Sah! Tujuh Hari Beruntun Rupiah Tak Pernah Menguat

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
30 April 2019 17:33
Sah! Tujuh Hari Beruntun Rupiah Tak Pernah Menguat
Jakarta, CNBC Indonesia - Lagi-lagi mata uang rupiah harus tunduk atas kedigdayaan dolar Amerika Serikat (AS) di pasar valas.

Pada perdagangan hari Selasa (30/4/2019), nilai tukar rupiah terdepresiasi 50 poin, atau 0,35% terhadap dolar. Alhasil pada penutupan perdagangan US$ 1 dapat diboyong seharga Rp 14.245.

Bukan hari ini saja rupiah melemah. Kemarin pun kurs rupiah juga turun 0,11% terhadap dolar AS.

Parahnya, sudah tujuh hari beruntun rupiah tak pernah menguat. Penguatan rupiah terakhir kali terjadi pada hari Kamis (18/4/2019), atau satu hari sebelum libur Jumat Agung. Setelahnya performa terbaik rupiah hanya mampu bertahan (flat), sisanya terus melemah.

Hari ini rupiah menjadi yang terlemah kedua (lagi), hanya menang dari won Korea Selatan yang terdepresiasi hingga 0,53%.

Akan tetapi memang sebagian besar mata uang utama di kawasan Asia melemah pada hari ini. Hanya lima dari sebelas mata uang yang mampu menaklukkan dolar, yaitu peso Filipina, yen Jepang, rupee India, dolar Singapura, dan dolar Taiwan.



Sejumlah sentimen tampaknya memang mendukung pelemahan rupiah hari ini.

Dari dalam negeri, realisasi penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) di sektor riil kuartal I-2019 hanya sebesar US$ 7,2 miliar atau turun sebesar 11,1% year on year (YoY).

Ini menandakan bahwa iklim investasi di Tanah Air terbilang kurang menarik bagi investor asing. Alhasil, aliran dana asing yang masuk ke Indonesia menjadi semakin terbatas.

Hal itu berpotensi membuat rupiah rawan terkoreksi karena tak memiliki cukup energi untuk menahan tekanan mata uang lain. Investor pun enggan mengapresiasi nilai rupiah.

Sentimen dari luar negeri juga tampaknya kurang mendukung. Investor makin dibuat was-was mendengar perkembangan dari dialog dagang AS-China.

Hari ini (30/4/2019), Kepala Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin kembali menggelar perundingan di Beijing. Adapun negosiator China dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri, Liu He.

Mengutip South China Morning Post, proses negosiasi kedua negara dikabarkan sudah pada tahap akhir. Artinya kesepakatan bisa jadi diteken atau bahkan gagal sama sekali.

"Kami berharap bahwa dalam 2 pertemuan di China dan (Washington) DC kami akan berada dalam suatu titik di mana kami dapat memberikan rekomendasi kepada presiden apakah kami dapat meneken kesepakatan atau tidak," papar Mnuchin ketika diwawancarai oleh Fox Business, seperti dilansir dari South China Morning Post.

Meskipun sebelumnya aura positif terus memancar dari proses negosiasi AS-China, investor cenderung bermain aman karena segala kemungkinan dapat terjadi.

Hingga sebuah pengumuman yang benar-benar positif muncul, tampaknya pelaku pasar masih akan terus menyimpan keraguan berinvestasi.

Sebab semakin lama proses ini berjalan, risiko batalnya kesepakatan masih akan terus menghantui.

BERLANJUT KE HALAMAN 2
Dalam kesempatan ini, investor akan cenderung mengoleksi safe haven. Dalam hal ini adalah greenback.
 
Bukan tanpa alasan. Sederet rilis data ekonomi yang ciamik mendukung pelaku pasar untuk melarikan asetnya pada dolar AS, ketimbang instrumen safe haven lain.
 
Pada hari Senin (29/4/2019) waktu setempat, pemerintah AS mengumumkan data pengeluaran pribadi (personal spending) periode Maret 2019 yang tumbuh sebesar 0,9% dibanding bulan sebelumnya (month on month/MoM).
 
Pertumbuhan tersebut mengalahkan prediksi konsensus yang sebesar 0,7% MoM dan juga lebih baik dibanding Februari yang tumbuh 0,1%.
 
Data tersebut menggambarkan tingkat kesejahteraan di AS yang baik, karena konsumen masih dapat meningkatkan pengeluarannya. Perlu diingat bahwa data personal spending AS sudah disesuaikan dengan tingkat inflasi.
Dengan data ekonomi yang kinclong, maka kemungkinan Bank Sentral AS, The Fed untuk menurunkan suku bunga semakin tipis.
 
Mengutip CME, probabilitas The Fed untuk menurunkan suku bunga sebanyak 25 basis poin di tahun ini hanya tinggal 40,9%. Turun dari posisi kemarin (29/4/2019) yang masih sebesar 41,1%.
Bila suku bunga tetap ditahan, maka keperkasaan dolar dapat dipertahankan. Membuat risiko depresiasi nilainya menjadi semakin tipis. Daya tarik dolar sebagai safe haven pun membuncah. Membuat investor makin gemar memburu aset-aset berbasis dolar.
 
Pada saat yang hampir bersamaan, rilis data ekonomi kawasan Benua Kuning malah agak mengecewakan.
 
Hari ini pemerintah China mengumumkan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur periode April yang sebesar 50,1 atau lebih rendah dibanding prediksi konesus yang sebesar 50,5. 
 
Meskipun nilai di atas 50 berarti masih terjadi ekspansi, tapi capaian tersebut turun dibanding periode Maret yang sebesar 50,5.
Itu berarti ada sinyal perlambatan ekonomi yang ditangkap oleh pelaku pasar. China yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia sudah tentu akan mempengaruhi negara-negara Asia lain, termasuk Indonesia.

Seperti janjian, Jepang sebagai negara ekonomi terbesar ke-3 di dunia sebelumnya sudah mengumumkan output industrial bulan Maret yang terkontraksi hingga 4,6% YoY. Tentu saja pasar agak kecewa, karena sempat memprediksi penurunan output industrial hanya sebesar 0,6%, mengutip Trading Economics.

Kala dua kekuatan terbesar di Asia memperlihatkan sinyal-sinyal perlambatan ekonomi, minat investor untuk masuk ke pasar keuangan Benua Kuning pun surut. Alhasil rupiah tak melemah sendirian. Semoga saja tak bertahan lama

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular