
Hadeeehhh, Dolar AS Tembus Rp 14.300!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 May 2019 08:29

Investor memang tengah bermain aman, karena setidaknya ada dua sentimen negatif yang memayungi pasar keuangan Asia. Pertama, ada risiko hubungan dagang AS-China kembali memanas.
Penyebabnya adalah ancaman Presiden AS Donald Trump. Meski dialog di Washington pekan lalu menelurkan hasil positif, tetapi Trump ternyata tetap akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Tidak hanya itu, Trump pun menegaskan siap untuk menerapkan bea masuk untuk impor produk made in China senilai US$ 325 miliar.
"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!" cuit Trump di Twitter.
Mari berharap bahwa pernyataan Trump ini sekadar gertakan untuk mempercepat proses negosiasi menuju damai dagang. Atau gertakan agar China tidak meminta konsesi yang aneh-aneh. Semoga saja cuma gertakan.
Sebab apabila Trump jadi mengeksekusi kenaikan bea masuk, maka kemungkinan besar China akan membalas dengan kebijakan yang sama. Damai dagang? Apa itu damai dagang? Yang ada malah perang dagang kembali berkecamuk dan mungkin dengan skala yang lebih besar.
Sepertinya sentimen ini berpeluang menjadi 'bintang utama' di pasar keuangan Asia. Ancaman perang dagang AS-China sangat mungkin membuat investor ogah mengambil risiko, memilih cari aman.
Sentimen kedua datang dari Semenanjung Korea. Seperti halnya damai dagang, prospek perdamaian di Semenanjung Korea juga menjadi samar-samar karena Korea Utara dikabarkan tengah menggelar persiapan untuk kembali melakukan uji coba peluru kendali.
KCNA, kantor berita pemerintah Korea Utara, menyatakan uji coba ini adalah untuk melihat kemampuan peluncur roket jarak jauh dan unit pertahanan senjata taktis. Menurut sejumlah pengamat militer, senjata baru rezim Pemimpin Kim Jong Un ini punya daya jangkau sekitar 500 km yang artinya bisa mencakup seluruh wilayah Semenanjung Korea. Bahkan digadang-gadang mampu melumpuhkan sistem anti misil milik AS yang ditempatkan di Korea Selatan.
Potensi memanasnya suhu geopolitik di Semenanjung Korea tentu menjadi salah satu faktor risiko yang tidak bisa dicoret dari daftar. Sesuatu yang bisa membuat pelaku pasar bermain aman sehingga menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Penyebabnya adalah ancaman Presiden AS Donald Trump. Meski dialog di Washington pekan lalu menelurkan hasil positif, tetapi Trump ternyata tetap akan menaikkan bea masuk untuk importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Tidak hanya itu, Trump pun menegaskan siap untuk menerapkan bea masuk untuk impor produk made in China senilai US$ 325 miliar.
"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam data-data ekonomi kita yang bagus. Jadi yang 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%. Bea masuk ini berdampak kecil terhadap harga produk. Dialog dagang tetap berlanjut, tetapi terlalu lamban, karena mereka berupaya melakukan renegosiasi. Tidak!" cuit Trump di Twitter.
Mari berharap bahwa pernyataan Trump ini sekadar gertakan untuk mempercepat proses negosiasi menuju damai dagang. Atau gertakan agar China tidak meminta konsesi yang aneh-aneh. Semoga saja cuma gertakan.
Sebab apabila Trump jadi mengeksekusi kenaikan bea masuk, maka kemungkinan besar China akan membalas dengan kebijakan yang sama. Damai dagang? Apa itu damai dagang? Yang ada malah perang dagang kembali berkecamuk dan mungkin dengan skala yang lebih besar.
Sepertinya sentimen ini berpeluang menjadi 'bintang utama' di pasar keuangan Asia. Ancaman perang dagang AS-China sangat mungkin membuat investor ogah mengambil risiko, memilih cari aman.
Sentimen kedua datang dari Semenanjung Korea. Seperti halnya damai dagang, prospek perdamaian di Semenanjung Korea juga menjadi samar-samar karena Korea Utara dikabarkan tengah menggelar persiapan untuk kembali melakukan uji coba peluru kendali.
KCNA, kantor berita pemerintah Korea Utara, menyatakan uji coba ini adalah untuk melihat kemampuan peluncur roket jarak jauh dan unit pertahanan senjata taktis. Menurut sejumlah pengamat militer, senjata baru rezim Pemimpin Kim Jong Un ini punya daya jangkau sekitar 500 km yang artinya bisa mencakup seluruh wilayah Semenanjung Korea. Bahkan digadang-gadang mampu melumpuhkan sistem anti misil milik AS yang ditempatkan di Korea Selatan.
Potensi memanasnya suhu geopolitik di Semenanjung Korea tentu menjadi salah satu faktor risiko yang tidak bisa dicoret dari daftar. Sesuatu yang bisa membuat pelaku pasar bermain aman sehingga menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular