
'Dihiasi' Demo, Rupiah Bakal Melemah 3 Hari Beruntun?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 May 2019 12:38

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih terus melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Setelah start yang lumayan, rupiah kedodoran dan dolar AS menembus level Rp 14.500.
Pada Rabu (22/5/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.510. Rupiah melemah 0,24% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa menguat tipis 0,07%. Namun tidak lama kemudian, rupiah goyah dan kembali ke teritori depresiasi. Bahkan depresiasi rupiah semakin dalam sehingga dolar AS mampu melesat menembus Rp 14.500. Rupiah pun menyentuh posisi terlemah sejak 28 Desember 2018.
Rupiah sudah melemah dalam dua hari perdagangan terakhir. Jika hari ini ditutup melemah lagi, maka rupiah akan terdepresiasi selama tiga hari berturut-turut.
Sejatinya pelemahan rupiah bisa dimaklumi, sebab dolar AS memang sedang perkasa. Hanya yen Jepang yang bisa menguat, sisanya tidak selamat.
Won Korea Selatan menjadi mata uang terlemah di Asia. Disusul oleh dolar Taiwan di posisi runner-up dari bawah dan rupiah tepat di atasnya. Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang Asia pada pukul 12:07 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS mendapat angin karena investor menunggu rilis notulensi rapat (minutes of meeting) komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Mei. Pada bulan ini, Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang menahan suku bunga acuan di kisaran 2,25-2,5%.
Namun dalam rapat tersebut investor ingin mencari petunjuk lebih jauh mengenai arah kebijakan moneter AS. Dalam rapat tersebut, The Fed menyatakan masih sabar untuk mengubah target suku bunga acuan sembari menunggu data-data terbaru baik itu inflasi, pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, sampai dinamika global.
Baca:
Satu Kata dari Bos The Fed Ini Bikin Wall Street Rontok
Oleh karena itu, peluang penurunan suku bunga acuan belum terlihat. Bagi dolar AS, suku bunga tidak turun saja sudah bagus. Tidak bisa disamakan seperti tahun lalu, di mana Federal Funds Rate naik sampai empat kali.
Investor ingin mencari tahu, memastikan seperti apa 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Sambil menunggu, pelaku pasar sepertinya memilih untuk mengoleksi dolar AS.
Selain itu, rilis data ekonomi yang mengecewakan juga membuat investor menghindari Asia. Ekspor Jepang pada April 2019 turun 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kontraksi ekspor Negeri Matahari Terbit terjadi selama lima bulan beruntun.
Apa yang terjadi di Jepang menggambarkan kelesuan ekonomi di Asia adalah sebuah fakta, bukan mitos belaka. Aktivitas ekonomi yang melambat tentu bukan kabar baik, dan membuat pelaku pasar menyingkir untuk sementara waktu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, ada sentimen negatif berupa kondisi keamanan yang agak mencekam usai pengumuman hasil Pemilu 2019. Kemarin, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin unggul dari pesaingnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Aksi massa pun terjadi sejak kemarin untuk menolak hasil Pemilu, yang masih berlangsung sampai sekarang. Terjadi beberapa kali gesekan antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan ada enam orang korban jiwa dan ratusan orang luka-luka.
Sejumlah kantor swasta dan pemerintahan di ibukota pun tidak beroperasi. Pasar Tanah Abang, pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara, juga terpaksa tutup karena menjadi salah satu titik keributan. Stasiun Tanah Abang juga masih ditutup karena dikuasai massa, membuat arus transportasi terhambat.
Situasi ini tentu membuat investor tidak nyaman, terutama asing. Di pasar saham, investor asing mencatat jual bersih Rp 22,92 miliar di pasar reguler yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,32%. IHSG menjadi indeks terlemah di Asia.
Minimnya pasokan arus modal membuat rupiah kekurangan 'darah'. Akibatnya rupiah seakan tidak punya pilihan selain melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Rabu (22/5/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.510. Rupiah melemah 0,24% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa menguat tipis 0,07%. Namun tidak lama kemudian, rupiah goyah dan kembali ke teritori depresiasi. Bahkan depresiasi rupiah semakin dalam sehingga dolar AS mampu melesat menembus Rp 14.500. Rupiah pun menyentuh posisi terlemah sejak 28 Desember 2018.
Sejatinya pelemahan rupiah bisa dimaklumi, sebab dolar AS memang sedang perkasa. Hanya yen Jepang yang bisa menguat, sisanya tidak selamat.
Won Korea Selatan menjadi mata uang terlemah di Asia. Disusul oleh dolar Taiwan di posisi runner-up dari bawah dan rupiah tepat di atasnya. Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang Asia pada pukul 12:07 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dolar AS mendapat angin karena investor menunggu rilis notulensi rapat (minutes of meeting) komite pengambil kebijakan The Federal Reserve/The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) edisi Mei. Pada bulan ini, Jerome 'Jay' Powell dan kolega memang menahan suku bunga acuan di kisaran 2,25-2,5%.
Namun dalam rapat tersebut investor ingin mencari petunjuk lebih jauh mengenai arah kebijakan moneter AS. Dalam rapat tersebut, The Fed menyatakan masih sabar untuk mengubah target suku bunga acuan sembari menunggu data-data terbaru baik itu inflasi, pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja, sampai dinamika global.
Baca:
Satu Kata dari Bos The Fed Ini Bikin Wall Street Rontok
Oleh karena itu, peluang penurunan suku bunga acuan belum terlihat. Bagi dolar AS, suku bunga tidak turun saja sudah bagus. Tidak bisa disamakan seperti tahun lalu, di mana Federal Funds Rate naik sampai empat kali.
Investor ingin mencari tahu, memastikan seperti apa 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Sambil menunggu, pelaku pasar sepertinya memilih untuk mengoleksi dolar AS.
Selain itu, rilis data ekonomi yang mengecewakan juga membuat investor menghindari Asia. Ekspor Jepang pada April 2019 turun 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kontraksi ekspor Negeri Matahari Terbit terjadi selama lima bulan beruntun.
Apa yang terjadi di Jepang menggambarkan kelesuan ekonomi di Asia adalah sebuah fakta, bukan mitos belaka. Aktivitas ekonomi yang melambat tentu bukan kabar baik, dan membuat pelaku pasar menyingkir untuk sementara waktu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sementara dari dalam negeri, ada sentimen negatif berupa kondisi keamanan yang agak mencekam usai pengumuman hasil Pemilu 2019. Kemarin, Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin unggul dari pesaingnya, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Aksi massa pun terjadi sejak kemarin untuk menolak hasil Pemilu, yang masih berlangsung sampai sekarang. Terjadi beberapa kali gesekan antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan ada enam orang korban jiwa dan ratusan orang luka-luka.
Sejumlah kantor swasta dan pemerintahan di ibukota pun tidak beroperasi. Pasar Tanah Abang, pusat tekstil terbesar di Asia Tenggara, juga terpaksa tutup karena menjadi salah satu titik keributan. Stasiun Tanah Abang juga masih ditutup karena dikuasai massa, membuat arus transportasi terhambat.
Situasi ini tentu membuat investor tidak nyaman, terutama asing. Di pasar saham, investor asing mencatat jual bersih Rp 22,92 miliar di pasar reguler yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,32%. IHSG menjadi indeks terlemah di Asia.
Minimnya pasokan arus modal membuat rupiah kekurangan 'darah'. Akibatnya rupiah seakan tidak punya pilihan selain melemah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular