Investor Asing Balik Jualan, IHSG Terjebak di Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 May 2019 12:40
Investor Asing Balik Jualan, IHSG Terjebak di Zona Merah
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan pekan ini dengan meyakinkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru terjebak di zona merah pada penutupan sesi I di Bursa Efek Indonesia.

Pada pembukaan perdagangan, Senin (13/5/2019), IHSG menguat 0,26% ke level 6.225,4. IHSG kemudian naik ke titik tertinggi di level 6.238,26 (+0,47% dibandingkan penutupan perdagangan hari Jumat, 10/5/2019).

Per akhir sesi 1, IHSG justru melemah 0,24% ke level 6.194,37.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong pelemahan IHSG di antaranya PT Astra International Tbk/ASII (-1,74%), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (-4,48%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-0,87%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-1,61%), dan PT Bank Danamon Tbk/BDMN (-2,36%).

Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan melemah: indeks Nikkei jatuh 0,66%, indeks Shanghai melemah 0,99%, indeks Straits Times ambruk 1,17%, dan indeks Kospi terpangkas 1,08%.

Sementara itu, perdagangan di bursa saham Hong Kong diliburkan seiring dengan peringatan hari kelahiran Buddha.


Negosiasi dagang AS-China yang tak berbuah manis membuat saham-saham di Benua Kuning dilego investor. Sebagai informasi, pada hari Kamis dan Jumat pekan lalu (9-10 Mei) delegasi China menyambangi delegasi AS di Washington untuk mencoba mengakhiri perang dagang yang sudah berlangsung nyaris 1 tahun.

Investor Asing Balik Jualan, IHSG Terjebak di Zona MerahFoto: CNBC Indonesia TV

Dalam negosiasi kali ini, delegasi AS dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China dikomandoi oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.

Kedua negara kemudian mengakhiri negosiasi selama 2 hari tersebut tanpa menandatangani kesepakatan dagang. Liu He menyebut bahwa ada 3 perbedaan mendasar yang membuat kesepakatan dagang belum bisa diteken.

Seperti dilansir dari Reuters, salah satu perbedaan yang dimaksud adalah terkait dengan pengenaan bea masuk. China berpendapat bahwa jika kedua belah pihak ingin meneken kesepakatan, maka seluruh bea masuk harus dihapuskan.

Perbedaan kedua adalah terkait dengan volume pembelian barang-barang AS oleh China, sementara yang ketiga adalah terkait dengan bahasa yang akan digunakan dalam teks kesepakatan dagang kedua negara.

"Setiap negara memiliki martabatnya sendiri, jadi teksnya harus berimbang," papar Liu He, dilansir dari Reuters.

Bukannya mendingin, perang dagang kedua negara bahkan menjadi memanas. Di tengah-tengah negosiasi yang digelar, AS secara resmi menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25%.


Lebih lanjut, Trump diketahui sudah memerintahkan Lighthizer untuk memulai proses guna mengenakan bea masuk senilai 25% bagi produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang.

Pihak Beijing pun tak tinggal diam. Dalam sebuah rekaman video, Liu He mengatakan kepada beberapa reporter asal China bahwa pihaknya secara tegas menolak kenaikan bea masuk yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan kemarin dan pihaknya tak punya pilihan lain selain membalas, dilansir dari Reuters.

Kala 2 negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia terus-menerus saling menaikkan bea masuk, arus perdagangan di seluruh dunia akan ikut terganggu, yang pada akhirnya akan menekan laju perekonomian dunia.

LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>

Pada pagi hari, koreksi IHSG yang sudah cukup dalam membuka ruang bagi investor untuk melakukan aksi beli di bursa saham Tanah Air.

Apalagi, IHSG sedang berada di kisaran level terendahnya sepanjang tahun 2019. Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 1,75%.

Investor asing berperan besar dalam mendorong IHSG menghijau pada pagi hari. Kala itu, investor asing membukukan beli bersih sekitar Rp 7 miliar di pasar saham Indonesia.

Namun per akhir sesi 1, nilainya sudah berubah menjadi jual bersih senilai Rp 212,8 miliar. Saham-saham yang banyak dilego investor asing di antaranya PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 38,2 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 35,5 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 25,5 miliar), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (Rp 24 miliar), dan PT Metropolitan kentjana Tbk/MKPI (Rp 18 miliar).


Pelemahan rupiah yang terus bertambah dalam membuat investor asing tak memiliki pilihan lain selain melakukan aksi jual. Dibuka melemah 0,07% di pasar spot ke level Rp 14.330/dolar AS, pelemahan rupiah sudah mencapai 0,45% pada siang hari ini ke level Rp 14.385/dolar AS.

Kala rupiah melemah dengan signifikan, investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerugian kurs sehingga wajar jika aksi jual dilakukan di pasar saham tanah air.

Rupiah tak melemah sendirian pada hari ini. Mayoritas mata uang negara-negara Asia juga sedang melemah di hadapan dolar AS.  Greenback selaku safe haven menjadi incaran investor di tengah kabar buruk yang datang dari negosiasi dagang AS-China.

Lebih lanjut, tekanan bagi rupiah datang dari dalam negeri yakni rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pada hari Jumat, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa NPI membukukan surplus senilai US$ 2,4 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini.

Namun, transaksi berjalan (yang merupakan bagian dari NPI) membukukan defisit senilai US$ 7 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini atau setara dengan 2,6% dari PDB.


Memang lebih baik dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, namun melebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika defisit di awal tahun saja sudah lebih lebar, maka ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan melebar. Praktis, rupiah menjadi kehilangan pijakan untuk menguat.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa).

Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Asing Kabur, IHSG Memerah Meski Bursa Regional Hijau

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular