
Neraca Dagang Boleh Surplus, Tapi Rupiah Masih Saja Lemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 June 2019 13:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berbalik melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah memang melemah tipis, tetapi membuat peluang penguatan lima hari beruntun menjadi penuh tanda tanya.
Pada Senin (24/6/2019) pukul 13:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.155. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih menguat 0,14%. Namun memang selepas itu penguatan rupiah terus menipis, dan akhirnya habis.
Agak sulit menyalahkan kalau rupiah melemah hari ini. Sebab penguatan rupiah memang sudah agak tinggi. Sampai akhir pekan lalu, rupiah menguat empat hari berturut-turut dengan apresiasi mencapai 1,43%.
Ini membuat rupiah rentan terserang koreksi teknikal karena harganya yang sudah mahal. Investor yang tergoda mencairkan cuan memutuskan melepas rupiah sehingga nilainya melemah.
Rilis data neraca perdagangan ternyata tidak mampu menjaga rupiah tetap di zona hijau. Padahal laporan Badan Pusat Statistik (BPS) di luar ekspektasi pasar.
BPS mengumumkan neraca perdagangan Mei surplus US$ 210 juta. Ini didapat dari nilai ekspor yang sebesar US$ 14,74 miliar (turun 8,99% year-on-year/YoY) dan impor US$ 14,53 miliar (turun 17,71% YoY).
Realisasi ini lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan defisit US$ 1,294 miliar.
Meski neraca perdagangan Mei surplus, tetapi tampaknya tidak akan banyak membantu kinerja transaksi berjalan (current account) kuartal II-2019. Sebab pada April neraca perdagangan mencatatkan defisit yang sangat dalam yaitu US$ 2,28 miliar. Walau neraca perdagangan Juni surplus, tetapi nyaris mustahil bisa membalikkan neraca perdagangan sepanjang kuartal II-2019 menjadi positif.
Pada kuartal I-2019, neraca perdagangan membukukan defisit tipis US$ 62,8 juta. Itu pun sudah membuat transaksi berjalan defisit 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sejauh ini, neraca perdagangan April dan Mei defisit US$ 2,08 miliar, sehingga risiko defisit transaksi berjalan yang lebih parah ketimbang kuartal I-2019 sudah di depan mata.
Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi rupiah. Sebab pos ini mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, yang lebih sustain ketimbang yang datang dari portofolio di sektor keuangan alias hot money.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada Senin (24/6/2019) pukul 13:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.155. Rupiah melemah 0,04% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih menguat 0,14%. Namun memang selepas itu penguatan rupiah terus menipis, dan akhirnya habis.
Agak sulit menyalahkan kalau rupiah melemah hari ini. Sebab penguatan rupiah memang sudah agak tinggi. Sampai akhir pekan lalu, rupiah menguat empat hari berturut-turut dengan apresiasi mencapai 1,43%.
Ini membuat rupiah rentan terserang koreksi teknikal karena harganya yang sudah mahal. Investor yang tergoda mencairkan cuan memutuskan melepas rupiah sehingga nilainya melemah.
Rilis data neraca perdagangan ternyata tidak mampu menjaga rupiah tetap di zona hijau. Padahal laporan Badan Pusat Statistik (BPS) di luar ekspektasi pasar.
BPS mengumumkan neraca perdagangan Mei surplus US$ 210 juta. Ini didapat dari nilai ekspor yang sebesar US$ 14,74 miliar (turun 8,99% year-on-year/YoY) dan impor US$ 14,53 miliar (turun 17,71% YoY).
Realisasi ini lebih baik ketimbang ekspektasi pasar. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan defisit US$ 1,294 miliar.
Meski neraca perdagangan Mei surplus, tetapi tampaknya tidak akan banyak membantu kinerja transaksi berjalan (current account) kuartal II-2019. Sebab pada April neraca perdagangan mencatatkan defisit yang sangat dalam yaitu US$ 2,28 miliar. Walau neraca perdagangan Juni surplus, tetapi nyaris mustahil bisa membalikkan neraca perdagangan sepanjang kuartal II-2019 menjadi positif.
Pada kuartal I-2019, neraca perdagangan membukukan defisit tipis US$ 62,8 juta. Itu pun sudah membuat transaksi berjalan defisit 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sejauh ini, neraca perdagangan April dan Mei defisit US$ 2,08 miliar, sehingga risiko defisit transaksi berjalan yang lebih parah ketimbang kuartal I-2019 sudah di depan mata.
Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi rupiah. Sebab pos ini mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, yang lebih sustain ketimbang yang datang dari portofolio di sektor keuangan alias hot money.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
AS-Iran Makin Tegang
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular