IHSG Terburuk Kedua di Asia Tahun Ini, Masihkah Ada Harapan?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 June 2019 15:44
IHSG Terburuk Kedua di Asia Tahun Ini, Masihkah Ada Harapan?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun ini (hingga penutupan perdagangan kemarin), IHSG mencetak apresiasi sebesar 1,8%. Namun, walau kinerjanya masih positif, ternyata IHSG berada di posisi dua dari bawah ketika disandingkan dengan indeks saham negara-negara lain di kawasan Asia. Kinerja IHSG hanya lebih baik ketimbang KLCI yang merupakan indeks saham acuan di bursa saham Malaysia.



Lantas, masih adakah harapan bagi IHSG untuk memperbaiki performanya hingga akhir tahun?

Tim Riset CNBC Indonesia mencatat ada dua kejadian penting dari dalam negeri yang bisa membuat IHSG membukukan imbal hasil sebesar dua digit pada tahun 2019.

Pertama, gelaran pemilihan presiden (Pilpres). Belum lama ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai peraih suara terbanyak dalam pilpres tahun 2019.

Jika tak ada aral melintang, Joko Widodo-Ma'ruf Amin nantinya akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2019-2024.

"Jumlah suara sah pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin 85.607.362 suara. Jumlah suara sah pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 68.650.239 suara," ujar Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (21/5/2019), dilansir dari detik.com.

Jika berkaca kepada sejarah, IHSG selalu memberikan imbal hasil yang menggiurkan di tahun Pilpres, dengan catatan bahwa hasil Pilpres sesuai dengan proyeksi dari mayoritas lembaga survei.

Untuk pilpres tahun 2019, mayoritas lembaga survei memang sebelumnya menjagokan pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin ketimbang pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Pada tahun 2004, IHSG melejit hingga 44,6%. Kala itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla memenangkan pertarungan melawan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (putaran 2).

Pada tahun 2009, IHSG meroket hingga 87%. Pada pertarungan tahun 2009, SBY berhasil mempertahankan posisi RI-1, namun dengan wakil yang berbeda. Ia didampingi oleh Boediono yang sebelumnya menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). SBY-Boediono berhasil mengalahkan 2 pasangan calon yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Beralih ke tahun 2014, mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berhasil menempati tahta kepemimpinan tertinggi di Indonesia dengan menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Pada saat itu, IHSG melejit 22,3%.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kejadian penting kedua yang bisa membawa IHSG menutup tahun 2019 dengan imbal hasil dua digit adalah keputusan lembaga pemeringkat kenamaan dunia yakni Standard and Poor's (S&P) untuk menaikkan peringkat surat utang Indonesia. Keputusan ini diumumkan menjelang libur panjang hari raya Idul Fitri.

"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya yang dirilis pada hari Jumat (31/5/2019).

Pada 31 Mei 2018 lalu, S&P sempat mengafirmasi peringkat surat utang jangka panjang Indonesia di level di BBB-. Sebagai informasi, level BBB- merupakan level terendah bagi surat utang yang masuk dalam kategori layak investasi (investment-grade).

Dalam laporannya, S&P menuliskan bahwa perekonomian Indonesia berhasil tumbuh lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya di tingkat pendapatan yang sama.

Pertumbuhan riil Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Indonesia mencapai 4,1% (rata-rata tertimbang 10 tahun), sedangkan negara-negara lain dengan tingkat pendapatan yang sama rata-rata hanya tumbuh 2,2%. Menurut lembaga yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS) tersebut, hal itu merupakan sebuah prestasi yang mengesankan.

Merespons keputusan S&P, IHSG menutup hari dengan apresiasi sebesar 1,72%. Melejitnya IHSG diikuti oleh volume transaksi yang membludak pula. Pada tanggal 31 Mei, berdasarkan publikasi dari Bursa Efek Indonesia (BEI), volume transaksi di pasar saham mencapai 15,2 juta unit, di atas rata-rata volume transaksi tahun 2019 yang sejumlah 14,3 juta unit.

Asal tahu saja, jika dibandingkan dua lembaga pemeringkat kenamaan dunia lainnya yakni Moody's dan Fitch Ratings, S&P bisa dikatakan merupakan yang paling “keras” terhadap Indonesia. Buktinya, S&P merupakan yang terakhir memberikan peringkat layak investasi bagi Indonesia. Oleh karena itu, wajar jika IHSG melejit ketika S&P menaikkan peringkat surat utang Indonesia.

Sebelum pada tanggal 31 Mei lalu, kali terakhir S&P menaikkan peringkat surat utang jangka panjang Indonesia adalah pada tahun 2017 silam, tepatnya pada tanggal 19 Mei. Kala itu, peringkat surat utang jangka panjang Indonesia dinaikkan menjadi BBB-, dari yang sebelumnya BB+. Merespons hal tersebut, pada saat itu IHSG melejit hingga 2,59%.

Jika dihitung sejak 19 Mei hingga akhir tahun, IHSG meroket sebesar 12,58%. Jika dihitung untuk keseluruhan tahun 2017, IHSG membukukan penguatan sebesar 19,99%.

Kini, mari berharap sentimen eksternal kondusif sehingga dua kejadian penting yang sudah dijabarkan di atas mampu mengerek kinerja IHSG. Mari berharap supaya perang dagang AS-China tak lago tereskalasi atau bahkan bisa diakhiri. Mari juga berharap perdana menteri Inggris yang baru nanti bisa membawa Inggris meninggalkan Uni Eropa dengan minim gesekan, tak perlu ada yang namanya No-Deal Brexit.

Kalau sentimen eksternal mendukung, upside IHSG pada tahun ini kami proyeksikan masih besar lantaran baru naik tipis sebesar 1,8%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular