Sentuh Rp 14.225/US$, Rupiah Terlemah Sejak Akhir Maret

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 April 2019 10:46
Sentuh Rp 14.225/US$, Rupiah Terlemah Sejak Akhir Maret
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan rupiah kian bertambah dalam saja. Pada pembukaan perdagangan di pasar spot, rupiah melemah 0,04% ke level Rp 14.190/dolar AS. Pada pukul 10:22 WIB, pelemahan rupiah sudah mencapai 0,21% ke level Rp 14.225/dolar AS. Rupiah berada di posisi terlemahnya sejak akhir bulan Maret.

Sekedar mengingatkan kembali, jika depresiasi bertahan hingga akhir perdagangan, maka rupiah resmi tak pernah mencetak apresiasi dalam 7 hari perdagangan terakhir. Kali terakhir rupiah menguat adalah sehari selepas gelaran pemilihan umum atau pada tanggal 18 April silam. Selepas itu, rupiah ditransaksikan melemah atau setidaknya flat.

Memang, mayoritas mata uang negara-negara Asia lainnya juga melemah melawan dolar AS. Namun, pelemahan rupiah menjadi yang terdalam kedua. Kinerja rupiah hanya lebih baik dari won yang jatuh hingga 0,36%.



Pukulan bagi mata uang negara-negara Asia termasuk rupiah datang dari rilis data ekonomi China yang mengecewakan. Pada hari ini, Manufacturing PMI versi resmi pemerintah China periode April 2019 diumumkan di level 50,1, turun dari capaian periode Maret yang sebesar 50,5. Capaian pada bulan April juga berada di bawah konsensus yang sebesar 50,5, seperti dilansir dari Trading Economics.

Sejatinya, angka di atas 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur di China masih mencatatkan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Namun, ekspansinya tak sekencang ekspansi pada bulan Maret.

Rilis data tersebut lantas melengkapi rentetan rilis data ekonomi yang mengecewakan di kawasan regional. Belum lama ini, produksi industri Jepang periode Maret 2019 (pembacaan awal) diumumkan jatuh 4,6% secara tahunan, jauh lebih dalam ketimbang konsensus yang memperkirakan penurunan sebesar 0,6% saja, seperti dilansir dari Trading Economics.

Tingkat pengangguran Jepang periode Maret 2019 diumumkan di level 2,5%, di atas konsensus yang sebesar 2,4%, seperti dilansir dari Trading Economics. Capaian tersebut juga melonjak dari posisi Februari yang sebesar 2,3%.

Beralih ke Korea Selatan, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan di level 1,8% YoY, jauh lebih rendah ketimbang konsensus yang sebesar 2,5% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics.

Di sisi lain, rilis data ekonomi AS tetap kinclong. Kemarin (29/4/2019), personal spending periode Maret 2019 diumumkan tumbuh sebesar 0,9% secara bulanan, di atas capaian periode Februari yang sebesar 0,1%. Capaian pada bulan Maret juga berhasil mengalahkan konsensus yang sebesar 0,7%, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai catatan, data ini menggambarkan perubahan jumlah uang yang dibelanjakan oleh konsumen di AS (setelah disesuaikan dengan inflasi).

Sebelumnya, pembacaan awal atas angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal-I 2019 diumumkan sebesar 3,2% (QoQ annualized), jauh di atas konsensus dan capaian kuartal sebelumnya yang hanya sebesar 2,2%, seperti dilansir dari Forex Factory.

Deretan data ekonomi AS yang kinclong tersebut membuat keyakinan bahwa The Federal Reserve selaku bank sentral AS akan memangkas suku bunga acuan pada tahun ini menjadi memudar.

Dari dalam negeri, tak ada suntikan energi bagi rupiah dari Bank Indonesia (BI). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang hasilnya diumumkan pada hari Kamis lalu (25/4/2019) memutuskan bahwa 7 Day Reverse Repo Rate ditahan di level 6%. Praktis, dolar AS menjadi memiliki suntikan energi untuk menguat melawan mata uang Garuda.
Lebih lanjut, dolar AS selaku safe haven juga laris manis lantaran damai dagang AS-China yang belum pasti. Pada hari ini, delegasi AS dijadwalkan menggelar dialog dagang lanjutan dengan China di Beijing.

Delegasi AS akan dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China akan dikomandoi oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.

Melansir pemberitaan New York Times yang dikutip dari CNBC International, negosiasi dagang antara AS dan China disebut Mnuchin sudah memasuki tahap akhir.

“Saya rasa kedua belah pihak memiliki keinginan untuk mencapai sebuah kesepakatan,” papar Mnuhcin. “Kami telah mencapi banyak kemajuan.”

Namun, pernyataan defensif juga diungkapkan Mnuchin. Menurutnya, walaupun kedua negara sudah mendekati sebuah kesepakatan, kini negosiasi memasuki tahap di mana sebuah kesepakatan bisa diteken atau justru berakhir tanpa kesepakatan sama sekali.

Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 250 miliar, sementara China membalas dengan mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal AS senilai US$ 110 miliar.

Jika AS dan China justru gagal mencapai kesepakatan dagang, balas membalas bea masuk bisa semakin tereskalasi. Sembari menungu perkembangan dari Beijing, pelaku pasar menjatuhkan pilihannya kepada dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular