
Strategi Mantap BI Kawal Rupiah Jadi yang Terkuat Kedua Asia
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
11 July 2019 16:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) sukses mengawal pergerakan nilaiĀ rupiah lawan dolar AS hingga di bawah Rp 14.100/US$,
Pada penutupan pasar spot hari Kamis (11/7/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.060. Rupiah menguat 0,46% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Penguatan ini menjadikan rupiah yang terkuat kedua di Asia setelah Malaysia.
Pasca testimoni Chairman The Fed Jerome Powell di depan kongres AS yang memberikan sinyal potensi penurunan tingkat suku bunga AS pada FOMC akhir Juli ini, membuka ruang yang lebih lebar bagi arah suku bunga global yang secara sinkron akan menurun.
Di tengah konflik dagang yang belum sepenuhnya terselesaikan dan terus menimbulkan risiko ke bawah (downside risk) bagi kesinambungan pertumbuhan ekonomi global, otoritas akan memprioritaskan kebijakan untuk menahan agar pertumbuhan di masing masing negara tidak semakin merosot.
Dalam kondisi demikian, investor akan lebih memburu kelas aset yang sensitif terhadap arah penurunan suku bunga terutama obligasi. Indonesia dan India merupakan negara Emerging Market di Asia yang saat ini obligasi negaranya menawarkan imbal hasil (yield) tertinggi.
Bila arah suku bunga di kedua negara ini akan bergerak turun, investor akan memburu yield yang tinggi saat ini dengan harapan yield ke depan akan terus turun (harga naik) mengikuti penurunan suku bunga kebijakan.
"Kecenderungan ini sudah terlihat sejak Juni lalu di mana arus modal masuk mengalir deras ke Indonesia dan India. Secara year to date sampai 10 Juli 2019 arus modal masuk ke pasar obligasi Indonesia (Surat Bendahara Negara) sudah mencapai Rp 107 triliun, lebih tinggi dari jumlah yang dicapai dalam periode yang sama di tahun 2017," ungkap Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter kepada CNBC Indonesia, Kamis (11/7/2019).
Dalam perspektif Neraca Pembayaran, Nanang mengungkapkan besarnya arus modal masuk ini menunjukkan defisit neraca transaksi berjalan akan dapat tertutupi dengan surplus di neraca finansial, sehingga akan dicapai neraca pembayaran Indonesia yang lebih berimbang. Hal ini juga jauh lebih baik dari kondisi tahun 2018 ketika defisit terjadi di sisi neraca transaksi berjalan dan finansial.
"Defisit neraca transaksi berjalan di tahun ini pun diperkirakan akan terus menurun, terlihat dari neraca perdagangan di Juni yang tercatat mulai surplus dan diharapkan akan terus membaik," terangnya.
Dinamika pada kinerja neraca pembayaran Indonesia ini direpesentasikan pula dengan cadangan devisa Juni 2019 yang kembali meningkat ke US$ 123,8 miliar dan Rupiah yang bergerak lebih stabil dengan kecenderungan menguat.
"Meski kurs Rupiah bergerak lebih stabil dibandingkan tahun 2018 lalu, Bank Indonesia tetap mewaspadai dinamika global dan terus berada di pasar terutama dengan mengoperasikan instrument DNDF [Domestic Non-Delivery Forward] dalam melakukan smoothing volatilitas kurs Rupiah," paparnya.
"Hari ini dalam rangka menjaga stabilitas BI, BI tetap memasok likuiditas DNDF sejak pembukaan pasar sampai tutup pukul 16.00 untuk memastikan tersedianya instrument hedging bagi pelaku pasar termasuk perbankan. Strategi ini cukup ampuh mengendalikan kurs offshore NDF bergerak lebih mengikuti kurs NDF."
Lebih jauh Nanang mengatakan, BI juga berkomitmen untuk memastikan keteresediaan likuiditas Rupiah di pasar uang tetap terjaga dengan melakukan operasi moneter dua arah (two way monetary operation) yaitu secara aktif membuka window lelang untuk kontraksi dan pada saat yang sama membuka window lelang untuk injeksi likuiditas melalui instrument Term Repo.
"Bahkan, jadwal lelang ekspansi likuiditas dalam enam bulan ke depan diumumkan sehingga perbankan memiliki kepastian waktu dalam melakukan akses ke bank sentral bila memerlukan likuiditas. Dampak positifnya, suku bunga di pasar uang seperti JIBOR dan PUAB bulan terus bergerak turun."
(dru) Next Article Bos BI: Rupiah Ada Kecenderungan Menguat!
Pada penutupan pasar spot hari Kamis (11/7/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.060. Rupiah menguat 0,46% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. Penguatan ini menjadikan rupiah yang terkuat kedua di Asia setelah Malaysia.
Pasca testimoni Chairman The Fed Jerome Powell di depan kongres AS yang memberikan sinyal potensi penurunan tingkat suku bunga AS pada FOMC akhir Juli ini, membuka ruang yang lebih lebar bagi arah suku bunga global yang secara sinkron akan menurun.
Dalam kondisi demikian, investor akan lebih memburu kelas aset yang sensitif terhadap arah penurunan suku bunga terutama obligasi. Indonesia dan India merupakan negara Emerging Market di Asia yang saat ini obligasi negaranya menawarkan imbal hasil (yield) tertinggi.
Bila arah suku bunga di kedua negara ini akan bergerak turun, investor akan memburu yield yang tinggi saat ini dengan harapan yield ke depan akan terus turun (harga naik) mengikuti penurunan suku bunga kebijakan.
"Kecenderungan ini sudah terlihat sejak Juni lalu di mana arus modal masuk mengalir deras ke Indonesia dan India. Secara year to date sampai 10 Juli 2019 arus modal masuk ke pasar obligasi Indonesia (Surat Bendahara Negara) sudah mencapai Rp 107 triliun, lebih tinggi dari jumlah yang dicapai dalam periode yang sama di tahun 2017," ungkap Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter kepada CNBC Indonesia, Kamis (11/7/2019).
Dalam perspektif Neraca Pembayaran, Nanang mengungkapkan besarnya arus modal masuk ini menunjukkan defisit neraca transaksi berjalan akan dapat tertutupi dengan surplus di neraca finansial, sehingga akan dicapai neraca pembayaran Indonesia yang lebih berimbang. Hal ini juga jauh lebih baik dari kondisi tahun 2018 ketika defisit terjadi di sisi neraca transaksi berjalan dan finansial.
![]() |
"Defisit neraca transaksi berjalan di tahun ini pun diperkirakan akan terus menurun, terlihat dari neraca perdagangan di Juni yang tercatat mulai surplus dan diharapkan akan terus membaik," terangnya.
Dinamika pada kinerja neraca pembayaran Indonesia ini direpesentasikan pula dengan cadangan devisa Juni 2019 yang kembali meningkat ke US$ 123,8 miliar dan Rupiah yang bergerak lebih stabil dengan kecenderungan menguat.
"Meski kurs Rupiah bergerak lebih stabil dibandingkan tahun 2018 lalu, Bank Indonesia tetap mewaspadai dinamika global dan terus berada di pasar terutama dengan mengoperasikan instrument DNDF [Domestic Non-Delivery Forward] dalam melakukan smoothing volatilitas kurs Rupiah," paparnya.
"Hari ini dalam rangka menjaga stabilitas BI, BI tetap memasok likuiditas DNDF sejak pembukaan pasar sampai tutup pukul 16.00 untuk memastikan tersedianya instrument hedging bagi pelaku pasar termasuk perbankan. Strategi ini cukup ampuh mengendalikan kurs offshore NDF bergerak lebih mengikuti kurs NDF."
Lebih jauh Nanang mengatakan, BI juga berkomitmen untuk memastikan keteresediaan likuiditas Rupiah di pasar uang tetap terjaga dengan melakukan operasi moneter dua arah (two way monetary operation) yaitu secara aktif membuka window lelang untuk kontraksi dan pada saat yang sama membuka window lelang untuk injeksi likuiditas melalui instrument Term Repo.
"Bahkan, jadwal lelang ekspansi likuiditas dalam enam bulan ke depan diumumkan sehingga perbankan memiliki kepastian waktu dalam melakukan akses ke bank sentral bila memerlukan likuiditas. Dampak positifnya, suku bunga di pasar uang seperti JIBOR dan PUAB bulan terus bergerak turun."
(dru) Next Article Bos BI: Rupiah Ada Kecenderungan Menguat!
Most Popular