
Usai Libur Lebaran, Rupiah Jagoan di Kurs Tengah BI dan Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 June 2019 10:36

Sepertinya sentimen domestik mendominasi keperkasaan rupiah hari ini. Sebelum libur Idul Fitri, lembaga pemeringkat Standard and Poor's (S&P) menaikkan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB. Ini menjadi kali pertama S&P memberi rating BBB kepada Indonesia sejak 1995.
Kenaikan rating semakin mempertebal kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia, khususnya obligasi pemerintah. Arus modal begitu deras masuk ke pasar surat utang pemerintah, sehingga imbal hasil (yield) menurun drastis.
Pada pukul 10:15 WIB, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 21,3 basis poin (bps) ke 7,811%. Ini menjadi yang terendah sejak 30 April. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Tidak cuma di pasar obligasi, kenaikan rating juga berimbas positif kepada pasar saham. Pada pukul 10:19 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 1,58%. Investor asing membukukan beli bersih Rp 353,9 miliar.
Arus modal di pasar obligasi dan saham berhasil menjadi modal bagi rupiah untuk menguat. Tidak sekadar menguat, tetapi juga menjadi yang terkuat di Asia.
Selain kenaikan rating, investor juga mengantisipasi rilis data inflasi Mei yang positif. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month/MoM) berada di 0,53%. Sementara inflasi year-on-year (YoY) diramal 3,165% dan inflasi inti YoY sebesar 3,08%.
Sedangkan konsensus yang dihimpun Reuters menghasilkan angka yang tidak jauh berbeda. Inflasi bulanan diperkirakan sebesar 0,54%. Kemudian inflasi tahunan ada di 3,17% dan inflasi inti YoY adalah 3,07%.
Inflasi bulanan yang sebesar 0,53% bisa dibilang minim, mengingat sejak awal Mei (tepatnya 5 Mei) Indonesia sudah memasuki Ramadan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa periode Ramadan-Idul Fitri merupakan puncak konsumsi masyarakat yang otomatis menjadi puncak inflasi.
Apakah inflasi rendah merupakan pertanda permintaan lesu? Tampaknya tidak demikian. Sebab inflasi inti pada Mei diperkirakan 3,08% YoY, terakselerasi dibandingkan April yang sebesar 3,05%. Artinya, konsumsi masih kuat yang tercermin dari peningkatan ekspektasi inflasi.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, inflasi tinggi adalah sebuah default setting. Sebab permintaan terus tumbuh sementara industri domestik masih mencari bentuk permainan terbaik. Artinya pasokan yang tersedia niscaya belum mampu memenuhi permintaan yang terus naik.
Jadi inflasi rendah adalah sebuah berkah, karena pertanda permintaan yang tumbuh mampu dipenuhi oleh sisi penawaran. Sisi pasokan Indonesia semakin baik, dunia usaha semakin mampu untuk menyesuaikan irama permintaan konsumen.
Inflasi rendah menjadi sentimen positif bagi rupiah. Kala inflasi 'jinak', maka nilai mata uang akan stabil karena tidak tergerus oleh inflasi sehingga berinvestasi di rupiah tetap menguntungkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Kenaikan rating semakin mempertebal kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia, khususnya obligasi pemerintah. Arus modal begitu deras masuk ke pasar surat utang pemerintah, sehingga imbal hasil (yield) menurun drastis.
Pada pukul 10:15 WIB, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 21,3 basis poin (bps) ke 7,811%. Ini menjadi yang terendah sejak 30 April. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Tidak cuma di pasar obligasi, kenaikan rating juga berimbas positif kepada pasar saham. Pada pukul 10:19 WIB, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 1,58%. Investor asing membukukan beli bersih Rp 353,9 miliar.
Arus modal di pasar obligasi dan saham berhasil menjadi modal bagi rupiah untuk menguat. Tidak sekadar menguat, tetapi juga menjadi yang terkuat di Asia.
Selain kenaikan rating, investor juga mengantisipasi rilis data inflasi Mei yang positif. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi bulanan (month-on-month/MoM) berada di 0,53%. Sementara inflasi year-on-year (YoY) diramal 3,165% dan inflasi inti YoY sebesar 3,08%.
Sedangkan konsensus yang dihimpun Reuters menghasilkan angka yang tidak jauh berbeda. Inflasi bulanan diperkirakan sebesar 0,54%. Kemudian inflasi tahunan ada di 3,17% dan inflasi inti YoY adalah 3,07%.
Inflasi bulanan yang sebesar 0,53% bisa dibilang minim, mengingat sejak awal Mei (tepatnya 5 Mei) Indonesia sudah memasuki Ramadan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa periode Ramadan-Idul Fitri merupakan puncak konsumsi masyarakat yang otomatis menjadi puncak inflasi.
Apakah inflasi rendah merupakan pertanda permintaan lesu? Tampaknya tidak demikian. Sebab inflasi inti pada Mei diperkirakan 3,08% YoY, terakselerasi dibandingkan April yang sebesar 3,05%. Artinya, konsumsi masih kuat yang tercermin dari peningkatan ekspektasi inflasi.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, inflasi tinggi adalah sebuah default setting. Sebab permintaan terus tumbuh sementara industri domestik masih mencari bentuk permainan terbaik. Artinya pasokan yang tersedia niscaya belum mampu memenuhi permintaan yang terus naik.
Jadi inflasi rendah adalah sebuah berkah, karena pertanda permintaan yang tumbuh mampu dipenuhi oleh sisi penawaran. Sisi pasokan Indonesia semakin baik, dunia usaha semakin mampu untuk menyesuaikan irama permintaan konsumen.
Inflasi rendah menjadi sentimen positif bagi rupiah. Kala inflasi 'jinak', maka nilai mata uang akan stabil karena tidak tergerus oleh inflasi sehingga berinvestasi di rupiah tetap menguntungkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular