
Benarkah Demo Buruh Bikin Pasar Saham Babak Belur?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 May 2019 16:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan di pasar saham tanah air pada Rabu 1 Mei ini diliburkan seiring dengan peringatan Hari Buruh Internasional (May Day).
Pada Hari Buruh, ribuan buruh turun ke jalan untuk menuntut perbaikan taraf hidup dari pemerintah. Tuntutan yang biasanya didengungkan ialah kenaikan upah minimum.
Sama seperti kala Pemilihan Umum 2019 digelar, banyak yang mengatakan bahwa demo buruh akan menyebabkan investor memilih bermain defensif dengan menghindari instrumen berisiko seperti saham.
Namun, benarkah hal tersebut?
Guna menjawabnya, Tim Riset CNBC Indonesia mengumpulkan data imbal hasil Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam 5 hari perdagangan pertama selepas peringatan May Day. Data yang dihimpun adalah dalam periode 5 tahun terakhir (2014-2018).
Dalam 5 tahun terakhir, kebanyakan IHSG justru menguat selepas peringatan May Day.
Memang, koreksi dalam 5 hari perdagangan pertama selepas May Day tahun 2018 terbilang sangat dalam, yakni mencapai 3,67%. Namun pada saat itu, aksi jual di pasar saham dalam negeri dipicu oleh faktor eksternal dan bukan peringatan Hari Buruh.
Kala itu, The Federal Reserve selaku bank sentral AS memberi sinyal kuat bahwa normalisasi dapat dilakukan di sisa tahun 2018. Alasannya, inflasi dan inflasi inti telah bergerak menuju target sebesar 2%.
Pernyataan tersebut merupakan peningkatan dari pernyataan Maret 2018, kala itu The Fed mengungkapkan bahwa kedua indikator tersebut telah bertengger di bawah 2%.
Tak sampai di situ, The Fed juga seakan mengindikasikan bahwa inflasi bisa meroket di atas 2%. "Inflasi dalam basis 12 bulan (YoY) diharapkan berada di sekitar target simetris 2% dalam jangka waktu menengah," tulis pernyataan The Fed.
Penggunaan kata simetris inilah yang menimbulkan persepsi bahwa inflasi nantinya bisa melebihi level 2%.
Sebagai catatan, inflasi sebesar 2% dianggap the Fed sebagai level inflasi yang sehat dan merupakan kunci dari kebijakan suku bunganya. Padahal di sisi lain, kekhawatiran terkait perang dagang sedang menyelimuti pasar keuangan, seiring dengan langkah yang diambil AS untuk mengenakan bea masuk baru bagi besi dan aluminium yang masuk ke negaranya.
Tentu, normalisasi oleh The Fed menjadi hal terakhir yang ingin dilihat oleh pelaku pasar saat itu. Wajar jika aksi jual dengan intensitas yang besar dirasakan di pasar saham tanah air.
Kalau tahun 2018 dikeluarkan, kinerja IHSG dalam 5 perdagangan pertama selepas May Day terbilang sangat oke.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Performa IHSG yang kinclong selepas peringatan May Day tak lepas dari langkah tepat yang diambil pemerintah dalam menghadapi persoalan kenaikan upah minimum yang seringkali mencekik pengusaha.
Melalui Paket Kebijakan Ekonomi jilid 4 yang diumumkan pada 15 Oktober 2015 silam, metode penentuan besaran kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) sudah distandarisasi, tak lagi harus mengikuti tuntutan buruh yang kelewat tinggi.
Kini, besaran kenaikan UMR disesuaikan dengan inflasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi dari masing-masing provinsi. Dengan kenaikan UMR yang lebih terukur, praktis tekanan kepada dunia usaha menjadi berkurang.
Perencanaan yang lebih baik pun bisa mereka lakukan lantaran tak perlu takut ada lonjakan kenaikan UMR yang di luar anggaran mereka. Pada akhirnya, uang untuk ekspansi bisa mengalir lebih deras.
Bagi pasar saham, tentu ini merupakan hal yang baik. Jadi mengapa takut?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Rasa-Rasanya IHSG Bakal Kayak Roller Coaster Lagi nih!
Pada Hari Buruh, ribuan buruh turun ke jalan untuk menuntut perbaikan taraf hidup dari pemerintah. Tuntutan yang biasanya didengungkan ialah kenaikan upah minimum.
Sama seperti kala Pemilihan Umum 2019 digelar, banyak yang mengatakan bahwa demo buruh akan menyebabkan investor memilih bermain defensif dengan menghindari instrumen berisiko seperti saham.
Guna menjawabnya, Tim Riset CNBC Indonesia mengumpulkan data imbal hasil Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam 5 hari perdagangan pertama selepas peringatan May Day. Data yang dihimpun adalah dalam periode 5 tahun terakhir (2014-2018).
Dalam 5 tahun terakhir, kebanyakan IHSG justru menguat selepas peringatan May Day.
Memang, koreksi dalam 5 hari perdagangan pertama selepas May Day tahun 2018 terbilang sangat dalam, yakni mencapai 3,67%. Namun pada saat itu, aksi jual di pasar saham dalam negeri dipicu oleh faktor eksternal dan bukan peringatan Hari Buruh.
Kala itu, The Federal Reserve selaku bank sentral AS memberi sinyal kuat bahwa normalisasi dapat dilakukan di sisa tahun 2018. Alasannya, inflasi dan inflasi inti telah bergerak menuju target sebesar 2%.
Pernyataan tersebut merupakan peningkatan dari pernyataan Maret 2018, kala itu The Fed mengungkapkan bahwa kedua indikator tersebut telah bertengger di bawah 2%.
Tak sampai di situ, The Fed juga seakan mengindikasikan bahwa inflasi bisa meroket di atas 2%. "Inflasi dalam basis 12 bulan (YoY) diharapkan berada di sekitar target simetris 2% dalam jangka waktu menengah," tulis pernyataan The Fed.
Penggunaan kata simetris inilah yang menimbulkan persepsi bahwa inflasi nantinya bisa melebihi level 2%.
Sebagai catatan, inflasi sebesar 2% dianggap the Fed sebagai level inflasi yang sehat dan merupakan kunci dari kebijakan suku bunganya. Padahal di sisi lain, kekhawatiran terkait perang dagang sedang menyelimuti pasar keuangan, seiring dengan langkah yang diambil AS untuk mengenakan bea masuk baru bagi besi dan aluminium yang masuk ke negaranya.
Tentu, normalisasi oleh The Fed menjadi hal terakhir yang ingin dilihat oleh pelaku pasar saat itu. Wajar jika aksi jual dengan intensitas yang besar dirasakan di pasar saham tanah air.
Kalau tahun 2018 dikeluarkan, kinerja IHSG dalam 5 perdagangan pertama selepas May Day terbilang sangat oke.
LANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA>>
Performa IHSG yang kinclong selepas peringatan May Day tak lepas dari langkah tepat yang diambil pemerintah dalam menghadapi persoalan kenaikan upah minimum yang seringkali mencekik pengusaha.
Melalui Paket Kebijakan Ekonomi jilid 4 yang diumumkan pada 15 Oktober 2015 silam, metode penentuan besaran kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) sudah distandarisasi, tak lagi harus mengikuti tuntutan buruh yang kelewat tinggi.
Kini, besaran kenaikan UMR disesuaikan dengan inflasi dan tingkat pertumbuhan ekonomi dari masing-masing provinsi. Dengan kenaikan UMR yang lebih terukur, praktis tekanan kepada dunia usaha menjadi berkurang.
Perencanaan yang lebih baik pun bisa mereka lakukan lantaran tak perlu takut ada lonjakan kenaikan UMR yang di luar anggaran mereka. Pada akhirnya, uang untuk ekspansi bisa mengalir lebih deras.
Bagi pasar saham, tentu ini merupakan hal yang baik. Jadi mengapa takut?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Rasa-Rasanya IHSG Bakal Kayak Roller Coaster Lagi nih!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular