
Dibuka Kuat, Rupiah Langsung Lemas Lagi
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
23 April 2019 08:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini dibuka menguat di perdagangan pasar spot. Namun rupiah masih perlu waspada karena penguatannya sangat tipis dan mata uang utama Asia mayoritas melemah di hadapan dolar AS.
Pada Selasa (23/4/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.060 kala pembukaan pasar. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun penguatan rupiah yang sangat tipis itu bisa habis sewaktu-waktu. Mata uang Tanah Air masih berdiri di atas lapisan es yang amat tipis.
Benar saja, pada 08:04 WIB rupiah sudah tidak lagi menguat karena US$ 1 setara dengan Rp 14.077. Rupiah kini melemah 0,05%.
Kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,21% terhadap dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terlemah ketiga di Asia.
Rupiah tidak mampu menahan gelombang penguatan dolar AS yang masih meneror Asia. Ya, sebagian besar mata uang utama Benua Kuning terdepresiasi di hadapan dolar AS. Hanya yen Jepang dan baht Thailand yang masih bisa bertahan di zona hijau.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:06 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Apa mau di kata, dolar AS memang sedang perkasa. Pada pukul 08:07 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,06%.
Kekuatan dolar AS datang dari proyeksi terbaru seputar pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. The Federal Reserve/The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2019 sebesar 2,8% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Lebih baik ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu 2,4%.
Proyeksi ini semakin mempertegas bahwa ekonomi Negeri Adidaya masih kuat, sehingga kekhawatiran terhadap risiko resesi bisa dikesampingkan dulu. Akhir pekan lalu, data penjualan ritel di AS juga menggembirakan dengan pertumbuhan 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017.
Kemudian klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. Ini merupakan klaim terendah sejak September 1969.
Artinya, tekanan inflasi masih akan membayangi perekonomian AS sehingga kemungkinan The Fed belum mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Hal ini bisa menjadi sentimen positif bagi dolar AS.
Selain itu, perkembangan harga minyak juga masih memberikan tekanan kepada rupiah. Pada pukul 08:15 WIB, harga minyak jenis light sweet masih melonjak 2,59%.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak berpotensi menjadi musibah. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ketika harga minyak melonjak, maka biaya importasi komoditas ini pun ikut membengkak. Akibatnya, tekanan di transaksi berjalan (current account) akan semakin berat dan rupiah kian kekurangan modal untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Selasa (23/4/2019), US$ 1 dibanderol Rp 14.060 kala pembukaan pasar. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun penguatan rupiah yang sangat tipis itu bisa habis sewaktu-waktu. Mata uang Tanah Air masih berdiri di atas lapisan es yang amat tipis.
Kemarin, rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,21% terhadap dolar AS. Rupiah menjadi mata uang terlemah ketiga di Asia.
Rupiah tidak mampu menahan gelombang penguatan dolar AS yang masih meneror Asia. Ya, sebagian besar mata uang utama Benua Kuning terdepresiasi di hadapan dolar AS. Hanya yen Jepang dan baht Thailand yang masih bisa bertahan di zona hijau.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:06 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Apa mau di kata, dolar AS memang sedang perkasa. Pada pukul 08:07 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,06%.
Kekuatan dolar AS datang dari proyeksi terbaru seputar pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. The Federal Reserve/The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2019 sebesar 2,8% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Lebih baik ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu 2,4%.
Proyeksi ini semakin mempertegas bahwa ekonomi Negeri Adidaya masih kuat, sehingga kekhawatiran terhadap risiko resesi bisa dikesampingkan dulu. Akhir pekan lalu, data penjualan ritel di AS juga menggembirakan dengan pertumbuhan 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017.
Kemudian klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. Ini merupakan klaim terendah sejak September 1969.
Artinya, tekanan inflasi masih akan membayangi perekonomian AS sehingga kemungkinan The Fed belum mempertimbangkan penurunan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Hal ini bisa menjadi sentimen positif bagi dolar AS.
Selain itu, perkembangan harga minyak juga masih memberikan tekanan kepada rupiah. Pada pukul 08:15 WIB, harga minyak jenis light sweet masih melonjak 2,59%.
Bagi rupiah, kenaikan harga minyak berpotensi menjadi musibah. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor demi memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Ketika harga minyak melonjak, maka biaya importasi komoditas ini pun ikut membengkak. Akibatnya, tekanan di transaksi berjalan (current account) akan semakin berat dan rupiah kian kekurangan modal untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular