AS vs China & AS vs Korut Bikin IHSG Ambruk 1,14%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
09 May 2019 16:43
AS vs China & AS vs Korut Bikin IHSG Ambruk 1,14%
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka melemah 0,45%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) memperlebar kekalahannya hingga menjadi 1,14% per akhir perdagangan ke level 6.198,8. IHSG ditutup di level terendahnya sejak awal Januari silam.

Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,93%, indeks Shanghai turun 1,48%, indeks Hang Seng turun 2,39%, indeks Straits Times turun 0,51%, dan indeks Kospi turun 3,04%.

Pelaku pasar grogi menantikan negosiasi dagang AS-China yang akan digelar di Washington pada hari ini dan besok waktu setempat. Pasalnya, menjelang dimulainya negosiasi dagang tersebut, awan gelap malah menyelimuti hubungan kedua negara.

Kemarin (8/5/2019), Kantor Perwakilan Dagang AS secara resmi mengumumkan bahwa bea masuk terhadap produk China senilai US$ 200 miliar akan naik menjadi 25% dari 10% pada hari Jumat dini hari nanti. Kenaikan bea masuk itu menyasar berbagai macam produk impor dari China seperti modem komputer dan router, penyedot debu, meubel, lampu, hingga bahan bangunan.

Kenaikan bea masuk tersebut lantas akan terjadi di tengah-tengah pertemuan antara Wakil Perdana Menteri China Liu He dengan para pejabat AS.

Tak tinggal diam, Beijing mengancam akan membalas langkah AS tersebut.

"Pihak China sangat menyesal bahwa jika kebijakan bea impor AS dilaksanakan, China terpaksa harus mengambil langkah-langkah balasan yang diperlukan," kata Kementerian Perdagangan China di situs webnya tanpa menjelaskan lebih lanjut, dilansir dari Reuters.

Reuters sebelumnya melaporkan bahwa menurut beberapa sumber di pemerintahan AS dan sektor swasta, China telah mundur dari hampir seluruh aspek dalam rancangan perjanjian dagang dengan AS.

Mengutip Reuters, China disebutkan tidak lagi berkomitmen untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual, pemaksaan transfer teknologi, kebijakan persaingan bebas, akses terhadap sektor keuangan, dan manipulasi kurs. Hal inilah yang membuat pemerintahan AS meradang dan sampai memutuskan untuk menaikkan bea masuk.

Teranyar, dalam pidato politiknya di Florida Rabu malam waktu setempat, Presiden AS Donald Trump kembali menyerang China.

"Mereka mundur dari kesepakatan!", kata Trump dalam pidatonya.

Dengan tensi antar kedua negara yang kini memanas, ada kemungkinan yang besar bahwa kesepakatan dagang tak akan bisa dicapai pada negosiasi pekan ini. Tak hanya hubungan AS-China, hubungan AS-Korea Utara juga membuat pelaku pasar memasang mode defensif dan melepas instrumen berisiko seperti saham. Bukan terkait urusan perdagangan, tetapi terkait dengan uji coba senjata yang terus dilakukan oleh rezim pemerintahan Kim Jong Un tersebut.

Dilansir dari CNBC International, pejabat militer Korea Selatan telah mengonfirmasi bahwa Korea Utara menembakkan sebuah proyektil yang tak dapat diidentifikasi pada hari ini pukul 16:30 waktu setempat.

“Kami mengonfirmasi bahwa Korea Utara telah menembakkan sebuah proyektil yang tak dapat diidentifikasi ke arah timur dari area Sinori yang terletak di bagian utara Provinsi Pyongan pada sekitar pukul 03:30 ET/16:30 waktu setempat,” kata pejabat militer Korea Selatan tersebut kepada NBC News pada hari Kamis.

Uji coba pada hari ini menandai yang ketiga setelah negosiasi antara Presiden AS Donald Trump dengan Kim Jong Un terkait denuklirisasi pada Februari silam berakhir tanpa kesepakatan.

Pada hari Sabtu (4/5/2019), Korea Utara diketahui meluncurkan beberapa roket dan setidaknya satu misil jarak pendek.

Sejauh ini, AS memang masih kalem dalam menanggapi langkah yang diambil Korea Utara. Terkait dengan uji coba pada hari Sabtu, Gedung Putih hanya menyatakan bahwa pihaknya menyadari tindakan Korea Utara dan akan terus memantau seperlunya.

Namun, dengan uji coba yang terus digeber oleh Korea Utara, AS pada akhirnya bisa dibuat panas. Mengantisipasi hal tersebut, aksi jual dilakukan terlebih dahulu oleh pelaku pasar saham Asia. Secara sektoral, sektor jasa keuangan yang terkoreksi 0,93% menjadi sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG. Lantas, 2 hari sudah sektor jasa keuangan membuat IHSG melemah. Pada perdagangan kemarin, sektor jasa keuangan jatuh 0,57% dan menjadi sektor dengan kontribusi terbesar bagi IHSG yang melemah 0,43%.

Sama seperti kemarin, sektor jasa keuangan terkoreksi seiring dengan aksi jual yang menerpa saham-saham bank BUKU 4. Pada hari ini, harga saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) ditutup turun 2,37%, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 2%, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 1,23%, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 0,33%.

Saham-saham bank besar di tanah air kembali menjadi sasaran jual investor lantaran kinerja rupiah yang begitu memprihatinkan. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,38% di pasar spot ke level Rp 14.345/dolar AS.

Sejak perdagangan pertama selepas pilpres hingga hari ini, rupiah sudah melemah 1,88% di pasar spot melawan dolar AS. Dalam 14 hari perdagangan selepas pilpres, rupiah hanya bisa menguat sebanyak 2 kali, sementara sisanya melemah atau stagnan.

Perang dagang AS-China yang kian panas dan potensi ribut-ribut AS-Korea Utara membuat dolar AS selaku safe haven menjadi buruan investor pada hari ini. Selain itu, kinerja rupiah juga masih dibebani oleh rilis data cadangan devisa.

Kemarin, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa cadangan devisa per bulan April berada di angka US$ 124,3 miliar, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 124,5 miliar. Tekanan terhadap cadangan devisa berarti BI memiliki amunisi yang lebih sedikit dalam menetralisir pelemahan rupiah.

Kala rupiah terus saja gagal menguat bahkan cenderung melemah, tentu ada kekhawatiran bahwa rasio kredit bermasalah/Non-Performing Loan (NPL) dari bank-bank besar akan terkerek naik dan menekan profitabilitas mereka.

Lebih lanjut, kinerja keuangan periode kuartal-I 2019 yang mengecewakan juga masih membuat investor enggan memegang saham-saham bank BUKU 4. Dari sisi laba bersih, ada 2 yang mampu melampaui ekspektasi analis, sementara 2 lainnya tak mampu memenuhi ekspektasi.

Laba bersih BMRI pada 3 bulan pertama tahun ini tercatat senilai Rp 7,23 triliun, di atas konsensus yang dihimpun Refinitiv senilai Rp 6,82 triliun. Kemudian, laba bersih BBNI tercatat senilai Rp 4,08 triliun, mengalahkan konsensus yang senilai Rp 4,06 triliun.

Sementara itu, laba bersih BBRI pada kuartal-I 2019 tercatat senilai Rp 8,2 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 8,61 triliun. Untuk BBCA, laba bersih perusahaan tercatat senilai Rp 6,06 triliun, juga di bawah konsensus yang senilai Rp 6,18 triliun.

Walaupun laba bersihnya bervariasi (ada yang mampu melampaui ekspektasi dan tidak), 4 bank yang masuk dalam kategori BUKU 4 tersebut memiliki kesamaan: pendapatan bunga bersih/Net Interest Income (NII) berada di bawah ekspektasi analis.

Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, NII BMRI tercatat senilai Rp 14,38 triliun, di bawah ekspektasi yang sebesar Rp 14,5 triliun. NII BBNI adalah senilai Rp 8,86 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 9,63 triliun.

Pada kuartal-I 2019, BBRI mencatatkan NII senilai Rp 19,41 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 20,42 triliun. Sementara untuk BBCA, NII tercatat senilai Rp 11,99 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 12,07 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular