Hati-hati, Bosque! Dolar AS Hampir Sentuh Rp 14.200!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 April 2019 08:31
Faktor Eksternal dan Domestik Kurang Oke
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Memang masih sulit menandingi dolar AS, yang tidak hanya perkasa di Asia tetapi juga di dunia. Pada pukul 08:20 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,01%. 

Keperkasaan dolar AS datang dari rilis data ekonomi AS yang terus saja positif. Pada Maret, pemesanan barang-barang tahan lama (durable goods) made in the USA naik 2,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi kenaikan paling tajam sejak Agustus 2018. 

Kemudian pemesanan barang modal inti (non-pertahanan dan pesawat) naik 1,3% month-on-month (MoM) menjadi US$ 70 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Pertumbuhannya juga menjadi yang terbaik sejak Juli 2018. 

Data ini menunjukkan bahwa dunia usaha di Negeri Adidaya masih kuat, masih ekspansif. Artinya meski ekonomi melambat, tetapi tidak akan terlalu signifikan. Rasanya AS tidak akan mengalami hard landing

Prospek ekonomi yang masih cerah tentu membuat dolar AS menjadi preferensi utama pelaku pasar. Apalagi di negara-negara lain situasinya berkebalikan. 

Misalnya di Jepang. Produksi industrial Negeri Matahari Terbit pada Maret turun 0,9% MoM, memburuk ketimbang Februari yang masih bisa naik 0,7%.  

Secara tahunan, produksi industrial Jepang terkontraksi alias minus 4,6% pada Maret. Ini menjadi penurunan terdalam sejak Mei 2015. 

Jadi tidak heran kalau semua mata di pasar kini melirik dolar AS. Ditopang oleh ekonomi domestik yang masih kuat, greenback menjadi primadona investor. 

Sementara dari dalam negeri, nyaris tidak ada sentimen yang bisa menolong rupiah. Kemarin, Bank Indonesia (BI) memutuskan suku bunga acuan bertahan di angka 6%, sama seperti ekspektasi pasar. Oleh karena itu, dampaknya sepertinya netral saja. 


Memang sulit bagi BI untuk bermanuver dengan kebijakan suku bunga. Menaikkan jelas tidak mungkin, karena tren kebijakan moneter global yang sudah tidak lagi hawkish tahun ini. Bahkan The Federal Reserve/The Fed pun memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga acuan sampai akhir tahun, dan BI meramal Federal Funds Rate bahkan tidak akan naik sampai tahun depan. 


Sedangkan untuk menurunkan juga agak ngeri-ngeri sedap. Pasalnya, salah satu tujuan kebijakan suku bunga adalah mengendalikan defisit transaksi berjalan (current account deficit) ke tingkat yang aman dan sehat.

Nah, saat ini belum ada jaminan ke arah sana. Pada kuartal I-2019, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan memang lebih kecil dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun defisit ini akan kembali melebar pada kuartal II-2019 seiring faktor musiman peningkatan impor (untuk antisipasi kenaikan konsumsi pada Ramadan-Idul Fitri) serta kebutuhan valas korporasi untuk pembayaran utang, dividen, dan sebagainya.  


Oleh karena itu, BI perlu memastikan dulu bagaimana arah defisit transaksi berjalan. Jika terus membaik dan itu sudah ajeg (sustain), maka penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate mungkin bisa mulai dipertimbangkan. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular