3 Hari Terakhir Tancap Gas, Hari Ini IHSG Loyo

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 May 2019 12:38
3 Hari Terakhir Tancap Gas, Hari Ini IHSG Loyo
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini dengan penguatan sebesar 0,05%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemudian melaju hingga titik tertingginya di level 6.118,91 (+0,33% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin, 27/5/2019). Namun selepas itu, IHSG kehilangan pijakan dan berangsur-angsur bergerak turun. Per akhir sesi 1, IHSG melemah 0,35% ke level 6.077,35.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-3,74%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-1,05%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-1,29%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-0,91%), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-1,02%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan yang sedang ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,44%, indeks Shanghai naik 0,89%, indeks Hang Seng naik 0,49%, dan indeks Kospi naik 0,18%.

Kemesraan AS-Jepang di bidang perdagangan kembali menjadi faktor yang memantik aksi beli di bursa regional. Selama 4 hari, Presiden AS Donald Trump berkunjung ke Jepang untuk bertemu dengan Perdana Menteri Shinzo Abe. Berbicara dalam konferensi pers bersama Abe, Trump mengatakan bahwa dirinya berharap bisa mengumumkan kesepakatan dagang dengan Jepang dalam waktu yang sangat dekat.

Trump mengungkapkan bahwa defisit dagang yang dialami oleh AS dengan Jepang adalah sangat besar, namun dirinya berharap bahwa permasalahan tersebut bisa segera diatasi.

"Mereka (Jepang) adalah pebisnis yang luar biasa, negosiator yang luar biasa dan telah menempatkan kita (AS) di dalam sebuah posisi yang sulit, namun saya rasa kami akan mencapai kesepakatan dengan Jepang," kata Trump pada hari Senin (27/5/2019), dilansir dari CNBC International.

Sementara itu, Abe mengatakan bahwa dirinya dan Trump telah setuju untuk mempercepat dialog dagang kedua negara.

Sebelumnya, Trump sempat mengancam bahwa dirinya akan mengenakan bea masuk yang tinggi bagi mobil impor asal Jepang. Kini, pelaku pasar optimistis bahwa ancaman tersebut tak akan dieksekusi.

Sekedar mengingatkan, Jepang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar ketiga di dunia setelah AS dan China. Jika perang dagang AS-Jepang bisa dihindari, tentu perekonomian dunia bisa dipacu untuk melaju di level yang relatif tinggi.

Selain itu, kekhawatiran terkait eskalasi perang dagang AS-China yang sempat membuat mayoritas bursa saham utama kawasan kawasan Asia dibuka melemah hari ini nampak sudah mereda. Kemarin, Trump mengatakan bahwa pihaknya saat ini tidak siap untuk meneken kesepakatan dagang dengan China.

"Saya rasa mereka mungkin berharap bahwa mereka meneken kesepakatan dagang yang sudah ada di atas meja sebelum mereka mencoba untuk menegosiasikan ulang," kata Trump, dilansir dari Bloomberg.

"Mereka ingin meneken kesepakatan dagang. Saat ini, kami tidak siap untuk melakukannya." ungkap Trump.

Bahkan, Trump mengungkapkan bahwa bea masuk yang dikenakan oleh AS terhadap produk impor asal China dapat dinaikkan dengan sangat signifikan dan mudah.

Namun, di sisi lain Trump juga mengungkapkan optimisme-nya bahwa perang dagang pada akhirnya akan bisa diakhiri.

"Saya rasa di masa depan China dan AS pasti akan meneken kesepakatan dagang yang baik, dan kami menantikan hal tersebut," kata Trump, dilansir dari Bloomberg.

"Karena saya tak percaya bahwa China dapat terus membayar ratusan miliar dolar dalam bentuk bea masuk. Saya tak percaya mereka dapat melakukannya," lanjutnya menambahkan.
Nampaknya, IHSG sudah kehabisan bensin pasca membukukan penguatan dalam 3 hari perdagangan terakhir (23, 24, dan 27 Mei). Dalam periode 3 hari tersebut, penguatan IHSG mencapai 2,68%.

Penguatan yang sudah sangat signifikan tersebut tentu memantik hasrat dari investor untuk mengamankan keuntungan yang sudah diraup.

Selain itu, rendahnya volume transaksi patut dicurigai ikut menjadi faktor yang membuat IHSG harus pasrah ditransaksikan di zona merah pada hari ini. Pada perdagangan kemarin, berdasarkan publikasi dari Bursa Efek Indonesia (BEI), volume transaksi di pasar saham hanyalah sebanyak 12,2 juta unit, di bawah rata-rata volume transaksi harian pada tahun ini yang sebanyak 14,2 juta unit.

Perdagangan pada pekan ini memang merupakan yang terakhir sebelum libur panjang pada pekan depan guna memperingati hari raya Idul Fitri. Dalam kondisi seperti ini, perdagangan memang cenderung berlangsung sepi dan membuat IHSG sulit memanfaatkan momentum yang ada.

Terakhir, keperkasaan dolar AS menjadi faktor yang membuat investor menjauhi bursa saham tanah air. Memang, hingga siang hari rupiah ditransaksikan flat saja di level Rp 14.375/dolar AS. Rupiah bahkan sempat menguat ke level Rp 14.360/dolar AS.

Namun, indeks dolar AS tercatat menguat 0,2% hingga siang hari ini. Kedepannya, jika melihat dolar AS yang sedang begitu perkasa, tentu ada potensi rupiah akan ikut terseret ke zona depresiasi.

Apalagi, awan gelap bernama defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) masih menyelimuti rupiah. CAD periode kuartal-I 2019 belum lama ini diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Pada kuartal-II 2019, nampaknya CAD masih akan dalam. Pasalnya, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019. Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada April 2019 merupakan yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.

Kalau neraca dagang (yang merupakan komponen dari transaksi berjalan) saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu CAD akan sulit diredam. Ada kemungkinan, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam dibandingkan CAD untuk keseluruhan tahun 2018 yang sebesar 2,98% dari PDB.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular