Meski AS-Meksiko Panas, Niscaya IHSG Menguat Jika Tak Libur

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
06 June 2019 11:18
Meski AS-Meksiko Panas, Niscaya IHSG Menguat Jika Tak Libur
Foto: Oppo Stock In Your Hand (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan di bursa saham tanah air masih diliburkan seiring dengan peringatan hari raya Idul Fitri. Perdagangan baru akan kembali dibuka pada Senin pekan depan (10/6/2019).

Namun, kalau seandainya perdagangan hari ini dibuka, kira-kira bagaimana nasib Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)? Sekedar mengingatkan, pada perdagangan hari Jumat (31/5/2019) atau sebelum libur panjang, IHSG tak sekalipun merasakan pahitnya zona merah dan ditutup melejit 1,72% ke level 6.209,12.

Nampaknya, IHSG akan melenggang mulus di zona hijau jika perdagangan hari ini dibuka. Pasalnya, mayoritas bursa saham utama kawasan Asia kini sedang ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,31%, indeks Hang Seng naik 0,15%, dan indeks Straits Times naik 0,06%. Sementara itu, perdagangan di bursa saham Korea Selatan pada hari ini diliburkan seiring dengan peringatan Memorial Day.

Sejatinya, ada sentimen negatif yang menghantui jalannya perdagangan yakni hubungan AS-Meksiko yang memanas. Seperti yang diketahui, belum lama ini Presiden AS Donald Trump berkicau di Twitter bahwa AS akan mengenakan bea masuk sebesar 5% bagi seluruh produk impor asal Meksiko per tanggal 10 Juni.

"Pada 10 Juni, Amerika Serikat akan mengenakan bea masuk 5% terhadap semua produk yang masuk ke negara kita dari Meksiko, sampai masuknya imigran ilegal dari Meksiko ke negara kita BERHENTI. Bea masuk akan naik secara bertahap hingga masalah imigran ilegal diselesaikan," tulisnya.

Meyusul cuitan Trump tersebut, Gedung Putih dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa bea masuk yang dikenakan terhadap seluruh produk impor asal Meksiko tersebut akan naik setiap satu bulan sekali hingga krisis imigran ilegal diselesaikan.

"Bea impor akan naik menjadi 15% pada 1 Agustus 2019, menjadi 20% pada 1 September 2019, dan menjadi 25% pada 1 Oktober 2019," tulis pernyataan resmi Gedung Putih.

Delegasi AS dan Meksiko kemudian menggelar pertemuan untuk membahas masalah ini pada hari Rabu (5/6/2019) waktu setempat. Negosiasi tersebut digelar kala Trump sedang melakukan kunjungan kenegaraan ke Inggris. Walaupun tak hadir, Trump memantau jalannya negosiasi dan ternyata, dirinya tak puas dengan perkembangan yang ada.

"Kemajuan sudah dibuat, namun itu masih jauh dari cukup!" cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump.

Trump kemudian menambahkan bahwa negosiasi dengan Meksiko akan kembali digelar pada hari ini waktu setempat dan jika masalah imigran ilegal tak juga bisa diatasi, maka bea masuk sebesar 5% bagi seluruh produk impor asal Meksiko tetap akan berlaku pada hari Senin.

Asal tahu saja, Meksiko merupakan negara sumber impor terbesar kedua bagi AS. Menurut data dari Kantor Perwakilan Dagang AS, AS mengimpor barang senilai US$ 346,5 miliar dari Meksiko pada tahun 2018, mengimplikasikan kenaikan sebesar 10,3% dibandingkan nilai tahun 2017, dilansir dari CNBC International. Impor barang dari Meksiko berkontribusi sebesar 13,6% dari total impor barang AS pada tahun lalu.
Walaupun AS-Meksiko panas, The Federal Reserve selaku bank sentral AS hadir untuk mendinginkan bursa saham Asia. Pada hari Selasa (4/6/2019) waktu setempat, Gubernur The Fed Jerome Powell memberi sinyal pemangkasan tingkat suku bunga acuan yakni dengan mengubah standar referensinya dari The Fed yang "sabar" dalam menentukan suku bunga menjadi bank sentral akan memperhatikan dampak perang dagang dan akan mengambil tindakan "yang sesuai".

"Kami tidak tahu bagaimana atau kapan isu-isu (perdagangan) ini akan terselesaikan," kata Powell, dilansir dari Reuters.

"Kami memantau dengan ketat dampak dari berbagai perkembangan ini terhadap proyeksi perekonomian AS dan, selalu, kami akan mengambil tindakan yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan (ekonomi), dengan pasar tenaga kerja yang kuat dan inflasi yang ada di sekitar target simetris 2% kami," lanjutnya.

Sebelumnya, Presiden The Fed St. Louis James Bullard mengatakan dalam sebuah pidato bahwa pemotongan tingkat suku bunga acuan mungkin perlu segera dilakukan.

Komentar dari Powell tersebut datang di saat yang begitu tepat. Pasalnya, melalui publikasi Global Economic Prospects edisi Juni 2019 yang dirilis pada Selasa malam waktu setempat, Bank Dunia (World Bank) mengafirmasi bahwa perekonomian AS akan menghadapi perlambatan yang signifikan.

Untuk tahun 2019, Bank Dunia masih memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5%, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.

Jika tingkat suku bunga acuan benar dipangkas nantinya, tingkat suku bunga kredit akan ikut melandai yang tentunya akan memberi insentif bagi dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, perekonomian AS bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.

Mengingat posisi AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, kencangnya laju perekonomian AS tentu akan membawa dampak positif bagi negara-negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular