
ECB Ikuti Jejak The Fed, Wall Street Melipir ke Zona Hijau
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 June 2019 22:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Wall Street cenderung ditransaksikan menguat pada perdagangan hari ini. Hingga pukul 21:20 WIB, indeks Dow Jones menguat 0,08%, indeks S&P 500 naik 0,04%, sementara indeks Nasdaq Composite terkoreksi 0,2%.
Sentimen positif bagi bursa saham AS datang dari kejutan yang diberikan oleh European Central Bank (ECB). Memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level -0,4%, pada hari ini, ECB mengatakan bahwa pihaknya akan menunda normalisasi hingga setidaknya pertengahan tahun depan. Sebelumnya, ECB hanya memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan ditunda hingga akhir tahun.
Ketidakpastian terkait faktor geopolitik serta perang dagang menjadi faktor utama yang membuat Mario Draghi (Gubernur ECB) dan kolega memutuskan untuk mempertahankan era suku bunga rendah lebih lama dari yang sebelumnya diperkirakan.
"Kehadiran ketidakpastian terkait faktor geopolitik yang berkepanjangan, meningkatnya ancaman dari sikap proteksionisme, dan kerentanan perekonomian negara-negara berkembang telah mempengaruhi sentimen ekonomi," kata Draghi di hadapan reporter dalam konferensi persnya, dilansir dari CNBC International.
Lantas, ECB mengikuti jejak dovish yang sudah ditinggalkan sebelumnya oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS. Pada hari Selasa (4/6/2019) waktu setempat, Gubernur The Fed Jerome Powell memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan yakni dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".
"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.
"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.
Sikap dovish yang ditunjukkan oleh ECB dan The Fed datang di saat pelaku pasar kian was-was akan laju pertumbuhan ekonomi global. Melalui publikasi Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis Selasa malam waktu setempat atau Rabu (5/6/2019) dini hari waktu Indonesia, Bank Dunia (World Bank) memutuskan untuk memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi global.
Lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS) tersebut kini memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya akan tumbuh sebesar 2,6% pada tahun ini, dari yang sebelumnya 2,9% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari.
Untuk AS sendiri, Bank Dunia memproyeksikan perekonomian tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Dengan ECB dan The Fed yang sama-sama bersikap dovish, tingkat suku bunga kredit akan berada di level yang relatif rendah yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Jika berbicara mengenai pasar saham, laju perekonomian yang kencang tentu merupakan kondisi yang favorable.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Wall Street Bangkit Lagi, ECB Kembali Kerek Suku Bunga 25 Bps
Sentimen positif bagi bursa saham AS datang dari kejutan yang diberikan oleh European Central Bank (ECB). Memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level -0,4%, pada hari ini, ECB mengatakan bahwa pihaknya akan menunda normalisasi hingga setidaknya pertengahan tahun depan. Sebelumnya, ECB hanya memperkirakan kenaikan suku bunga acuan akan ditunda hingga akhir tahun.
Ketidakpastian terkait faktor geopolitik serta perang dagang menjadi faktor utama yang membuat Mario Draghi (Gubernur ECB) dan kolega memutuskan untuk mempertahankan era suku bunga rendah lebih lama dari yang sebelumnya diperkirakan.
Lantas, ECB mengikuti jejak dovish yang sudah ditinggalkan sebelumnya oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS. Pada hari Selasa (4/6/2019) waktu setempat, Gubernur The Fed Jerome Powell memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan yakni dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".
"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.
"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.
Sikap dovish yang ditunjukkan oleh ECB dan The Fed datang di saat pelaku pasar kian was-was akan laju pertumbuhan ekonomi global. Melalui publikasi Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis Selasa malam waktu setempat atau Rabu (5/6/2019) dini hari waktu Indonesia, Bank Dunia (World Bank) memutuskan untuk memangkas proyeksinya atas pertumbuhan ekonomi global.
Lembaga yang berbasis di Washington, Amerika Serikat (AS) tersebut kini memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) global hanya akan tumbuh sebesar 2,6% pada tahun ini, dari yang sebelumnya 2,9% pada proyeksi yang dibuat bulan Januari.
Untuk AS sendiri, Bank Dunia memproyeksikan perekonomian tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
Dengan ECB dan The Fed yang sama-sama bersikap dovish, tingkat suku bunga kredit akan berada di level yang relatif rendah yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.
Jika berbicara mengenai pasar saham, laju perekonomian yang kencang tentu merupakan kondisi yang favorable.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Wall Street Bangkit Lagi, ECB Kembali Kerek Suku Bunga 25 Bps
Most Popular