Duh! Tak Kunjung Membaik, Harga Batu Bara Masih Tertekan

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
26 June 2019 13:36
Harga batu bara Newcastle yang sering menjadi acuan global masih terus berada level terendah sejak September 2016.
Foto: Wahyu Daniel
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle yang sering menjadi acuan global masih terus berada level terendah sejak September 2016.

Pada penutupan perdagangan hari Selasa (25/6/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman Juli anjlok 2% menjadi US$ 68,65/metrik ton. Pun sehari sebelumnya juga sudah amblas 1,2%.

Sejak awal tahun 2019, koreksi harga batu bara telah mencapai 32%.

Hingga saat kini, prospek harga batu bara masih terbebani oleh faktor fundamental di pasar global.



Salah satu yang paling kentara adalah permintaan batu bara impor di China yang diprediksi masih akan lesu, setidaknya hingga akhir tahun 2019.

Sudah sejak tahun 2018, pemerintah China membatasi impor batu bara untuk mendukung produsen lokal.

Akibatnya, di tahun 2018, impor batu bara China hanya sebesar 280,8 juta ton. Meskipun angkatnya naik (tipis) dari tahun sebelumnya yang sebesar 271,1 juta ton, tapi jauh lebih rendah dibanding impor tahun 2013 yang bisa mencapai 237,2 juta ton.

Kebijakan tersebut, sayangnya, masih terus berlaku hingga sekarang. Sulit rasanya untuk membayangkan impor batu bara China naik secara signifikan.

Dalam jangka waktu yang lebih pendek, permintaan batu bara impor di China juga kemungkinan masih akan lesu.

Pasalnya, stok batu bara di enam pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada pekan lalu naik 4% menjadi 17,9 juta ton dibanding posisi pekan sebelumnya. Itu juga merupakan yang paling tinggi sejak Desember 2018.

Pada kondisi tersebut, PLTU dapat beroperasi selama 27 hari penuh, lebih lama ketimbang tahun sebelumnya yang hanya 20 hari.

Selain permintaan yang kian terbatas, produksi batu bara lokal China terus meningkat. Bahkan sepanjang Januari-April 2019, produksi batu bara China tercatat naik 0,6% YoY menjadi 1 miliar ton, seperti yang diumumkan oleh Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/NBS).

NBS juga mencatat ada kapasitas produksi batu bara tambahan sebesar 194 juta ton di tahun 2019 yang siap untuk digarap. Asosiasi Perusahaan Batu Bara China pun telah memasang target peningkatan produksi hingga 100 juta ton tahun ini.

China, harus diakui masih menjadi pemain kunci dalam pembentukan keseimbangan di pasar batu bara global.

Pasalnya, dari seluruh batu bara yang diperdagangkan secara internasional (seaborne) pada tahun 2018, sebanyak 22% di antaranya dibeli oleh China.  Sementara India ada di posisi kedua dengan porsi pembelian 19%.

Di samping itu semua, prospek perdagangan batu bara juga terbebani oleh isu yang lebih besar, yaitu pelambatan ekonomi.

Akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China, perlambatan ekonomi sudah bukan rahasia lagi. Tengok saja pertumbuhan ekonomi China di tahun 2018 yang hanya 6,6% YoY atau paling kecil sejak 1990.

Kondisi tersebut tentu saja akan berdampak pada permintaan energi. Pesanan pabrik-pabrik yang lesu akan menyebabkan permintaan listrik juga tidak banyak.

Sayangnya, sebagian besar, atau 59% dari listrik di China masih dibangkitkan oleh tenaga batu bara.

Kini, risiko eskalasi perang dagang AS-China masih bergentayangan. Nasib ekonomi global akan ditentukan dari hasil pertemuan Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping akhir pekan ini.

Jika hasilnya negatif, beberapa analis memprediksi ekonomi global akan mengalami resesi. Bukan kondisi yang bagus untuk permintaan energi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular