Duh! Sudah 8 Hari Harga Batu Bara Ditutup Melemah

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
21 May 2019 10:42
Harga batu bara acuan Newcastle kontrak pengiriman Mei ditutup melemah 0,31% ke posisi US$ 83,84 pada perdagangan hari Senin (20/5/2019) kemarin.
Foto: Batu Bara (alfacentra.com)
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara acuan Newcastle kontrak pengiriman Mei di bursa Intercontinental Exchange (ICE) ditutup melemah 0,31% ke posisi US$ 83,84 pada perdagangan hari Senin (20/5/2019) kemarin.

Artinya sudah delapan hari beruntun harga batu bara selalu ditutup melemah.

Pasokan yang kembali meningkat,seiring permintaan yang lesu di China membuat harga batu bara masih berada dalam tekanan yang cukup kuat.



Saat ini sebagian besar tambang batu bara di provinsi Shaanxi, China sudah mulai kembali beroperasi penuh.

Artinya produksi batu bara domestik akan meningkat dalam waktu dekat. Karena sebelumnya tambang-tambang tersebut sempat berhenti beroperasi akibat adanya inspeksi keselamatan oleh otoritas setempat.

Inspeksi keselamatan dilakukan setelah terjadi kecelakaan maut yang menewaskan 21 orang di salah satu tambang Shaanxi bulan Januari 2019 silam.

Sialnya, peningkatan produksi domestik diiringi oleh aktivitas ekonomi yang masih lesu.

Pekan lalu, angka pertumbuhan penjualan mobil China periode April terkontraksi sebesar 14,6% year on year (YoY). Jauh lebih dalam dibanding bulan Maret yang juga terkontraksi 5,2% YoY.

Angka penjualan mobil merupakan salah satu indikator penting yang bisa mencerminkan kondisi ekonomi, terutama di sektor industri.

Pasalnya industri mobil terkait dengan rantai pasokan yang sangat kompleks. Bila penjualan mobil lesu, maka aktivitas industri-industri di sekelilingnya (yang sangat banyak) juga terpengaruh.

Alhasil permintaan energi sulit untuk tumbuh, atau bahkan berkurang.

Saat ini sumber energi di China sebagian besar masih dibangkitkan oleh batu bara. Tahun lalu porsi batu bara mencapai 59% terharap total energi listrik yang dihasilkan.

Terlebih saat ini perang dagang China dengan Amerika Serikat (AS) semakin memanas.

Kedua negara telah sama-sama menaikkan tarif impor pekan lalu. AS memberlakukan tarif sebesar 25% (dari yang semula 10%) pada produk China senilai US$ 200 miliar. Sementara tarif tambahan China bervariasi antara 5%-25% untuk produk AS senilai US$ 60 miliar.

Ketegangan diperparah langkah AS yang memasukkan perusahaan teknologi asal China, Huawei ke dalam daftar hitam. Akibatnya, perusahaan AS dilarang untuk bertransaksi dengan Huawei tanpa adanya izin dari pemerintah.

China pun meradang. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang mengatakan bahwa tindakan tersebut dapat memperburuk proses negosiasi yang masih berlangsung.

Bahkan rencana keberangkatan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin ke Beijing dalam waktu dekat hilang dari peredaran.

Dengan begini, potensi eskalasi perang dagang kembali mencuat. Presiden AS, Donald Trump sebelumnya sudah berencana akan mengenakan bea masuk pada produk China lain senilai US$ 325 miliar.

Bila benar diberlakukan, maka China pun pasti akan membalas dengan langkah serupa.

Apabila dua raksasa ekonomi dunia saling hambat urusan perdagangan, maka seluruh penjuru negeri juga akan merasakan dampaknya.

Rantai pasokan global akan terganggu dan menyebabkan perlambatan ekonomi. Mirip dengan yang terjadi pada tahun 2018, namun dengan intensitas yang kemungkinan besar lebih parah.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular