Tembus Rp 14.400/US$, Rupiah Terlemah Ketiga di Asia

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
13 May 2019 16:40
Rupiah Mudah Digoyang Faktor Eksternal
Foto: AS - China Mendekati Kesepakatan Damai Dagang (CNBC Indonesia TV)
Bersamaan dengan rapuhnya rupiah, sejumlah faktor eksternal terbukti mampu memberi tekanan yang cukup kuat.
Salah satunya adalah perang dagang AS-China yang semakin memanas.
Dialog dagang  antara Wakil Perdana Menteri China, Liu He dengan delegasi AS  yang berlangsung sepanjang Kamis-Jumat (9-10/5/2019) di Washington nyatanya gagal membuat AS menghapus bea impor yang sudah terlebih dahulu dijatuhkan.
Sebagai informasi, pada hari Jumat (10/5/2019) pukul 00:01 waktu AS, pemerintah Negeri Paman Sam telah secara resmi memberlakukan bea impor baru sebesar 25% terhadap aneka produk China yang senilai US$ 200 miliar.
Artinya, hingga saat ini tarif baru tersebut masih berlaku dan akan terus berlaku hingga waktu yang belum ditentukan.
Menyikapi hal itu, pemerintah China tentu saja akan mengambil langkah serupa. Mengutip Reuters, Liu He mengatakan bahwa negaranya tidak memiliki pilihan selain melakukan hal yang sama (meningkatkan tarif).
Namun hingga berita ini diturunkan, pemerintah China belum mengumumkan secara detail rencana tersebut. Pelaku pasar masih menantikan pengumuman tersebut.
Alhasil banyak investor yang masih wait and see dan enggan masuk ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
Alhasil rupiah seakan kekurangan bensin untuk menahan tekanan mata uang asing, membuat pelemahan rupiah cukup dalam.
Tak hanya itu, minat investor asing untuk masuk ke pasar keuangan Benua Kuning juga semakin surut karena rilis data penjualan mobil China yang kurang memuaskan.
Penjualan mobil China sepanjang bulan April tercatat mengalami kontraksi sebesar 14,6% year-on-year (YoY). Kontraksi tersebut juga merupakan bulan yang kesepuluh secara berturut-turut.
Sebagai informasi, angka penjualan mobil seringkali menjadi indikator penting dalam perekonomian. Sebab industri mobil tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan banyak industri-industri lain di sekitarnya.
Selain itu, juga berhubungan dengan kondisi daya beli masyarakat, yang merupakan komponen terbesar pembentuk PDB China.
Data tersebut menunjukkan bahwa perekonomian China masih lesu, pun daya beli masyarakatnya sulit tumbuh. Artinya perkembangan ekonomi negara Asia ke depannya masih tidak pasti, mengingat China merupakan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Ketidakpastian yang merupakan musuh terbesar investor sekali lagi membuat pelaku pasar makin tak ingin masuk ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. 
Alih-alih masuk, mereka malah berbondong-bondong menarik investasinya. Kemungkinan besar untuk diubah ke bentuk safe haven.
Terbukti hingga penutupan pasar, investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 699,87 miliar. Padahal, sepanjang pekan lalu, investor asing juga sudah melakukan jual bersih sebesar Rp 3,04 triliun.
Tapi hak hanya rupiah, pelemahan sebagian mata uang benua kuning pun semakin dalam seiring malam menjelang.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(taa/taa)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular