Mantap! Kejayaan Rupiah Membentang dari Asia hingga Eropa!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 July 2019 11:10
Mantap! Kejayaan Rupiah Membentang dari Asia hingga Eropa!
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah begitu perkasa pekan ini. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah berhasil menguat. Tak cuma dolar AS, mata uang utama Asia dan Eropa tidak mampu berbicara banyak di depan rupiah.

Sepanjang pekan ini, rupiah menguat 0,58% terhadap dolar AS. Bahkan pada penutupan perdagangan akhir pekan, rupiah berada di Rp 13.999/US$ yang menjadi titik terkuat sejak 26 Februari.




Namun tidak hanya dolar AS. Mata uang utama Asia juga tidak mampu membendung keperkasaan rupiah. Mulai dari yen Jepang sampai peso Filipina berhasil ditekuk oleh mata uang Tanah Air.

Rupiah paling perkasa di hadapan baht Thailand dengan apresiasi di kisaran 1%. Kemudian terhadap dolar Hong Kong, penguatan rupiah nyaris 1%.



Tidak selesai di Asia, auman rupiah terdengar pula sampai ke Eropa. Mata uang utama Benua Biru yaitu euro dan poundsterling Inggris sampai ciut mendengarnya.

Secara mingguan, euro dan sterling masing-masing melemah 0,17% di hadapan rupiah. Rupiah berada di posisi terkuat sejak 24 April terhadap euro. Sementara terhadap poundsterling, rupiah lebih mantap lagi yaitu terkuat sejak 13 September 2017.




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)



Tren keperkasaan rupiah dimulai seusai libur Idul Fitri sampai sekarang. Penyebabnya adalah keputusan lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) yang menaikkan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.

Artinya, risiko gagal bayar (default) pemerintah Indonesia semakin minim. Indonesia semakin layak untuk menjadi tempat berinvestasi.



Selain itu, pelaku pasar juga sudah lega karena tahapan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akhirnya rampung. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif yang diajukan kubu pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.

Putusan ini memperkuat hasil perhitungan suara Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memenangkan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Jokowi, sang petahana (incumbent), berhasil kembali menduduki posisi RI-1.

Hasil Pilpres yang sesuai dengan ekspektasi pasar tentu membuat lega. Jokowi diharapkan mampu melanjutkan berbagai program yang berfokus untuk membenahi masalah struktural Indonesia, yaitu defisit transaksi berjalan. Semoga eks gubernur DKI Jakarta itu mampu menelurkan gebrakan-gebrakan baru untuk mengatasi isu yang membebani laju pertumbuhan ekonomi tersebut.


Sementara dari sisi eksternal, pekan ini semakin nyata bahwa arah suku bunga global akan menuju ke bawah alias turun. Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserves/The Fed) Jerome ‘Jay’ Powell dalam pidatonya selama dua hari di hadapan Komite Perbankan Senat menyatakan perekonomian Negeri Paman Sam dihantui ketidakpastian yang luar biasa.

Tidak hanya pidato Powell, notula rapat (minutes of meeting) komite pengambil kebijakan The Fed atau Federal Open Market Commitee/FOMC edisi Juni juga menyatakan bahwa perlambatan ekonomi menyebabkan inflasi Negeri Adidaya berisiko sulit mencapai target 2%. Dunia usaha galau, konsumen pun menahan diri.

Perkembangan ini membuat pelaku pasar kembali yakin bahwa The Fed bisa menurunkan suku bunga acuan sampai tiga kali sepanjang 2019. Menurut CME Fedwtach, penurunan pertama kemungkinan besar dilakukan akhir bulan ini, kemudian disusul pada September dan Desember.

Kebijakan moneter AS yang akan mengarah ke longgar tentu membuat likuiditas bakal membanjir. Dana-dana ini butuh ‘rumah’, dan Indonesia bisa menjadi tempat yang aman dan nyaman.

Dari sisi keamanan, seperti yang sudah disinggung tadi, S&P menaikkan rating Indonesia. Risiko gagal bayar semakin kecil, tidak perlu khawatir.

Sementara dari sisi kenyamanan, Indonesia masih menawarkan hasil investasi yang menarik. Contoh, pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di 7,203%. Lebih tinggi dibandingkan instrumen serupa di negara tetangga seperti Filipina (5,045%), Thailand (2,02%), Malaysia (3,629%), sampai India (6,488%). Cuan bukan?


Kemudian di pasar saham, valuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga masih relatif murah. Saat ini Price to Earnings Ratio (P/E) IHSG ada di 16,57 kali. Lebih rendah dibandingkan PSEI Filipina (19,68 kali), SET Thailand (12,12 kali), KLCI Malaysia (18,15 kalil), atau Sensex India (23,93 kali). Jadi IHSG masih punya ruang untuk lebih tinggi lagi.

Oleh karena itu, tidak heran arus modal asing berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Indonesia. Sepanjang pekan ini, investor asing membukukan beli bersih Rp 2,21 triliun di pasar saham. Di pasar obligasi pemerintah, kepemilikan asing kini sudah menembus batas Rp 1.000 triliun.

Suntikan ‘adrenalin’ dari pasar keuangan membuat rupiah begitu bertenaga. Saking perkasanya, mata uang Asia dan Eropa berhasil dibikin tidak berdaya.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular