
Setelah 9 Hari Melemah, Akhirnya Harga Batu Bara Rebound
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 May 2019 10:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman Mei 2019 di bursa Intercontinental Exchange (ICE) akhirnya menguat 0,18% ke posisi US$ 84/metrik ton pada perdagangan Rabu (22/5/2019). Penguatan ini juga merupakan yang pertama dalam 10 hari perdagangan.
Diduga hal tersebut terjadi karena harga batu bara sudah terkoreksi cukup dalam, sehingga rentan akan rebound teknikal. Pasalnya, pasar batu bara impor (seaborne) global, terutama untuk yang berkalori tinggi terbukti masih lesu.
Di China, permintaan batu bara yang berasal dari Australia masih tetap diperketat, bahkan setelah Scott Morrison memenangkan pemilu.
Sebagai informasi, sudah sejak Januari silam, pemerintah China memperketat pemeriksaan untuk batu bara impor asal Negeri Kanguru. Waktu inspeksi yang sedianya hanya 20 hari, meningkat menjadi 40 hari. Bahkan di beberapa pelabuhan bisa lebih dari 40 hari.
Ini tentu saja akan menghambat arus pasokan batu bara dari Australia, yang notabene merupakan eksportir batu bara terbesar di dunia. Sehingga keseimbangan fundamental di pasar global menjadi timpang. Harga Batu bara sulit naik karenanya.
Selain itu saat ini China juga masih mempertahankan kebijakan kuota impor batu bara, yang membuat permintaan batu bara seaborne dari China kemungkinan besar tidak tumbuh tahun ini.
Sudah sejak tahun 2018, China membatasi volume batu bara impor untuk mendukung industri batu bara lokal.
Alhasil sepanjang 2018, impor batu bara China hanya sebesar 280,8 juta ton naik tipis dari 271,1 juta ton pada 2017. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding impor pada tahun 2013 yang mencapai 327,2 juta ton.
Sementara, produksi batu bara dari provinsi Shaanxi diperkirakan akan meningkat dalam waktu dekat, sebab sebagian besar tambang-tambang sudah kembali beroperasi secara penuh.
Sebelumnya, tambang-tambang tersebut sempat ditutup untuk dilakukan inspeksi keselamatan oleh pemerintah setempat. Penyebabnya adalah kecelakaan yang terjadi pada Januari 2019 silam, yang mana memakan korban hingga 21 orang.
Provinsi Shaanxi merupakan wilayah penghasil batu bara terbesar ketiga di China, sehingga akan bedampak signifikan terhadap ketersediaan pasokan domestik yang mengancam permintaan impor.
China sendiri juga masih menjadi negara konsumen batu bara global. Bahkan separuh dari pembakaran batu bara dunia ada di Negeri Tirai Bambu. Maka dari itu permintaan dari China akan sangat berpengaruh terhadap harga batu bara global.
Selain China, ada pula Jepang yang juga merupakan salah satu importir batu bara terbesar di kawasan Asia.
Namun sayangnya gairah industri dari Jepang tidak terlihat bagus. Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Jepang periode Mei dibacakan hanya sebesar 49,6. Capaian itu lebih rendah dibanding perkiraan konsensus yang sebesar 50,5, serta berada di bawah posisi bulan sebelumnya yakni 50,2.
Angka PMI di bawah 50 berarti ada kontraksi pada aktivitas manufaktur Jepang dibanding bulan sebelumnya. Berlaku pula sebaliknya.
Ini menandakan bahwa permintaan energi, yang biasanya sejalan dengan gairah manufaktur, dari Jepang masih akan lesu. Pasokan batu bara pun terancam menggunung tahun ini dan membuat harga terus berada dalam tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Diduga hal tersebut terjadi karena harga batu bara sudah terkoreksi cukup dalam, sehingga rentan akan rebound teknikal. Pasalnya, pasar batu bara impor (seaborne) global, terutama untuk yang berkalori tinggi terbukti masih lesu.
Sebagai informasi, sudah sejak Januari silam, pemerintah China memperketat pemeriksaan untuk batu bara impor asal Negeri Kanguru. Waktu inspeksi yang sedianya hanya 20 hari, meningkat menjadi 40 hari. Bahkan di beberapa pelabuhan bisa lebih dari 40 hari.
Ini tentu saja akan menghambat arus pasokan batu bara dari Australia, yang notabene merupakan eksportir batu bara terbesar di dunia. Sehingga keseimbangan fundamental di pasar global menjadi timpang. Harga Batu bara sulit naik karenanya.
Selain itu saat ini China juga masih mempertahankan kebijakan kuota impor batu bara, yang membuat permintaan batu bara seaborne dari China kemungkinan besar tidak tumbuh tahun ini.
Sudah sejak tahun 2018, China membatasi volume batu bara impor untuk mendukung industri batu bara lokal.
Alhasil sepanjang 2018, impor batu bara China hanya sebesar 280,8 juta ton naik tipis dari 271,1 juta ton pada 2017. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding impor pada tahun 2013 yang mencapai 327,2 juta ton.
Sementara, produksi batu bara dari provinsi Shaanxi diperkirakan akan meningkat dalam waktu dekat, sebab sebagian besar tambang-tambang sudah kembali beroperasi secara penuh.
Sebelumnya, tambang-tambang tersebut sempat ditutup untuk dilakukan inspeksi keselamatan oleh pemerintah setempat. Penyebabnya adalah kecelakaan yang terjadi pada Januari 2019 silam, yang mana memakan korban hingga 21 orang.
Provinsi Shaanxi merupakan wilayah penghasil batu bara terbesar ketiga di China, sehingga akan bedampak signifikan terhadap ketersediaan pasokan domestik yang mengancam permintaan impor.
China sendiri juga masih menjadi negara konsumen batu bara global. Bahkan separuh dari pembakaran batu bara dunia ada di Negeri Tirai Bambu. Maka dari itu permintaan dari China akan sangat berpengaruh terhadap harga batu bara global.
Selain China, ada pula Jepang yang juga merupakan salah satu importir batu bara terbesar di kawasan Asia.
Namun sayangnya gairah industri dari Jepang tidak terlihat bagus. Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Jepang periode Mei dibacakan hanya sebesar 49,6. Capaian itu lebih rendah dibanding perkiraan konsensus yang sebesar 50,5, serta berada di bawah posisi bulan sebelumnya yakni 50,2.
Angka PMI di bawah 50 berarti ada kontraksi pada aktivitas manufaktur Jepang dibanding bulan sebelumnya. Berlaku pula sebaliknya.
Ini menandakan bahwa permintaan energi, yang biasanya sejalan dengan gairah manufaktur, dari Jepang masih akan lesu. Pasokan batu bara pun terancam menggunung tahun ini dan membuat harga terus berada dalam tekanan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Most Popular