Oalah, Ancaman Mogok Karyawan Garuda Ternyata Hoax!

Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
29 April 2019 15:56
Sekber menyatakan surat yang beredar pada Sabtu (27/04/2019) tidak benar adanya.
Foto: Garuda Indonesia's Boeing 737 Max 8 (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sekretariat Bersama (Sekber) Serikat Karyawan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menyangkal akan melakukan mogok massal. Sekber Serikat Karyawan menyatakan surat yang beredar pada Sabtu (27/04/2019) tidak benar adanya.

"Surat yang beredar kemarin itu benar hoax [berita bohong]," kata Ketua Umum Serikat Karyawan Garuda Indonesia (Sekarga) Ahmad Irfan, kepada CNBC Indonesia, Senin (29/4/2019).

Sekber adalah gabungan dari Sekarga dan Asosiasi Pilot Garuda Indonesia (APG).


Irfan menegaskan bahwa rencana mogok karyawan Garuda tersebut tidak benar .Hingga saat ini seluruh pilot, awak kabin dan karyawan Garuda indonesia tetap melaksanakan tugas dan mendukung kinerja perusahaan dengan maksimal.

Sekber berharap publik tidak mempercayai informasi lain yang beredar dan tidak berdasar tersebut.

Sebelumnya, pada Sabtu pekan lalu, beredar surat yang dibuat dan ditandatangani Presiden APG Captain Bintang Hardiono dan Ketua Umum Serkarga Ahmad Irfan.

Ancaman mogok tersebut bukan meminta kenaikan gaji atau pergantian direksi BUMN penerbangan ini, yang beberapa kali pernah diminta, tapi justru terkait dengan harga saham perusahaan yang jatuh di Bursa Efek Indonesia. Saham Garuda Indonesia diperdagangkan dengan kode GIAA.

Serikat pekerja menilai jatuhnya harga saham yang terus menerus ini diakibatkan oleh kisruh soal laporan keuangan yang tidak ditandatangani oleh komisaris.

Pada penutupan perdagangan di akhir pekan kemarin, saham GIAA justru melompat 1,73% atau naik menjadi Rp 470/saham.

Ini adalah surat dari Sekber (APG & SEKARGA) yang ternyata hoaxFoto: Surat Bocor Garuda
Ini adalah surat dari Sekber (APG & SEKARGA) yang ternyata hoax

Polemik soal Garuda bermula dari laporan keuangan 2018. Pada 2018, manajemen Garuda Indonesia melaporkan perseroan membukukan laba bersih senilai US$ 809.850 pada 2018, setara Rp 11,49 miliar (kurs Rp 14.200/US$). Padahal tahun sebelumnya perseroan mengalami kerugian cukup besar US$ 216,58 juta.

Laba bersih ini dibukukan ketika perusahaan justru mencatatkan perlambatan pendapatan. Total pendapatan tahun lalu hanya naik 4,69% year-on-year (YoY) menjadi US$4,37 miliar dibandingkan pencapaian 2017 senilai US$4,18 miliar.

Padahal, pada 2017 pendapatan Garuda tumbuh 8,11% dibandingkan pendapatan 2016.

Menteri Perhubungan Sempat Respons Rencana Mogok Karyawan Garuda
[Gambas:Video CNBC]

Intinya, secara operasional perusahaan penerbangan pelat merah ini mestinya merugi karena total beban usaha yang dibukukan perusahaan tahun lalu mencapai US$4,58 miliar, alias US$ 206,08 juta lebih besar dibandingkan pendapatan yang dibukukan pada tahun 2018.

Namun dalam laporan keuangan 2018, kinerja tahun lalu diselamatkan oleh 'pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten' pada 2018 senilai US$ 239,94 juta (sekitar Rp2,9 triliun), yang tidak ada pada laporan keuangan 2017. Pendapatan dicatat karena ada kontrak dengan PT Mahata Aero Teknologi.

Pada 31 Oktober 2018, Grup Garuda, termasuk Sriwijaya Air, mengadakan perjanjian kerja sama dengan Mahata untuk penyediaan layanan hiburan dan konektivitas dalam penerbangan (wi-fi on board) yang disetujui pada 26 Desember 2018.

Pencatatan atas kontrak inilah yang kemudian ditolak oleh dua komisaris Garuda Indonesia. Terdapat beberapa pos keuangan yang pencatatannya tak sesuai standar akuntansi yang membuat kinerja Garuda Indonesia untung pada 2018, padahal seharusnya merugi.

Keberatan mereka sampaikan terkait kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan. Dalam dokumen yang didapat oleh awak media, tertulis bahwa dua komisaris Garuda yakni Chairal Tanjung dan Dony Oskaria yang menolak menandatangani laporan keuangan Garuda 2018.

Keduanya merupakan perwakilan dari PT Trans Airways, pemegang saham Garuda Indonesia dengan kepemilikan sebesar 25,61%.

Menurut Catatan tersebut, hingga akhir 2018 belum ada pembayaran yang masuk dari Mahata Aero Teknologi. Walau begitu, Garuda Indonesia dalam laporan keuangan sudah mengakuinya sebagai pendapatan tahun lalu.

Dari pihak Trans Airways berpendapat angka itu terlalu signifikan hingga mempengaruhi neraca keuangan Garuda Indonesia. Jika nominal dari kerja sama tersebut belum masuk sebagai pendapatan, perusahaan sebenarnya masih merugi US$ 244,95 juta.


(hps/tas) Next Article Garuda Indonesia (GIAA) Mau Tambah 8 Pesawat, Keluarkan Kocek Segini

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular