Setelah 4 Hari Ngebut, Rupiah Habis Bensin

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 May 2019 08:40
Setelah 4 Hari Ngebut, Rupiah Habis Bensin
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Setelah menguat selama empat hari beruntun, rupiah sepertinya mulai kehabisan 'bensin'. 

Pada Rabu (29/5/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.380 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah. Pada pukul 08:06 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.385 di mana rupiah melemah 0,1%. 


Sampai kemarin, rupiah telah menguat selama 4 hari berturut-turut. Selama emat hari tersebut, apresiasi rupiah terhadap dolar AS mencapai 1,03%. 

 

Penguatan rupiah yang sudah cukup tajam itu menyebabkan mata uang Tanah Air rentan melemah. Investor yang sudah mendapatkan cuan lumayan tentu tergiur mencairkannya. Rupiah terkena tekanan jual dan akhirnya melemah. 

Namun nasib rupiah sama seperti mayoritas mata uang utama Asia yang melemah terhadap dolar AS. Hanya yen Jepang dan dolar Singapura yang masih mampu menguat. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:12 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS masih dalam fase pendakian. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam juga menguat secara global. 

Pada pukul 08:14 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,05%. Dengan penguatan ini pun Dollar Index masih terkoreksi 0,14% selama sepekan terakhir sehingga masih punya ruang untuk kembali perkasa. 

Dolar AS yang masih relatif murah membuat mata uang ini menjadi buruan pelaku pasar. Peningkatan permintaan membuat nilai tukar dolar AS menguat. 

Selain itu, investor juga memilih aset aman (safe haven) seperti dolar AS karena ketidakpastian politik di Eropa. Hasil pemilihan parlemen Uni Eropa menempatkan kekuatan nasionalis-populis sebagai poros baru yang menentukan. 

European Conservatives and Reformist Group (ECR), Europe Freedom and Direct Democracy Group (EFDD), serta Europe of Nations and Freedom (ENF) masing-masing memperoleh suara 8,39%, 7,19%, dan 7,72%. Mereka adalah kekuatan sayap kanan yang kini mulai mencengkeram dunia perpolitikan Dunia Biru. 

Akibatnya, ke depan isu-isu khas nasionalis-populis seperti anti-imigran, subsidi, bantuan sosial, dan sebagainya akan menjadi perdebatan sengit di Brussel. Akan sulit untuk mencapai konsensus, sehingga berpotensi menghambat kebijakan Uni Eropa. 

Situasi politik Eropa yang ke depan berpotensi penuh guncangan membuat investor memilih bermain aman. Wajar jika dolar AS kembali menjadi primadona di pasar. 

Lalu, data ekonomi teranyar di Negeri Adidaya juga mendukung penguatan dolar AS. Pada Mei, Indeks Keyakinan Konsumen di AS versi Conference Board tercatat 134,1. Naik 4,9 poin dibandingkan posisi bulan sebelumnya dan mencapai posisi tertinggi sejak November 2018. 

Artinya, konsumen AS masih optimistis menatap masa depan. Konsumen masih berencana untuk meningkatkan belanja, yang bakal menjadi fondasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). 

Konsumsi rumah tangga menyumbang hampir 70% dalam pembentukan PDB di Negeri Adidaya. Oleh karena itu, AS masih punya harapan ekonomi bakal tumbuh kencang seiring kuatnya konsumsi rumah tangga. 

Ini membuat dolar AS punya harapan. Bisa saja The Federal Reserve/The Fed tidak jadi menurunkan suku bunga acuan tahun ini, seperti yang diprediksi pelaku pasar.  


Suku bunga acuan bertahan di kisaran 2,25-2,5% sudah menjadi berkah buat dolar AS. Tidak bisa lagi mengharapkan Jerome 'Jay' Powell dan kolega untuk menaikkan Federal Funds Rate seperti tahun lalu yang mencapai empat kali. 

Jadi berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (terutama di aset berpendapatan tetap seperti obligasi) akan tetap menguntungkan. Ini juga yang membuat dolar AS kebanjiran permintaan. 

Ketiadaan sentimen domestik yang mendukung membuat rupiah bergantung kepada Bank Indonesia (BI). Intervensi bank sentral di pasar valas dan obligasi pemerintah diharapkan dapat meredam pelemahan rupiah. Syukur-syukur bisa kembali mengangkat rupiah ke zona hijau. 



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular