikit lebih dalam ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor terkoreksi sebesar 8,3% YoY. Sementara itu, impor tercatat tumbuh 2,8% YoY, jauh lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 5,26% YoY.

Dengan begitu, surplus neraca dagang pada bulan Juni tercatat senilai US$ 196 juta. Neraca dagang berhasil mencetak surplus selama dua bulan beruntun, walaupun surplus pada bulan Juni berada di bawah ekspektasi yang senilai US$ 516 juta.

Walaupun surplus tercatat lebih rendah dari ekspektasi, pelaku pasar tampak menyusukuri surplus yang bisa dibukukan. Pasalnya dengan surplus yang ada, membuncah harapan bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa ditekan.

Seiring dengan mebuncahnya optimisme bahwa CAD akan menjadi bisa ditekan, rupiah mencetak apresiasi sebesar 0,11% di pasar spot ke level Rp 13.900/dolar AS. Apresiasi rupiah seharusnya bisa membuat minat pelaku pasar saham untuk melakukan aksi beli tetap terjaga.

Aksi jual di pasar saham tanah air dipicu oleh kekhawatiran bahwa Bank Indonesia (BI) belum akan memangkas tingkat suku bunga acuannya pada pertemuan bulan ini. Walau ada sinyal yang luar biasa kuat dari The Fed terkait dengan pemangkasan tingkat suku bunga acuan, hingga kini sinyal serupa belum bisa didapati dari BI.

Hingga kini, MH Thamrin belum buka suara lagi terkait dengan peluang dipangkasnya BI 7-day Reverse Repo Rate.

Hal ini sejatinya bisa dimaklumi. Menjelang Rapat Dewan Gubernur (RDG), ada yang namanya black period di mana para pejabat bank sentral menutup mulutnya rapat-rapat terkait arah kebijakan suku bunga acuan.

Sebagai informasi, RDG BI pada bulan ini akan digelar pada tanggal 17 dan 18.

Sekedar mengingatkan, selepas menggelar pertemuan selama dua hari pada bulan lalu, BI memutuskan untuk mempertahankan 7-Day Reverse Repo Rate di level 6%. Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo terlihat jelas masih galau dalam memangkas tingkat suku bunga acuan di masa depan.

Perry menyebutkan bahwa pihaknya masih akan mencermati kondisi pasar keuangan global utamanya terkait perang dagang AS-China dan posisi Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) sebelum memangkas tingkat suku bunga acuan.

“…sementara kebijakan suku bunga kami sampaikan kami cermati kondisi pasar global dan NPI dalam pertimbangkan (pemangkasan) suku bunga,” kata Perry di Gedung BI, Kamis (20/6/2019).

Di tengah laju perekonomian tanah air yang sedang lesu, sejatinya Indonesia sangat memerlukan yang namanya pemangkasan tingkat suku bunga acuan.

Untuk diketahui, pertumbuhan ekonomi periode kuartal I-2019 diumumkan di level 5,07% secara tahunan oleh BPS, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular