
Hai Selebgram yang Banyak Follower, Ditjen Pajak Mengintaimu!
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
25 April 2019 09:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution membuka kembali wacana mengubah sistem perpajakan dalam menghadapi perubahan ekonomi digital.
Berbicara dalam sebuah seminar perpajakan, Menko Darmin tak memungkiri bahwa pemerintah saat ini masih berupaya menentukan formula yang tepat dalam memajaki perusahaan digital.
"Lalu berapa besar pajaknya? Terlalu besar dia akan mati, terlalu kecil akan ada yang teriak," kata Darmin di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Tak hanya dari perusahaan, wajib pajak orang pribadi yang meraup keuntungan dari aplikasi yang disediakan perusahaan digital, pun nantinya bisa saja dikenakan pajak.
Salah satunya, adalah selebgram (selebriti Instagram) yang bahkan kerap kali mempromosikan sesuatu bernilai komersial melalui akun pribadi di media sosial (Twitter, Facebook, dan Instagram) lantaran memiliki jumlah pengikut (followers) yang cukup besar.
Darmin mengatakan, muncul ide pengenaan pajak bagi orang pribadi akan diklasifikasikan berdasarkan jumlah pengikut selebgram karena adanya potensi keuntungan yang lebih.
"Nanti jumlah follower bisa menentukan kena pajaknya. Karena itu juga dimanfaatkan iklan. Jadi ke depan kita harus mulai bicarakan perubahan konstruksi aturan kita," katanya.
Sebagai informasi, wacana pengenaan pajak bagi selebgram memang sudah mengemuka sejak lama. Namun hingga saat ini, belum terimplementasi penuh karena belum ada aturan teknis yang mengatur.
Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini telah memiliki sebuah sistem bernama Social Network Analytics (SONETA) yang bisa menganalisis penyandingan data baik untuk pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN).
Otoritas pajak memiliki DJP enterprise search untuk menganalisis wajib pajak beserta entitas terkait seperti aset, anggota keluarga, dan kepemilikan perusahaan.
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Iwan Djuniardi mengemukakan, sistem SONETA nantinya diharapkan bisa terintegrasi dengan setiap media sosial. Meski demikian, sistem tersebut saat ini baru bisa digunakan di internal otoritas pajak.
"Dari sisi IT, kami mencoba untuk melakukannya secara tersistem dengan menggunakan teknologi big data. Tapi sebelum hal tersebut dilakukan kita akan memastikan dulu integritas dan manajemen data di sistem kami sudah berjalan dengan baik," katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/1/2019).
Lewat sistem SONETA, dilakukan penggalian data informasi para pengguna media sosial. Hal ini sudah dilakukan sejak tahun lalu oleh DJP. "Sudah jalan dari dulu, tapi dilakukan masing-masing oleh KPP atau unit secara manual. Tapi kalau tersistem dan terintegrasi, belum," kata Iwan
Adapun kriteria-kriteria pengguna media sosial yang dipantau ketat oleh para fiskus pajak, salah satunya adalah yang kerap kali mengunggah foto-foto kekayaan di akun media sosialnya masing-masing.
Otoritas pajak akan melihat dengan seksama, apakah apa yang ditonjolkan para wajib pajak di akun media sosialnya sesuai dengan laporan kewajiban perpajakannya yang memang selama ini harus dilaporkan kepada Ditjen Pajak.
"Penggalian data dari sosial media itu sudah dilakukan oleh para AR (account representative) dari dulu. Hanya saja penggalian itu baru dilakukan sendiri-sendiri, dan di analisa sendiri-sendiri," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun telah memastikan bahwa tidak semua konten-konten kreator seperti selebgram dan youtuber dikenakan pajak atas penghasilan yang diterimanya.
Melalui akun Twitter resmi Kementerian Keuangan, bendahara negara menyebut bahwa selebgram maupun youtuber yang mendapatkan penghasilan tidak lepas dari kewajiban membayar pajak.
"Namun, tidak semuanya dikenakan pajak," kata Sri Mulyani.
Pemerintah sebelumnya telah menetapkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) yang berlaku bagi seluruh wajib pajak (WP) Orang Pribadi (OP) sebesar Rp 54 juta setahun.
"Bagi mereka yang berpenghasilan di bawah PTKP, maka penghasilan mereka tidak dikenakan pajak," katanya.
Namun, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu berpendapat, apabila pendapatan selebgram dan youtuber mencapai Rp 500 juta atau lebih, maka sudah menjadi kewajiban untuk membayar pajak.
"Selebgram dan youtuber itu mereka melakukan inovasi kreatif. Kalau pendapatan mereka di bawah Rp 54 juta, itu tidak masuk dalam pendapatan kena pajak. Tapi kalau sampai sangat terkenal dan pendapatannya sampai setengah miliar, itu baru kena pajak," tegasnya.
Sri Mulyani memahami, sampai saat ini belum ada peraturan khusus yang mengatur pajak para selebgram.
"Sehingga, pajak yang ditarik masih berdasarkan ketentuan PPh pada umumnya, sama seperti WP lain. Ini artinya, selebgram juga harus melaporkan SPT tiap tahun," tegasnya.
Simak jurus Sri Mulyani kejar pajak dari Google Cs.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Emiten Hati-hati Soal Pajak, BEI Beri Akses Laporan Keuangan
Berbicara dalam sebuah seminar perpajakan, Menko Darmin tak memungkiri bahwa pemerintah saat ini masih berupaya menentukan formula yang tepat dalam memajaki perusahaan digital.
"Lalu berapa besar pajaknya? Terlalu besar dia akan mati, terlalu kecil akan ada yang teriak," kata Darmin di Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Tak hanya dari perusahaan, wajib pajak orang pribadi yang meraup keuntungan dari aplikasi yang disediakan perusahaan digital, pun nantinya bisa saja dikenakan pajak.
Darmin mengatakan, muncul ide pengenaan pajak bagi orang pribadi akan diklasifikasikan berdasarkan jumlah pengikut selebgram karena adanya potensi keuntungan yang lebih.
"Nanti jumlah follower bisa menentukan kena pajaknya. Karena itu juga dimanfaatkan iklan. Jadi ke depan kita harus mulai bicarakan perubahan konstruksi aturan kita," katanya.
Sebagai informasi, wacana pengenaan pajak bagi selebgram memang sudah mengemuka sejak lama. Namun hingga saat ini, belum terimplementasi penuh karena belum ada aturan teknis yang mengatur.
Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) saat ini telah memiliki sebuah sistem bernama Social Network Analytics (SONETA) yang bisa menganalisis penyandingan data baik untuk pajak penghasilan (PPh) maupun pajak pertambahan nilai (PPN).
Otoritas pajak memiliki DJP enterprise search untuk menganalisis wajib pajak beserta entitas terkait seperti aset, anggota keluarga, dan kepemilikan perusahaan.
Direktur Transformasi Teknologi Komunikasi dan Informasi Ditjen Pajak Iwan Djuniardi mengemukakan, sistem SONETA nantinya diharapkan bisa terintegrasi dengan setiap media sosial. Meski demikian, sistem tersebut saat ini baru bisa digunakan di internal otoritas pajak.
"Dari sisi IT, kami mencoba untuk melakukannya secara tersistem dengan menggunakan teknologi big data. Tapi sebelum hal tersebut dilakukan kita akan memastikan dulu integritas dan manajemen data di sistem kami sudah berjalan dengan baik," katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (4/1/2019).
Lewat sistem SONETA, dilakukan penggalian data informasi para pengguna media sosial. Hal ini sudah dilakukan sejak tahun lalu oleh DJP. "Sudah jalan dari dulu, tapi dilakukan masing-masing oleh KPP atau unit secara manual. Tapi kalau tersistem dan terintegrasi, belum," kata Iwan
Adapun kriteria-kriteria pengguna media sosial yang dipantau ketat oleh para fiskus pajak, salah satunya adalah yang kerap kali mengunggah foto-foto kekayaan di akun media sosialnya masing-masing.
Otoritas pajak akan melihat dengan seksama, apakah apa yang ditonjolkan para wajib pajak di akun media sosialnya sesuai dengan laporan kewajiban perpajakannya yang memang selama ini harus dilaporkan kepada Ditjen Pajak.
"Penggalian data dari sosial media itu sudah dilakukan oleh para AR (account representative) dari dulu. Hanya saja penggalian itu baru dilakukan sendiri-sendiri, dan di analisa sendiri-sendiri," katanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun telah memastikan bahwa tidak semua konten-konten kreator seperti selebgram dan youtuber dikenakan pajak atas penghasilan yang diterimanya.
Melalui akun Twitter resmi Kementerian Keuangan, bendahara negara menyebut bahwa selebgram maupun youtuber yang mendapatkan penghasilan tidak lepas dari kewajiban membayar pajak.
"Namun, tidak semuanya dikenakan pajak," kata Sri Mulyani.
Pemerintah sebelumnya telah menetapkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) yang berlaku bagi seluruh wajib pajak (WP) Orang Pribadi (OP) sebesar Rp 54 juta setahun.
"Bagi mereka yang berpenghasilan di bawah PTKP, maka penghasilan mereka tidak dikenakan pajak," katanya.
Namun, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu berpendapat, apabila pendapatan selebgram dan youtuber mencapai Rp 500 juta atau lebih, maka sudah menjadi kewajiban untuk membayar pajak.
"Selebgram dan youtuber itu mereka melakukan inovasi kreatif. Kalau pendapatan mereka di bawah Rp 54 juta, itu tidak masuk dalam pendapatan kena pajak. Tapi kalau sampai sangat terkenal dan pendapatannya sampai setengah miliar, itu baru kena pajak," tegasnya.
Sri Mulyani memahami, sampai saat ini belum ada peraturan khusus yang mengatur pajak para selebgram.
"Sehingga, pajak yang ditarik masih berdasarkan ketentuan PPh pada umumnya, sama seperti WP lain. Ini artinya, selebgram juga harus melaporkan SPT tiap tahun," tegasnya.
Simak jurus Sri Mulyani kejar pajak dari Google Cs.
[Gambas:Video CNBC]
(tas) Next Article Emiten Hati-hati Soal Pajak, BEI Beri Akses Laporan Keuangan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular