3 Hari Terakhir Tancap Gas, Hari Ini IHSG Loyo

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 May 2019 12:38
Sudah Tancap Gas Dalam 3 Hari Terakhir
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Nampaknya, IHSG sudah kehabisan bensin pasca membukukan penguatan dalam 3 hari perdagangan terakhir (23, 24, dan 27 Mei). Dalam periode 3 hari tersebut, penguatan IHSG mencapai 2,68%.

Penguatan yang sudah sangat signifikan tersebut tentu memantik hasrat dari investor untuk mengamankan keuntungan yang sudah diraup.

Selain itu, rendahnya volume transaksi patut dicurigai ikut menjadi faktor yang membuat IHSG harus pasrah ditransaksikan di zona merah pada hari ini. Pada perdagangan kemarin, berdasarkan publikasi dari Bursa Efek Indonesia (BEI), volume transaksi di pasar saham hanyalah sebanyak 12,2 juta unit, di bawah rata-rata volume transaksi harian pada tahun ini yang sebanyak 14,2 juta unit.

Perdagangan pada pekan ini memang merupakan yang terakhir sebelum libur panjang pada pekan depan guna memperingati hari raya Idul Fitri. Dalam kondisi seperti ini, perdagangan memang cenderung berlangsung sepi dan membuat IHSG sulit memanfaatkan momentum yang ada.

Terakhir, keperkasaan dolar AS menjadi faktor yang membuat investor menjauhi bursa saham tanah air. Memang, hingga siang hari rupiah ditransaksikan flat saja di level Rp 14.375/dolar AS. Rupiah bahkan sempat menguat ke level Rp 14.360/dolar AS.

Namun, indeks dolar AS tercatat menguat 0,2% hingga siang hari ini. Kedepannya, jika melihat dolar AS yang sedang begitu perkasa, tentu ada potensi rupiah akan ikut terseret ke zona depresiasi.

Apalagi, awan gelap bernama defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) masih menyelimuti rupiah. CAD periode kuartal-I 2019 belum lama ini diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Pada kuartal-II 2019, nampaknya CAD masih akan dalam. Pasalnya, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019. Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada April 2019 merupakan yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.

Kalau neraca dagang (yang merupakan komponen dari transaksi berjalan) saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu CAD akan sulit diredam. Ada kemungkinan, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam dibandingkan CAD untuk keseluruhan tahun 2018 yang sebesar 2,98% dari PDB.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular