
Kompak Manis, Rupiah Perkasa di Kurs Tengah BI dan Pasar Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 May 2019 10:33

Tidak cuma di Asia, dolar AS juga masih saja tertekan di level global. Pada pukul 10:13 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,04%.
Dalam sepekan terakhir, Dollar Index melemah 0,36%. Sementara selama sebulan ke belakang, pelemahannya adalah 0,44%.
Dolar AS sedang menjalani fase konsolidasi. Maklum, penguatannya sudah begitu tajam beberapa waktu belakangan. Pekan lalu, Dollar Index sempat berada di level 98, terkuat sejak pekan keempat April.
Reli dolar AS tentu mengundang investor untuk melakukan profit taking. Pelaku pasar yang sudah mendapat cuan lumayan banyak tergoda untuk mencairkannya. Dolar AS pun terkena tekanan jual.
Selain itu, investor juga mencemaskan prospek perekonomian AS yang tidak terlampau cerah. Berlanjutnya perang dagang dengan China diprediksi memukul perekonomian AS sendiri.
Harga produk impor (termasuk bahan baku dan barang modal) asal China menjadi semakin mahal gara-gara bea masuk, sehingga menurunkan aktivitas investasi. AS pun akan kesulitan menjual produk ke China, khususnya produk pertanian, karena kenaikan bea masuk.
Dunia usaha pun mulai melihat prospek perekonomian ke depan agak gloomy. Perkiraan angka Purchasing Manager's Index (PMI) edisi Mei versi IHS Markit ada di 50,6%. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,6 dan menjadi yang terendah sejak September 2009.
Tidak hanya dunia usaha, rumah tangga juga sepertinya menahan diri. Terlihat dari penjualan rumah baru yang pada April tercatat 673.000 unit. Turun 6,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
Permasalahan di investasi dan konsumsi membuat prospek pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya menjadi suram. Mengutip proyeksi terbaru tanggal 24 Mei, The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi AS pada kuartal II-2019 hanya tumbuh 1,3% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,2%.
Perlambatan investasi, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi membuat pelaku pasar mulai berani bertaruh The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate bisa ditempuh sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 23,1%. Sementara peluang untuk turun 25 basis poin ke 2-2,25% lebih tinggi yaitu 42%.
Kemungkinan penurunan suku bunga acuan yang semakin tinggi tentu menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, penurunan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, arus modal meninggalkan AS, bertebaran ke segala penjuru, termasuk ke Indonesia.
Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 135,52 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,67% pada pukul 10:20 WIB. Sedangkan di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 3,8 basis poin. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Arus modal di pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN) tersebut menjadi suntikan adrenalin bagi rupiah. Melaju kencang, rupiah masih memimpin di antara para tetangganya di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Dalam sepekan terakhir, Dollar Index melemah 0,36%. Sementara selama sebulan ke belakang, pelemahannya adalah 0,44%.
Dolar AS sedang menjalani fase konsolidasi. Maklum, penguatannya sudah begitu tajam beberapa waktu belakangan. Pekan lalu, Dollar Index sempat berada di level 98, terkuat sejak pekan keempat April.
Reli dolar AS tentu mengundang investor untuk melakukan profit taking. Pelaku pasar yang sudah mendapat cuan lumayan banyak tergoda untuk mencairkannya. Dolar AS pun terkena tekanan jual.
Selain itu, investor juga mencemaskan prospek perekonomian AS yang tidak terlampau cerah. Berlanjutnya perang dagang dengan China diprediksi memukul perekonomian AS sendiri.
Harga produk impor (termasuk bahan baku dan barang modal) asal China menjadi semakin mahal gara-gara bea masuk, sehingga menurunkan aktivitas investasi. AS pun akan kesulitan menjual produk ke China, khususnya produk pertanian, karena kenaikan bea masuk.
Dunia usaha pun mulai melihat prospek perekonomian ke depan agak gloomy. Perkiraan angka Purchasing Manager's Index (PMI) edisi Mei versi IHS Markit ada di 50,6%. Turun lumayan jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 52,6 dan menjadi yang terendah sejak September 2009.
Tidak hanya dunia usaha, rumah tangga juga sepertinya menahan diri. Terlihat dari penjualan rumah baru yang pada April tercatat 673.000 unit. Turun 6,9% dibandingkan bulan sebelumnya.
Permasalahan di investasi dan konsumsi membuat prospek pertumbuhan ekonomi Negeri Adidaya menjadi suram. Mengutip proyeksi terbaru tanggal 24 Mei, The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi AS pada kuartal II-2019 hanya tumbuh 1,3% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,2%.
Perlambatan investasi, konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi membuat pelaku pasar mulai berani bertaruh The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Penurunan Federal Funds Rate bisa ditempuh sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan tetap di 2,25-2,5% pada akhir 2019 hanya 23,1%. Sementara peluang untuk turun 25 basis poin ke 2-2,25% lebih tinggi yaitu 42%.
Kemungkinan penurunan suku bunga acuan yang semakin tinggi tentu menjadi sentimen negatif bagi dolar AS. Sebab, penurunan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS menjadi kurang menarik. Akibatnya, arus modal meninggalkan AS, bertebaran ke segala penjuru, termasuk ke Indonesia.
Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 135,52 miliar yang mengantar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 0,67% pada pukul 10:20 WIB. Sedangkan di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 3,8 basis poin. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Arus modal di pasar saham dan Surat Berharga Negara (SBN) tersebut menjadi suntikan adrenalin bagi rupiah. Melaju kencang, rupiah masih memimpin di antara para tetangganya di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular