
Duh! Pendapatan Bunga Bank BUKU IV Tertekan, Ini Penyebabnya
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
29 April 2019 11:09

Jakarta, CNBC Indonesia - Earnings season sudah dimulai dan perusahaan-perusahaan yang melantai di bursa saham tanah air mulai merilis kinerja keuangannya. Laporan keuangan dari bank-bank BUKU 4 merupakan salah satu yang paling ditunggu oleh investor lantaran saham-saham bank BUKU 4 memiliki bobot yang besar dalam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Sejauh ini, ada 3 bank BUKU 4 yang sudah melaporkan kinerja keuangan untuk periode kuartal-I 2019, yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, laba bersih BBNI tercatat senilai Rp 4,08 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun Reuters senilai Rp 4,06 triliun. Namun, pendapatan bunga bersih/Net Interest Income (NII) hanya senilai Rp 8,86 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 9,63 triliun.
Kemudian, NII BBRI pada kuartal-I 2019 diumumkan senilai Rp 19,41 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 20,42 triliun. Laba bersih perusahaan adalah senilai Rp 8,2 triliun, juga di bawah konsensus yang senilai Rp 8,61 triliun.
Untuk BBCA, NII tercatat senilai Rp 11,99 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 12,07 triliun. Laba bersih perusahaan adalah senilai Rp 6,06 triliun, juga di bawah konsensus yang senilai Rp 6,18 triliun.
Tertekannya NII dari BBNI dan BBRI terjadi seiring dengan naiknya ketergantungan mereka terhadap dana mahal (deposito) guna menunjang aktivitas penyaluran kredit. Pada kuartal-I 2019, porsi dana murah (current account dan saving account) BBNI dari total Dana Pihak ketiga (DPK) turun menjadi 60,5%, dari yang sebelumnya 64,8% pada kuartal-IV 2018. Sementara itu, porsi dana mahal naik menjadi 39,5%, dari yang sebelumnya 35,2%.
Untuk BBRI, porsi dana murah pada kuartal-I 2019 adalah sebesar 57,9%, turun dari capaian periode kuartal-IV 2018 yang mencapai 61,8%. Sementara itu, porsi dana mahal naik menjadi 42,1%, dari yang sebelumnya 38,2%.
Naiknya ketergantungan terhadap dana mahal membuat cost of fund dari BBNI naik menjadi 3,2% pada 3 bulan pertama tahun ini, dari yang sebelumnya 2,8% pada kuartal-IV 2018. Untuk BBRI, cost of fund naik dari 3,47% menjadi 3,68%.
Di sisi lain, BBNI dan BBRI terlihat tak memiliki ruang untuk mengerek naik suku bunga kredit, sehingga marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) menjadi tertekan. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Bahkan, tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Pada periode kuartal-I 2019, NIM dari BBNI tercatat senilai 5%, turun dari capaian kuartal-IV 2018 yang sebesar 5,3%. Sementara itu, NIM dari BBRI turun menjadi 6,89%, dari yang sebelumya 7,45%.
Beralih ke BBCA, sebenarnya NIM tercatat meningkat menjadi 6,19% pada kuartal-I 2019, dari yang sebelumnya 6,13% pada kuartal-IV 2018. Hal ini terjadi lantaran porsi dana mahal dari total DPK tak meningkat.
Porsi dana murah BBCA pada kuartal-I 2019 adalah sebesar 77%, sama dengan angka pada kuartal-IV 2018. Sementara itu, porsi dana mahal tetap berada di angka 23%.
Penyaluran kredit perusahaan yang relatif lemah membuat NII dan laba bersihnya tak mampu meyamai ekspektasi. Jika dibandingkan dengan posisi pada akhir 2018, penyaluran kredit BBCA terkontraksi sebesar 1,1% pada kuartal-I 2019, sementara penyaluran kredit BBNI dan BBRI naik masing-masing sebesar 1,67% dan 1,41%. Bank-bank BUKU IV di tanah air, terutama BBNI dan BBRI, sedang menghadapi persaingan yang ketat dengan pemerintah Indonesia dalam menghimpun dana masyarakat. Pada Oktober 2018 silam, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun sempat berada di level 8,85% yang merupakan titik penutupan tertinggi sejak awal Januari 2016 silam.
Semenjak itu, yield obligasi berangsur-angsur turun. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik karena ada dorongan beli. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun karena ada tekanan jual.
Mengalirnya dana nasabah ke pasar obligasi terlihat dari tertekannya jumlah rekening dengan dana di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar. Per akhir 2018, jumlahnya ada sebanyak 170.466 rekening dengan nilai Rp 533,76 triliun. Per Februari 2019, jumlah rekeningnya turun 0,96% menjadi 168.831 dan nilainya juga turun 1,14% menjadi Rp 527,67 triliun.
Lantaran nasabahnya mengalihkan dana ke pasar obligasi, mau tak mau perbankan harus mengandalkan deposito yang menawarkan suku bunga lebih tinggi guna mencegah nasabahnya kabur lebih banyak.
Kedepannya, tarik-menarik dana antara perbankan dan pemerintah bisa terus terjadi dan semakin menyakiti NIM dari bank-bank di tanah air. Pasalnya, masih terdapat selisih (spread) yang besar antara yield obligasi dengan inflasi.
Pada perdagangan terakhir di tahun 2018, yield obligasi tenor 10 tahun berada di level 7,98%, sementara inflasi untuk tahun 2018 adalah sebesar 3,13%. Selisihnya adalah sebesar 485 bps.
Pada penutupan perdagangan hari Jumat (26/4/2019), yield obligasi tenor 10 tahun berada di level 7,78%, sementara inflasi tahunan per Maret 2019 adalah sebesar 2,48%. Selisihnya adalah sebesar 530 bps.
Jika tarik-menarik dana antara perbankan dan pemerintah benar terus terjadi sehingga NIM bank-bank BUKU 4 terus tertekan, dampaknya ke IHSG dipastikan akan besar. Pasalnya, saham-saham bank BUKU 4 memiliki kapitalisasi pasar yang begitu besar. Ketika harga saham bank-bank BUKU 4 jatuh, IHSG akan sulit untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article H1-2020, BNI Cetak Laba Bersih Rp 4,46 Triliun
Sejauh ini, ada 3 bank BUKU 4 yang sudah melaporkan kinerja keuangan untuk periode kuartal-I 2019, yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, laba bersih BBNI tercatat senilai Rp 4,08 triliun, mengalahkan konsensus yang dihimpun Reuters senilai Rp 4,06 triliun. Namun, pendapatan bunga bersih/Net Interest Income (NII) hanya senilai Rp 8,86 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 9,63 triliun.
Untuk BBCA, NII tercatat senilai Rp 11,99 triliun, di bawah konsensus yang senilai Rp 12,07 triliun. Laba bersih perusahaan adalah senilai Rp 6,06 triliun, juga di bawah konsensus yang senilai Rp 6,18 triliun.
Tertekannya NII dari BBNI dan BBRI terjadi seiring dengan naiknya ketergantungan mereka terhadap dana mahal (deposito) guna menunjang aktivitas penyaluran kredit. Pada kuartal-I 2019, porsi dana murah (current account dan saving account) BBNI dari total Dana Pihak ketiga (DPK) turun menjadi 60,5%, dari yang sebelumnya 64,8% pada kuartal-IV 2018. Sementara itu, porsi dana mahal naik menjadi 39,5%, dari yang sebelumnya 35,2%.
Untuk BBRI, porsi dana murah pada kuartal-I 2019 adalah sebesar 57,9%, turun dari capaian periode kuartal-IV 2018 yang mencapai 61,8%. Sementara itu, porsi dana mahal naik menjadi 42,1%, dari yang sebelumnya 38,2%.
Naiknya ketergantungan terhadap dana mahal membuat cost of fund dari BBNI naik menjadi 3,2% pada 3 bulan pertama tahun ini, dari yang sebelumnya 2,8% pada kuartal-IV 2018. Untuk BBRI, cost of fund naik dari 3,47% menjadi 3,68%.
Di sisi lain, BBNI dan BBRI terlihat tak memiliki ruang untuk mengerek naik suku bunga kredit, sehingga marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) menjadi tertekan. Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.
Bahkan, tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.
Pada periode kuartal-I 2019, NIM dari BBNI tercatat senilai 5%, turun dari capaian kuartal-IV 2018 yang sebesar 5,3%. Sementara itu, NIM dari BBRI turun menjadi 6,89%, dari yang sebelumya 7,45%.
Beralih ke BBCA, sebenarnya NIM tercatat meningkat menjadi 6,19% pada kuartal-I 2019, dari yang sebelumnya 6,13% pada kuartal-IV 2018. Hal ini terjadi lantaran porsi dana mahal dari total DPK tak meningkat.
Porsi dana murah BBCA pada kuartal-I 2019 adalah sebesar 77%, sama dengan angka pada kuartal-IV 2018. Sementara itu, porsi dana mahal tetap berada di angka 23%.
Penyaluran kredit perusahaan yang relatif lemah membuat NII dan laba bersihnya tak mampu meyamai ekspektasi. Jika dibandingkan dengan posisi pada akhir 2018, penyaluran kredit BBCA terkontraksi sebesar 1,1% pada kuartal-I 2019, sementara penyaluran kredit BBNI dan BBRI naik masing-masing sebesar 1,67% dan 1,41%. Bank-bank BUKU IV di tanah air, terutama BBNI dan BBRI, sedang menghadapi persaingan yang ketat dengan pemerintah Indonesia dalam menghimpun dana masyarakat. Pada Oktober 2018 silam, imbal hasil (yield) obligasi terbitan pemerintah Indonesia tenor 10 tahun sempat berada di level 8,85% yang merupakan titik penutupan tertinggi sejak awal Januari 2016 silam.
Semenjak itu, yield obligasi berangsur-angsur turun. Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik karena ada dorongan beli. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun karena ada tekanan jual.
Mengalirnya dana nasabah ke pasar obligasi terlihat dari tertekannya jumlah rekening dengan dana di atas Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar. Per akhir 2018, jumlahnya ada sebanyak 170.466 rekening dengan nilai Rp 533,76 triliun. Per Februari 2019, jumlah rekeningnya turun 0,96% menjadi 168.831 dan nilainya juga turun 1,14% menjadi Rp 527,67 triliun.
Lantaran nasabahnya mengalihkan dana ke pasar obligasi, mau tak mau perbankan harus mengandalkan deposito yang menawarkan suku bunga lebih tinggi guna mencegah nasabahnya kabur lebih banyak.
Kedepannya, tarik-menarik dana antara perbankan dan pemerintah bisa terus terjadi dan semakin menyakiti NIM dari bank-bank di tanah air. Pasalnya, masih terdapat selisih (spread) yang besar antara yield obligasi dengan inflasi.
Pada perdagangan terakhir di tahun 2018, yield obligasi tenor 10 tahun berada di level 7,98%, sementara inflasi untuk tahun 2018 adalah sebesar 3,13%. Selisihnya adalah sebesar 485 bps.
Pada penutupan perdagangan hari Jumat (26/4/2019), yield obligasi tenor 10 tahun berada di level 7,78%, sementara inflasi tahunan per Maret 2019 adalah sebesar 2,48%. Selisihnya adalah sebesar 530 bps.
Jika tarik-menarik dana antara perbankan dan pemerintah benar terus terjadi sehingga NIM bank-bank BUKU 4 terus tertekan, dampaknya ke IHSG dipastikan akan besar. Pasalnya, saham-saham bank BUKU 4 memiliki kapitalisasi pasar yang begitu besar. Ketika harga saham bank-bank BUKU 4 jatuh, IHSG akan sulit untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article H1-2020, BNI Cetak Laba Bersih Rp 4,46 Triliun
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular