H-1 Lebaran, Harga Emas Tertinggi dalam 3 Bulan

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
04 June 2019 13:15
Harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) terkoreksi terbatas 0,04% ke level US$ 1.327/troy ounce
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Meskipun terkoreksi terbatas pada hari Selasa (4/6/2019), namun harga emas telah melesat dan masih bertahan di posisi tertinggi dalam 3 bulan terakhir.

Hingga pukul 11:00 WIB, harga emas kontrak pengiriman Agustus di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) terkoreksi terbatas 0,04% ke level US$ 1.327/troy ounce, setelah melesat 1,28% kemarin (3/6/2019). Adapun harga emas di pasar spot juga terkoreksi 0,23% menjadi US$ 1.321,71/troy ounce pasca meroket 1,5% kemarin.

Sejak awal tahun 2019, harga emas COMEX dan Spot telah menguat masing-masing sebesar 3,6% dan 3,04%.



Setelah menguat selama empat hari berturut-turut, harga emas memang memiliki peluang untuk terkoreksi secara teknikal.

Maklum, penguatan harga emas dalam sepekan sudah lebih dari 3% dan membuat Investor semakin bergairah untuk mengamankan keuntungan. Aksi jual emas pun tidak dapat dihindari.

Dalam hal ini ada beberapa faktor yang membuat harga emas menjulang tinggi.

Pertama, tentu saja ketidakpastian kondisi ekonomi global yang meningkat akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan negara mitranya, terutama China. 

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo pada hari Senin (3/6/2019) mengatakan bahwa pihaknya saat ini sedang mencari "kesetaraan" dengan China setelah selama bertahun-tahun berada dalam praktek kecurangan perdagangan.

Sementara itu Presiden AS, Donald Trump mengatakan bahwa tarif yang telah diberlakukan tidak berpengaruh banyak terhadap inflasi dan membuat banyak perusahaan meninggalkan China.

"Banyak perusahaan meninggalkan China dan beralih ke negara lain, termasuk AS untuk menghindari tarif," ujar Trump melalui akun twitter pribadinya, Senin (3/6/2019).

Sebelumnya, Wakil Menteri Perdagangan China, Wang Shouwen mengatakan bahwa Washington tidak bisa menggunakan tekanan untuk mendesak perjanjian damai dagang dengan Beijing. Dirinya juga menampik kabar bahwa dua pimpinan negara (AS-China) akan bertemu di sela-sela pertemuan negara-negara G20 di Tokyo nanti.

Dengan dinamika hubungan yang cenderung meregang, pelaku pasar makin khawatir dialog dagang AS-China akan sulit untuk disambung kembali.

Kedua, perkembangan data ekonomi global yang semakin memprihatinkan.

Data pembacaan akhir Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur AS periode Mei versi Markit ternyata hanya sebesar 50,6 atau turun dari pembacaan awal yang senilai 52,6.

Memang benar, angka PMI di atas 50 masih berarti terjadi ekspansi pada manufaktur AS. Akan tetapi nilai 50,6 merupakan angka PMI yang paling kecil sejak September 2009.

Artinya perekonomian AS masih lambat. Dampak perang dagang dengan China yang dimulai pada Maret 2018 silam masih tersisa.

Dari Asia, kemarin pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi Korea Selatan pada kuartal I-2019 diumumkan di level minus 0,4% alias terkontraksi secara kuartalan (QoQ). Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan kuartal I-2019 tumbuh 1,7% YoY atau melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang 2,9% YoY.

Bank sentrar Korea Selatan (Bank of Korea) juga mengatakan bahwa inflasi inti pada bulan Mei hanya sebesar 0,6% YoY dan merupakan yang paling lambat sejak tahun 1999 atau dalam hampir 20 tahun terakhir.

Sebagai informasi, inflasi inti dapat menggambarkan kenaikan harga yang disebabkan oleh mekanisme pasar. Saat kenaikan harga amat kecil, maka besar kemungkinan permintaan konsumen berkurang dan menyebabkan produsen sulit untuk menaikkan harga.

Data tersebut semakin mengonfirmasi bahwa perlambatan ekonomi di Asia adalah nyata. Bahkan pelaku pasar semakin khawatir perlambatan ekonomi akan semakin parah ke depannya.

Ketiga, peluang Bank Sentral AS, The Fed, untuk menurunkan suku bunga acuan semakin tinggi. Mengutip Reuters, prospek perekonomian global yang semakin memburuk membuat pelaku pasar meningkatkan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed dalam waktu dekat.

Berdasarkan data dari CME, probabilitas The Fed menurunkan suku bunga sebesar 25 basis point pada rapat bulan Juli 2019 mencapai 50,4%, atau naik dari posisi akhir pekan lalu yang sebesar 44,8%.

Bila suku bunga The Fed benar akan turun, maka dolar akan kehilangan keperkasaannya. Harga emas pun bisa menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Permintaan emas berpeluang meningkat karenanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Emas, How High Can You Fly

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular