
Harga Batu Bara Sulit Naik, Ini Penyebabnya
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 April 2019 10:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman April di bursa Intercontinental Exchange (ICE) ditutup stagnan di posisi US% 84,45/metrik ton pada perdagangan Senin (22/4/2019) kemarin.
Meski demikian, selama sepekan, harga batu bara masih membukukan penguatan sebesar 1,61% secara point-to-point. Namun ditinjau sejak awal tahun, harganya masih lebih rendah 16,27%.
Masih ada dua faktor besar yang membuat harga batu bara sulit untuk meningkat secara signifikan.
Pertama, perlambatan ekonomi global yang masih terjadi hingga saat ini. Sinyal-sinyal yang mengkonfirmasi hal tersebut juga masih dapat dilihat hingga saat ini. Pada kuartal IV-2018 China mengumumkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4% YoY, atau yang paling rendah sejak 1990.
Selanjutnya di kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi China masih sebesar 6,4% YoY. Meskipun melampaui ekspektasi pelaku pasar yang sebesar 6,3% YoY, belum terjadi peningkatan aktifitas ekonomi yang signifikan.
Kebutuhan batu bara sebagai sumber energi akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Kala ekonomi sedang lesu, maka permintaan batu bara juga tak akan tumbuh, bahkan berpotensi mengalami kontraksi.
Apalagi China diketahui merupakan negara yang menguasai sebagian besar konsumsi batu bara dunia. Permintaan dari China sudah tentu akan mempengaruhi pasar global.
Kedua, peningkatan produksi batu bara lokal di China akan makin menggeser posisi batu bara impor.
Pelaku industri menargetkan peningkatan produksi batu bara domestik sebesar 100 juta ton tahun ini.
Hal tersebut disampaikan oleh Wang Hongqiao, Wakil Presiden Asosiasi Batu Bara Nasional China, mengutip Reuters, Selasa (9/4/2019).
Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional China, pada tahun 2018 produksi batu bara domestik menyentuh 4 miliar ton. Tahun ini ada tambahan kapasitas produksi sebesar 194 juta ton.
Beberapa analis juga memperkirakan impor batu bara thermal China akan turun pada kisaran 10-12 juta ton pada tahun 2019 karena adanya peningkatan produksi domestik.
Produksi batu bara China yang akan meningkat mulai kuartal II-2019, berpotensi membuat ketergantungan terhadap pasokan impor berkurang, menurut Rodrigo Echeverri, kepala perdagangan komoditas Noble Group, melansir Reuters.
Namun demikian, permintaan batu bara impor di China masih berpotensi meningkat dalam jangka pendek. Berdasarkan keterangan PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, inventori batu bara di enam pembangkit listrik utama China turun 0,6% secara mingguan untuk minggu yang berakhir pada 12 April. Aktifitas pembakaran di pembangkit tersebut juga meningkat 3,9% secara mingguan. Artinya ada potensi peningkatan permintaan.
Dalam hal ini, batu bara impor masih berpeluang mendapatkan tempat. Pasalnya jalur kereta Daqin di provinsi Shaanxi masih dalam masa perawatan. Sebagai informasi, jalur kereta Daqin merupakan penghubung antara tambang-tambang utama di Shaanxi (penghasil batu bara terbesar ketiga di China). Alhasil distribusi pasokan batu bara domestik China akan mengalami hambatan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Meski demikian, selama sepekan, harga batu bara masih membukukan penguatan sebesar 1,61% secara point-to-point. Namun ditinjau sejak awal tahun, harganya masih lebih rendah 16,27%.
Pertama, perlambatan ekonomi global yang masih terjadi hingga saat ini. Sinyal-sinyal yang mengkonfirmasi hal tersebut juga masih dapat dilihat hingga saat ini. Pada kuartal IV-2018 China mengumumkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4% YoY, atau yang paling rendah sejak 1990.
Selanjutnya di kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi China masih sebesar 6,4% YoY. Meskipun melampaui ekspektasi pelaku pasar yang sebesar 6,3% YoY, belum terjadi peningkatan aktifitas ekonomi yang signifikan.
Kebutuhan batu bara sebagai sumber energi akan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi. Kala ekonomi sedang lesu, maka permintaan batu bara juga tak akan tumbuh, bahkan berpotensi mengalami kontraksi.
Apalagi China diketahui merupakan negara yang menguasai sebagian besar konsumsi batu bara dunia. Permintaan dari China sudah tentu akan mempengaruhi pasar global.
Kedua, peningkatan produksi batu bara lokal di China akan makin menggeser posisi batu bara impor.
Pelaku industri menargetkan peningkatan produksi batu bara domestik sebesar 100 juta ton tahun ini.
Hal tersebut disampaikan oleh Wang Hongqiao, Wakil Presiden Asosiasi Batu Bara Nasional China, mengutip Reuters, Selasa (9/4/2019).
Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional China, pada tahun 2018 produksi batu bara domestik menyentuh 4 miliar ton. Tahun ini ada tambahan kapasitas produksi sebesar 194 juta ton.
Beberapa analis juga memperkirakan impor batu bara thermal China akan turun pada kisaran 10-12 juta ton pada tahun 2019 karena adanya peningkatan produksi domestik.
Produksi batu bara China yang akan meningkat mulai kuartal II-2019, berpotensi membuat ketergantungan terhadap pasokan impor berkurang, menurut Rodrigo Echeverri, kepala perdagangan komoditas Noble Group, melansir Reuters.
Namun demikian, permintaan batu bara impor di China masih berpotensi meningkat dalam jangka pendek. Berdasarkan keterangan PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, inventori batu bara di enam pembangkit listrik utama China turun 0,6% secara mingguan untuk minggu yang berakhir pada 12 April. Aktifitas pembakaran di pembangkit tersebut juga meningkat 3,9% secara mingguan. Artinya ada potensi peningkatan permintaan.
Dalam hal ini, batu bara impor masih berpeluang mendapatkan tempat. Pasalnya jalur kereta Daqin di provinsi Shaanxi masih dalam masa perawatan. Sebagai informasi, jalur kereta Daqin merupakan penghubung antara tambang-tambang utama di Shaanxi (penghasil batu bara terbesar ketiga di China). Alhasil distribusi pasokan batu bara domestik China akan mengalami hambatan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/hps) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Most Popular