
Asing Belanja Saham Rp 511 M, IHSG Melesat 1,3%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 June 2019 16:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 1,1% ke level 6.277,29, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus memperlebar penguatannya seiring dengan berjalannya waktu. Hingga akhir perdagangan, IHSG melejit 1,3% ke level 6.289,61.
Saham-saham yang berkontribusi besar bagi penguatan IHSG pada hari ini di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+3,59%), PT Astra International Tbk/ASII (+3,02%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+1,03%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+3,27%), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (+4,73%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang kompak ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1,2%, indeks Shanghai naik 0,86%, indeks Hang Seng naik 2,27%, indeks Straits Times naik 0,81%, dan indeks Kospi naik 1,31%.
Selama diliburkan pada pekan lalu, bursa saham utama kawasan Asia juga melejit dan praktis membuat pelaku pasar saham tanah air baru bisa melakukan price-in pada hari ini. Sepanjang pekan lalu, indeks Nikkei naik 1,38%, indeks Hang Seng naik 0,24%, indeks Straits Times naik 1,56%, dan indeks Kospi naik 1,5%.
Optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini membuat aksi beli dilakukan di bursa saham Asia pada pekan kemarin.
Pada hari Selasa (4/6/2019) waktu setempat, Gubernur The Fed Jerome Powell memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan yakni dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".
"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.
"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.
Sebelumnya, Presiden The Fed St. Louis James Bullard mengatakan dalam sebuah pidato bahwa pemotongan tingkat suku bunga acuan mungkin perlu segera dilakukan.
Komentar dari Powell tersebut datang di saat yang begitu tepat. Pasalnya, melalui publikasi Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis Selasa malam waktu setempat atau Rabu (5/6/2019) dini hari waktu Indonesia, Bank Dunia (World Bank) memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi global.
Untuk tahun ini, lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS) tersebut memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya akan tumbuh sebesar 2,6%, dari yang sebelumnya 2,9% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari.
Melalui publikasi tersebut, Bank Dunia juga mengafirmasi bahwa perekonomian AS akan menghadapi perlambatan yang signifikan. Untuk tahun 2019, Bank Dunia masih memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5%, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Jika tingkat suku bunga acuan benar dipangkas nantinya, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, perekonomian AS bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.
Mengingat posisi AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, kencangnya laju perekonomian AS tentu akan membawa dampak positif bagi negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asia.
Apalagi, bukan hanya bank sentral AS yang menunjukkan sikap dovish, namun juga European Central Bank (ECB) yang merupakan bank sentral dari negara-negara zona euro.
Memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level -0,4% pada hari Kamis (6/6/2019), ECB mengatakan bahwa pihaknya akan menunda normalisasi hingga setidaknya pertengahan tahun depan. Sebelumnya, ECB hanya memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan ditunda hingga akhir tahun.
Ketidakpastian terkait faktor geopolitik serta perang dagang menjadi faktor utama yang membuat Mario Draghi (Gubernur ECB) dan kolega memutuskan untuk mempertahankan era suku bunga rendah lebih lama dari yang sebelumnya diperkirakan.
"Kehadiran ketidakpastian terkait faktor geopolitik yang berkepanjangan, meningkatnya ancaman dari sikap proteksionisme, dan kerentanan perekonomian negara-negara berkembang telah mempengaruhi sentimen ekonomi," kata Draghi di hadapan reporter dalam konferensi persnya, dilansir dari CNBC International. Investor asing memegang peranan besar dalam membuat IHSG melejit pada perdagangan pertama di pekan ini. Per akhir sesi 2, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 510,58 miliar di pasar reguler, menandai beli bersih yang ke-3 secara beruntun. Di seluruh pasar, beli bersih yang dibukukan investor asing adalah senilai Rp 480,8 miliar.
Keperkasaan rupiah menjadi salah satu faktor yang melandasi aksi beli yang dilakukan investor asing. Hingga sore hari, rupiah menguat 0,18% di pasar spot ke level Rp 14.245/dolar AS.
Dengan adanya keyakinan bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini, praktis rupiah mendapatkan suntikan energi untuk menguat melawan greenback. Kala rupiah menguat, apalagi dengan signifikan, kerugian kurs bisa dihindari oleh investor asing.
Pelaku pasar kini yakin bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada tahun ini. Pemangkasan sebesar 75 bps juga diyakini bisa dilakukan oleh The Fed.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 10 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada tahun ini berada di level 35%. Untuk pemangkasan sebesar 75 dan 25 bps, probabilitasnya masing-masing adalah sebesar 33% dan 15,6%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan ditahan di level 2,25%-2,5% sepanjang tahun ini hanya tersisa 2,3% saja, dari yang sebelumnya 36,5% pada bulan lalu.
Saham-saham yang banyak dikoleksi investor asing di pasar reguler pada hari ini di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 272,3 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 198,4 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 103,7 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 89,8 miliar), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 84,2 miliar).
Selain penguatan rupiah, rilis data ekonomi di kawasan Asia yang menggembirakan ikut memantik aksi beli di bursa saham tanah air oleh investor asing. Pada pagi hari ini, pembacaan akhir untuk angka pertumbuhan ekonomi Jepang periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 2,2% (QoQ annualized), mengalahkan konsensus yang sebesar 2,1%, seperti dilansir dari Trading Economics.
Beralih ke China, pada pagi hari ini ekspor periode Mei 2019 diumumkan tumbuh sebesar 1,1% secara tahunan. Walaupun tipis saja, capaian pada periode Mei jauh lebih baik ketimbang April kala ekspor jatuh sebesar 2,7% secara tahunan, serta lebih baik dari konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 3,8%, dilansir dari Trading Economics. Sejatinya, ada sentimen negatif yang menyelimuti perdagangan di bursa saham tanah air berupa rilis angka inflasi periode Mei 2019. Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa terjadi inflasi sebesar 0,68% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,32%. Capaian tersebut berada di atas konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang sebesar 0,53% secara bulanan.
Inflasi pada bulanan Ramadan tahun ini tak bisa dibilang rendah seperti yang sebelumnya diekspektasikan pelaku pasar. Sebagai informasi, periode puasa pada tahun ini dimulai pada awal Mei, tepatnya pada tanggal 5.
Pada tahun 2018, inflasi Ramadan secara bulanan adalah sebesar 0,21% (Mei) dan 0,59% (Juni). Kemudian pada tahun 2017, inflasi Ramadan secara bulanan yang sebagian besar jatuh di bulan Juni adalah 0,69%.
Sebenarnya, tingginya inflasi bisa menjadi pertanda kuatnya konsumsi masyarakat. Namun, inflasi pada bulan lalu dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan. Sepanjang bulan lalu, harga bahan makanan melesat 2,02% secara bulanan dan menyumbang sebesar 63% dari inflasi bulanan periode Mei yang sebesar 0,68%.
Sementara itu, komponen lain yang lebih menunjukkan kuat-lemahnya konsumsi masyarakat justru hanya mencatatkan kenaikan harga yang tipis saja.
Bisa jadi, laju perekonomian kuartal-II 2019 tak akan memenuhi ekspektasi lantaran kenaikan harga bahan makanan yang begitu tinggi membatasi konsumsi masyarakat atas barang-barang lainnya.
Sebagai informasi, konsumsi rumah tangga memang memegang peranan yang besar dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2018, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian Indonesia adalah sebesar 55,7%, menjadikannya pos dengan kontribusi terbesar. Di posisi 2, ada investasi yang berkontribusi sebesar 32,3% dan di posisi 3 ada ekspor (barang dan jasa) yang berkontribusi sebesar 21%. Kala konsumsi masyarakat tertekan, tentu laju perekonomian ekonomi juga akan berada di level yang relatif rendah.
Bagi pasar saham, kondisi seperti ini tentu tidak favorable.
Namun beruntung, kehadiran sentimen positif dari sisi eksternal yang begitu banyak membuat rilis angka inflasi yang mengecewakan menjadi sejenak dilupakan oleh pelaku pasar saham Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Saham-saham yang berkontribusi besar bagi penguatan IHSG pada hari ini di antaranya: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (+3,59%), PT Astra International Tbk/ASII (+3,02%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+1,03%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+3,27%), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (+4,73%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang kompak ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1,2%, indeks Shanghai naik 0,86%, indeks Hang Seng naik 2,27%, indeks Straits Times naik 0,81%, dan indeks Kospi naik 1,31%.
Optimisme bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini membuat aksi beli dilakukan di bursa saham Asia pada pekan kemarin.
Pada hari Selasa (4/6/2019) waktu setempat, Gubernur The Fed Jerome Powell memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan yakni dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".
"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.
"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.
Sebelumnya, Presiden The Fed St. Louis James Bullard mengatakan dalam sebuah pidato bahwa pemotongan tingkat suku bunga acuan mungkin perlu segera dilakukan.
Komentar dari Powell tersebut datang di saat yang begitu tepat. Pasalnya, melalui publikasi Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis Selasa malam waktu setempat atau Rabu (5/6/2019) dini hari waktu Indonesia, Bank Dunia (World Bank) memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi global.
Untuk tahun ini, lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS) tersebut memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya akan tumbuh sebesar 2,6%, dari yang sebelumnya 2,9% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari.
Melalui publikasi tersebut, Bank Dunia juga mengafirmasi bahwa perekonomian AS akan menghadapi perlambatan yang signifikan. Untuk tahun 2019, Bank Dunia masih memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5%, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Jika tingkat suku bunga acuan benar dipangkas nantinya, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, perekonomian AS bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.
Mengingat posisi AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, kencangnya laju perekonomian AS tentu akan membawa dampak positif bagi negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asia.
Apalagi, bukan hanya bank sentral AS yang menunjukkan sikap dovish, namun juga European Central Bank (ECB) yang merupakan bank sentral dari negara-negara zona euro.
Memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level -0,4% pada hari Kamis (6/6/2019), ECB mengatakan bahwa pihaknya akan menunda normalisasi hingga setidaknya pertengahan tahun depan. Sebelumnya, ECB hanya memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan ditunda hingga akhir tahun.
Ketidakpastian terkait faktor geopolitik serta perang dagang menjadi faktor utama yang membuat Mario Draghi (Gubernur ECB) dan kolega memutuskan untuk mempertahankan era suku bunga rendah lebih lama dari yang sebelumnya diperkirakan.
"Kehadiran ketidakpastian terkait faktor geopolitik yang berkepanjangan, meningkatnya ancaman dari sikap proteksionisme, dan kerentanan perekonomian negara-negara berkembang telah mempengaruhi sentimen ekonomi," kata Draghi di hadapan reporter dalam konferensi persnya, dilansir dari CNBC International. Investor asing memegang peranan besar dalam membuat IHSG melejit pada perdagangan pertama di pekan ini. Per akhir sesi 2, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 510,58 miliar di pasar reguler, menandai beli bersih yang ke-3 secara beruntun. Di seluruh pasar, beli bersih yang dibukukan investor asing adalah senilai Rp 480,8 miliar.
Keperkasaan rupiah menjadi salah satu faktor yang melandasi aksi beli yang dilakukan investor asing. Hingga sore hari, rupiah menguat 0,18% di pasar spot ke level Rp 14.245/dolar AS.
Dengan adanya keyakinan bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan pada tahun ini, praktis rupiah mendapatkan suntikan energi untuk menguat melawan greenback. Kala rupiah menguat, apalagi dengan signifikan, kerugian kurs bisa dihindari oleh investor asing.
Pelaku pasar kini yakin bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps pada tahun ini. Pemangkasan sebesar 75 bps juga diyakini bisa dilakukan oleh The Fed.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 10 Juni 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada tahun ini berada di level 35%. Untuk pemangkasan sebesar 75 dan 25 bps, probabilitasnya masing-masing adalah sebesar 33% dan 15,6%. Sementara itu, probabilitas tingkat suku bunga acuan ditahan di level 2,25%-2,5% sepanjang tahun ini hanya tersisa 2,3% saja, dari yang sebelumnya 36,5% pada bulan lalu.
Saham-saham yang banyak dikoleksi investor asing di pasar reguler pada hari ini di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 272,3 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 198,4 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 103,7 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 89,8 miliar), dan PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 84,2 miliar).
Selain penguatan rupiah, rilis data ekonomi di kawasan Asia yang menggembirakan ikut memantik aksi beli di bursa saham tanah air oleh investor asing. Pada pagi hari ini, pembacaan akhir untuk angka pertumbuhan ekonomi Jepang periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 2,2% (QoQ annualized), mengalahkan konsensus yang sebesar 2,1%, seperti dilansir dari Trading Economics.
Beralih ke China, pada pagi hari ini ekspor periode Mei 2019 diumumkan tumbuh sebesar 1,1% secara tahunan. Walaupun tipis saja, capaian pada periode Mei jauh lebih baik ketimbang April kala ekspor jatuh sebesar 2,7% secara tahunan, serta lebih baik dari konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 3,8%, dilansir dari Trading Economics. Sejatinya, ada sentimen negatif yang menyelimuti perdagangan di bursa saham tanah air berupa rilis angka inflasi periode Mei 2019. Sepanjang bulan lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa terjadi inflasi sebesar 0,68% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,32%. Capaian tersebut berada di atas konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang sebesar 0,53% secara bulanan.
Inflasi pada bulanan Ramadan tahun ini tak bisa dibilang rendah seperti yang sebelumnya diekspektasikan pelaku pasar. Sebagai informasi, periode puasa pada tahun ini dimulai pada awal Mei, tepatnya pada tanggal 5.
Pada tahun 2018, inflasi Ramadan secara bulanan adalah sebesar 0,21% (Mei) dan 0,59% (Juni). Kemudian pada tahun 2017, inflasi Ramadan secara bulanan yang sebagian besar jatuh di bulan Juni adalah 0,69%.
Sebenarnya, tingginya inflasi bisa menjadi pertanda kuatnya konsumsi masyarakat. Namun, inflasi pada bulan lalu dipicu oleh kenaikan harga bahan makanan. Sepanjang bulan lalu, harga bahan makanan melesat 2,02% secara bulanan dan menyumbang sebesar 63% dari inflasi bulanan periode Mei yang sebesar 0,68%.
Sementara itu, komponen lain yang lebih menunjukkan kuat-lemahnya konsumsi masyarakat justru hanya mencatatkan kenaikan harga yang tipis saja.
Bisa jadi, laju perekonomian kuartal-II 2019 tak akan memenuhi ekspektasi lantaran kenaikan harga bahan makanan yang begitu tinggi membatasi konsumsi masyarakat atas barang-barang lainnya.
Sebagai informasi, konsumsi rumah tangga memang memegang peranan yang besar dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2018, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian Indonesia adalah sebesar 55,7%, menjadikannya pos dengan kontribusi terbesar. Di posisi 2, ada investasi yang berkontribusi sebesar 32,3% dan di posisi 3 ada ekspor (barang dan jasa) yang berkontribusi sebesar 21%. Kala konsumsi masyarakat tertekan, tentu laju perekonomian ekonomi juga akan berada di level yang relatif rendah.
Bagi pasar saham, kondisi seperti ini tentu tidak favorable.
Namun beruntung, kehadiran sentimen positif dari sisi eksternal yang begitu banyak membuat rilis angka inflasi yang mengecewakan menjadi sejenak dilupakan oleh pelaku pasar saham Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular